Kamis, 13 November 2025

SPANYOL BOIKOT TRUMP..! Dua Raksasa NATO Mulai Retak, Inggris Setop Bantuan Intelijen ke AS

JAKARTA – Hubungan intelijen antara Amerika Serikat (AS) dan Inggris, dua sekutu terdekat, mengalami keretakan signifikan setelah Inggris menangguhkan pembagian informasi intelijen dengan AS. Langkah ini diambil karena Inggris percaya bahwa serangan militer AS terhadap kapal-kapal yang dicurigai menyelundupkan narkoba di Karibia dan perairan Amerika Latin melanggar hukum internasional.

Sumber-sumber yang mengetahui masalah ini secara eksklusif mengungkapkan kepada CNN bahwa Inggris tidak lagi berbagi intelijen mengenai kapal-kapal yang diduga penyelundup narkoba di Karibia karena tidak ingin terlibat dalam serangan mematikan militer AS. Penangguhan pembagian intelijen ini telah dimulai lebih dari sebulan yang lalu.

Kekhawatiran Inggris muncul tak lama setelah AS mulai melancarkan serangan mematikan terhadap kapal-kapal tersebut pada September lalu. Para pejabat Inggris meyakini bahwa serangan militer AS, yang sejauh ini telah menewaskan 76 orang, merupakan pelanggaran hukum internasional.

“Sebelum militer AS mulai meledakkan kapal-kapal pada bulan September, pemberantasan perdagangan narkoba ilegal ditangani oleh penegak hukum dan Penjaga Pantai AS, anggota Kartel, dan penyelundup narkoba diperlakukan sebagai penjahat dengan hak proses hukum, sesuatu yang dengan senang hati dibantu oleh Inggris,” kata sumber tersebut.

“Namun, tak lama setelah AS mulai melancarkan serangan mematikan terhadap kapal-kapal tersebut pada bulan September, Inggris mulai khawatir bahwa AS mungkin menggunakan intelijen yang diberikan oleh Inggris untuk memilih target. Para pejabat Inggris yakin serangan militer AS, yang telah menewaskan 76 orang, melanggar hukum internasional,” tambah sumber tersebut.

Penilaian Inggris ini sejalan dengan pendapat Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Türk, yang bulan lalu mengatakan bahwa serangan tersebut melanggar hukum internasional dan sama dengan “pembunuhan di luar proses hukum”.

Sebelum militer AS mulai menembaki kapal-kapal tersebut, penanganan kasus perdagangan narkoba ilegal dilakukan oleh penegak hukum dan US Coast Guard. Kapal-kapal akan dihentikan, digeledah, dan awaknya ditahan, diperlakukan sebagai kriminal dengan hak proses hukum yang berlaku, sebuah pendekatan yang didukung oleh Inggris selama bertahun-tahun.

Keputusan Inggris ini menyoroti meningkatnya skeptisisme global terhadap legalitas kampanye militer AS di Amerika Latin. Namun, Pemerintahan Trump bersikeras bahwa militer AS dapat secara hukum membunuh tersangka penyelundup karena mereka menimbulkan ancaman mendesak terhadap warga Amerika dan merupakan “kombatan musuh” yang berada dalam “konflik bersenjata” dengan AS.

Menurut sebuah memo yang dikirimkan oleh pemerintahan kepada Kongres, dan diperkuat oleh opini rahasia dari Kantor Penasihat Hukum Departemen Kehakiman, Trump telah menetapkan sejumlah kartel narkoba sebagai “kelompok teroris asing.” Gedung Putih berulang kali menyatakan bahwa tindakan pemerintah “sepenuhnya mematuhi Hukum Konflik Bersenjata,” yang dirancang untuk mencegah serangan terhadap warga sipil.

Kolombia Ikuti Langkah Inggris

Presiden Kolombia Gustavo Petro memerintahkan pasukan keamanan negaranya pada hari Selasa untuk berhenti berbagi informasi intelijen dengan AS, hingga pemerintahan Trump menghentikan serangan terhadap tersangka pengedar narkoba di Karibia, seiring memburuknya hubungan antara kedua negara yang dulunya merupakan mitra dekat dalam perang melawan perdagangan narkoba.

Dalam sebuah pesan di akun X, Petro menulis bahwa militer Kolombia harus segera mengakhiri komunikasi dan perjanjian lainnya dengan badan keamanan AS hingga AS menghentikan serangannya terhadap speedboat yang diduga membawa narkoba, yang oleh para kritikus disamakan dengan eksekusi di luar hukum.

