JAKARTA- Eksekusi Mati terhadap Siti Zainab pada oleh Pemerintah Arab Saudi mencerminkan rendahnya perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia, Komnas HAM menyampaikan keprihatinan dan duka cita atas kematian seorang warga negara yang mengadu nasib di Arab saudi.
“Mulai saat ini pemerintah harus aktif melalui jalur diplomatik, politik maupun juga perbaikan regulasi untuk selamatkan 228 warga Negara Indonesia lainnya yang menunggu eksekusi mati di Luar Negeri,” Demikian Komisioner Komnasham Natalius Pigai kepada Bergelora.com, di Jakarta, Kamis (16/4)
Karena menurutnya, jika tidak ada sikap tegas oleh pemerintah maka bukan tidak mungkin harga diri bangsa akan direndahkan dan di lecehkan oleh negara lain.
Untuk itu katanya, penerapan prisip resiprokal antar Indonesia dengan negara lain akan berjalan baik apabila Indonesia mulai menghapus atau moratorium penerapan Hukuman Mati sesuai Pasal 10 KUHP.
“Penghapusan hukuman mati akan memberi kekuatan diplomatik bagi kita untuk melakukan berbagai upaya perlindungan terhadap WNI yang menunggu hukuman mati baik secara langsung maupun melalui jalur PBB.
Menurutnya, harus ada kebijakan negara untuk melindungi warga negara secara konstitusi. Konstitusi dasar belum memberi jaminan perlindungan Warga Negara Diaspora (yang tersebar diseluruh dunia-red).
“Itulah kelemahan negara kita, coba bandingkan dengan Amerika Serikat
Konstitusi Amerika melindungi individu warga negaranya, Konstitusi kita ada,” tegasnya.
Kementerian Luar Negeri RI memberikan konfirmasi mengenai eksekusi terhadap Siti. Eksekusi dilakukan pada Selasa (14/4/2015), pukul 10.00 waktu setempat.
Pihak Kemenlu mengakui tidak ada notifikasi yang disampaikan kepada Perwakilan RI maupun kepada keluarga mengenai waktu pelaksanaan hukuman mati. (Baca: Siti Zaenab Dieksekusi Tanpa Pemberitahuan, Indonesia Kirim Nota Protes ke Arab Saudi)
Siti Zainab dipidana atas kasus pembunuhan terhadap istri dari pengguna jasanya yang bernama Nourah Bt Abdullah Duhem Al Maruba pada tahun 1999. Dia kemudian ditahan di Penjara Umum Madinah sejak 5 Oktober 1999.
Setelah melalui rangkaian proses hukum, pada 8 Januari 2001, Pengadilan Madinah menjatuhkan vonis hukuman mati atau qishash kepada Siti Zainab. Dengan jatuhnya keputusan qishash tersebut maka pemaafan hanya bisa diberikan oleh ahli waris korban.
Namun, pelaksanaan hukuman mati tersebut ditunda untuk menunggu Walid bin Abdullah bin Muhsin Al Ahmadi, putra bungsu korban, mencapai usia akil balig. Pada tahun 2013, setelah dinyatakan akil balig, Walid bin Abdullah bin Muhsin Al Ahmadi telah menyampaikan kepada pengadilan perihal penolakannya untuk memberikan pemaafan kepada Siti Zainab dan tetap menuntut pelaksanaan hukuman mati. Hal ini kemudian dicatat dalam keputusan pengadilan pada tahun 2013. (Dian Dharma Tungga)