Oleh: Dr. Kurtubi
KEBIJAKAN Energi yang mendorong minyak sawit mentah (crude palm oil / CPO) untuk menggantikan minyak mentah (crude oil) sebagai bahan baku untuk menghasilkan minyak solar (diesel oil) perlu dikaji ulang. Karena dalam beberapa minggu terakhir ini rakyat menderita harus berebut dan mengantri untuk bisa membeli minyak goreng dengan harga terjangkau yang ditetapkan Pemerintah Rp14.000/liter.
Antrian panjang berebut beli minyak goreng ini terjadi sebagai akibat dari rendah dan terus anjloknya produksi minyak mentah nasional yang terus dibiarkan terjadi selama dua dekade sejak berlakunya UU Migas No.22/2001.
Sehingga penggunaan minyak mentah untuk menghasilkan minyak solar digantikan dengan minyak sawit mentah (CPO). Sebenarnya rendahnya produksi minyak mentah ada solusinya sendiri yang lebih rational dan konstitusional.
Sementara minyak sawit mentah adalah bahan baku minyak goreng yang merupakan bahan pangan seluruh lapisan masyarakat Indonesia sejak dulu kala. Nenek moyang bangsa Indonesia sudah menjadikan minyak goreng sebagai bahan pangan.
Sekarang terbukti Kebijakan Pemerintah di bidang energi yang merubah peran CPO sebagai bahan baku minyak goreng menjadi bahan baku biosolar, merupakan kebijakan yang kurang tepat atau setidaknya timingnya tidak tepat.
Kebijakan yg menimbulkan konflik peran CPO sebagai sumber bahan pangan dan sumber energi ini bisa saja terus dijalankan untuk jangka panjang sekaligus untuk mengurangi emisi karbon, dengan mengurangi ekspor CPO secara bertahap untuk akhirnya dilarang total.
Dimana seluruh produksi CPO ditujukan untuk keperluan konsumsi dalam negeri.
Terlebih saat ini, banyak negara seperti negara-negara Uni Eropa telah mengambil kebijakan untuk melarang import CPO dari Indonesia.
Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar didunia bersitegang dengan negara-negara Uni Eropa tidak bisa menerima larangan mengekspor CPO ke Uni Eropa.
Kini dengan fakta bahwa masyarakat Indonesia justru sangat menderita dengan kurangnya produksi/supply minyak goreng sehingga harga meroket tajam. Lalu pemerintah turun tangan menolong rakyat dengan operasi pasar minyak goreng dengan harga yang terjangkau.
Mestinya Kebijakan Tata Kelola Migas yang rational dan konstitusiol lah yang harus segera diambil oleh pemerintah agar produksi minyak mentah bisa ditingkatkan. Bukan dengan buru-buru mengambil kebijakan mengganti crude oil dengan CPO untuk menghasilkan minyak solar.
Perlu kajian yang lebih komprehensif dan kredibel untuk memanfaatkan CPO menjadi bahan baku minyak solar berbasis nabati disertai dengan perhitungan kuantitatif supply CPO untuk minyak goreng yang tidak boleh berkurang.
Harus ada hitungan yang tepat tentang kebutuhan CPO untuk minyak goreng yang harus memperoleh prioritas untuk jangka panjang. Termasuk dengan melarang ekspor CPO.
Terlebih sasaran kandungan CPO dalam Biosolar diarahkan kedepan menuju B100, 100% dari CPO. Ini berarti kebutuhan total CPO baik untuk memenuhi kebutuhan minyak gorang maupun untuk kebutuhan energi biosolar akan sangat besar.
Prinsip pokok, mestinya kebutuhan CPO untuk minyak goreng yang menjadi prioritas bukan untuk disedot oleh Kilang Biosolar. Yang terjadi saat ini malah supply CPO untuk Biosolar memperoleh insentif bagi produsen CPO.
Tahun 2021 insentif yang diterima oleh produsen CPO mencapai Rp51 Trilyun. Sehingga CPO untuk keperluan minyak goreng bukan menjadi prioritas. Akibatnya kebutuhan CPO untuk pangan berkurang, supply minyak goreng berkurang yang diikuti oleh harga minyak goreng yang melejit.
Untuk jangka panjang perlu ada perubahan perbaikan kebijakan Pertama, industri CPO diarahkan 100% untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri baik untuk menenuhi kebutuhan minyak goreng maupun untuk keperluan energi Biosolar.
Kedua, karena Migas masih tetap dibutuhkan selama masa Transisi Energi setidaknya sampai tahun 2060. Kemudian bisa dilanjutkan dengan mengkonversi industri nigas menjadi Industri petrokimia yang juga dibutuhkan oleh ekonomi dunia, maka Kebijakan untuk mendorong kenaikan produksi migas nasional harus dilakukan. Tidak boleh membiarkan Industri Migas Nasional terpuruk dengan tingkat investasi dan produksi yang sangat rendah.
Mengingat potensi cadangan migas yang ada di perut bumi Indonesia masih relatif melimpah. Baik yang terkandung di sekitar 120 cekungan (sedimentary basins) atau yang berupa potensi cadangan minyak dari shale-oil yang hingga kini sama sekali belum mulai disentuh kegiatan eksplorasi.
Padahal teknologi eksplorasi dan eksploitasi oil-shale sudah terbukti/proven berhasil menaikkan produksi minyak di Amerika dari 8 juta bph menjadi 13 juta bph.
Yang terjadi malah banyak Imvestor raksasa migas yang hengkang dari Indonesia karena tidak adanya kepastian hukum.
Oleh karena itu kita himbau kepada Pemerintah untuk membatasi dan akhirnya melarang ekspor CPO agar kebutuhan minyak goreng masyarakat dalam jangka panjang terjamin.
Segera membuka jalan untuk meningkatkan investasi dan kegiatan usaha hulu Industri Migas Nasional.
Dengan menghilangkan barikade hambatan yang terjadi selama ini yang diderita oleh Industri Migas Nasional dalam dua dekade terakhir ini.
Sederhanakan proses Investasi migas nasional dengan mengembalikan Tata Kelola sesuai Pasal 33 UUD45 dengan cara mencabut UU Migas No.22/2001.
Untuk menghindari kemungkinan kembali gagalnya DPR untuk gagal dalam menghasilkan UU Migas yang baru setelah dua periode sebelumnya gagal. Juga untuk menghindari munculnya eksperimen tata kelola migas bentuk baru yang tidak efisien dan melanggar konstitusi yang bisa memperpanjang ketidakpastian hukum dalam Tata Kelola Migas Nasional.
Lebih baik kembali ke Sistem Tata Kelola yang simpel sesuai konstitusi dan sudah terbukti berhasil membawa Sektor Migas Nasional menjadi Sumber Utana Penerimaan Devisa dan Penerimaan APBN daoam rentang waktu 1970an – 1990an.
Sementara harga minyak dunia saat ini sudah menembus $100/bbls dan berpeluang terus naik ke $150/bbls bahkan hingga ke level $200 / bbls apabila invasi Rusia ke Ukraina terus berlanjut menjadi perang terbuka antara Russia dengan NATO.
Penulis, Dr. Kurtubi, Alumnus CSM, IFP dan UI