“Perang melawan narkoba harus tunduk pada hak asasi manusia rakyat Karibia,” kata Petro.

Belum jelas informasi seperti apa yang akan dihentikan Kolombia untuk dibagikan kepada AS. Gedung Putih belum memberikan tanggapan atas pernyataan terbaru Petro.

Petro juga menyerukan agar Presiden AS Donald Trump diselidiki atas kejahatan perang atas serangan tersebut, yang telah berdampak pada warga Venezuela, Ekuador, Kolombia, dan Trinidad dan Tobago.

Pemimpin sayap kiri ini telah lama mengkritik kebijakan narkoba AS, dan menuduh pemerintahan Trump justru mengincar petani yang menanam koka, bahan dasar kokain, alih-alih menyasar pengedar narkoba dan pencuci uang besar. Pada hari Minggu, Petro mengatakan bahwa ia telah bertemu dengan keluarga seorang nelayan Kolombia yang diduga tewas dalam salah satu serangan.

“Dia mungkin sedang membawa ikan, atau mungkin sedang membawa kokain, tetapi dia belum dijatuhi hukuman mati,” kata Petro dalam pertemuan puncak antara para pemimpin Amerika Latin dan Uni Eropa yang diselenggarakan oleh Kolombia pada hari Minggu. “Tidak perlu membunuhnya.”

Boikot Seruan AS

Sebelumnya, kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (13/11) dilaporkan, Perdana Menteri (PM) Spanyol Pedro Sanchez memperingatkan agar Eropa tidak terjebak dalam “perlombaan senjata” yang justru bisa memperburuk keamanan benua tersebut. Ia menegaskan, negara-negara anggota NATO di Eropa seharusnya memprioritaskan diplomasi, bukan hanya meningkatkan anggaran militer.

“Dunia seperti apa yang ingin kita wariskan kepada generasi muda kita ketika mereka mencapai usia kita? Dunia di mana negara-negara Eropa menghabiskan 5% anggaran mereka untuk pertahanan?” kata Sanchez dalam wawancara dengan El Pais akhir pekan kemarin, seperti dikutip RT, Senin (10/11/2025).

“Kita harus terlibat dalam diplomasi agar, pada tahun 2035, Eropa tidak dipersenjatai habis-habisan, melainkan berdiri untuk solidaritas dan pembelaan hukum internasional,” lanjutnya.

Pernyataan Sanchez datang di tengah dorongan besar-besaran Uni Eropa (UE) dan NATO untuk memperkuat pertahanan. Awal tahun ini, Komisi Eropa mengusulkan rencana persenjataan senilai 800 miliar euro atau sekitar Rp13.600 triliun dengan alasan meningkatnya ancaman dari Rusia.

Selain itu, anggota NATO Eropa telah sepakat untuk menaikkan anggaran militer menjadi 5% dari PDB pada 2035, sebagian besar karena tekanan dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Trump selama ini menuntut agar negara-negara Eropa “membayar bagian mereka” dalam aliansi militer tersebut.

Namun, sejumlah negara seperti Spanyol, Hongaria, dan Slovakia menilai langkah itu berlebihan. Bahkan, bulan lalu Trump mengancam akan mengenakan tarif terhadap Spanyol karena Sanchez enggan berkomitmen pada target 5% tersebut.

Ia juga sempat menyebut kemungkinan Spanyol “dikeluarkan” dari blok NATO. Apalagi jika tidak memenuhi kewajiban pendanaan.

Dari sisi lain, Rusia menilai peningkatan militerisasi Eropa sebagai langkah provokatif. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menuding Barat tengah mempersiapkan “perang besar Eropa baru” melawan Rusia dan sekutunya, Belarus.

“Ekspansi NATO tidak berhenti semenit pun, meskipun ada jaminan untuk tidak bergerak ke arah timur sedikit pun yang diberikan kepada para pemimpin Soviet,” ujar Lavrov dalam konferensi keamanan di Minsk pekan lalu.

Sanchez pun mengingatkan, tanpa jalur diplomasi yang kuat, Eropa berisiko terjebak dalam ketegangan militer jangka panjang. “Diplomasi adalah satu-satunya jalan untuk memastikan perdamaian dan stabilitas yang berkelanjutan di benua ini,” ujarnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru