Oleh: Bob Randilawe*
Pandangan segenap pihak yang menegaskan bahwa NKRI sedang mengalami “surplus kebebasan berbicara” dan hyper-demokrasi pasca reformasi 98, sempat menemukan momentumnya.
Namun kekuatiran itu mendadak inkonsisten dan semu akibat meluasnya isu penyebaran atribut berbau komunisme serta penangkapan warga yang diduga secara sepihak menyebarkannya. Bahkan yang agak kurang rasional adalah pelarangan buku sebagai wacana ilmu pengetahuan (marxisme-leninisme) serta aksi “sweeping” terhadap warga masyarakat yang diduga menyimpan buku-buku kiri.
Sungguh ironis di era keterbukaan saat ini masih ada sikap frontal anti-kebudayaan sebagaimana ditunjukkan beberapa kalangan akhir-akhir ini?
Benar apa yang disampaikan seorang rekan aktivis prodem dari Garut bahwa ini hanya reproduksi “isu basi”. Hal ini sungguh kontra produktif dan tidak relevan mengingat era perang-dingin sudah berlalu dan biang komunisme dunia yaitu Rusia dan RRC sudah berkiblat kepada kapitalisme dan pasar global dimana praktiknya mereka sesuaikan dengan kondisi bangsa masing-masing. Rusia pun sudah pro demokrasi dengan sistem elektoral berciri oligarkis sedangkan RRC dengan sistem partai tunggal berciri multi-faksi yang pro pasar kapitalisme perdagangan dan investasi globalnya.
Seakan ada kepentingan tertentu yang hendak memutar jarum jam ke belakang padahal jaman sudah berubah menuju era digitalisasi secara mondial pada semua aspek kehidupan bermasyarakat. Baik secara ekonomi, pendidikan, politik, dan lainnya. Bangsa kita seharusnya berkonsentrasi kepada persoalan kesejahteraan, keadilan, dan persatuan nasional.
Seharusnya para elit nasional menjadi teladan baik kalangan militer dan state-actors maupun elit parpol dan non-state actors untuk secara bijaksana dan tegas menolak setiap upaya dari pihak manapun yang bertujuan melemahkan persatuan nasional, anti musyawarah, dan menolak jalan demokrasi.
Barangkali ini juga merupakan momentum nasional untuk meneguhkan kembali eksistensi Pancasila sebagai “common denominator”, azas bersama dalam praktik nyata kenegaraan dan kebangsaan di bidang ekonomi, politik, dan budaya seperti dijabarkan secara historis-filosofis dalam pidato Pancasila Ir. Sukarno pada tanggal 1 Juni 1945.
Bangsa tanpa “common platform” dan ideologi kebangsaan akan terombang-ambing dalam kancah kapitalisme global. Betapa tidak nyamannya hidup sebagai bangsa yang tak beridentitas, seolah menjadi bangsa pecundang. Bangsa yang hanya menjadi objek pasar produk-produk kaum asing-aseng-asong!
Fokus kepada penguatan kedaulatan pengelolaan aset di sektor SDA, infrastrukur, agraria, dan jasa memasuki era MEA adalah sesuatu yang sangat mendesak dan prioritas. Sehingga reproduksi issu basi seperti pelarangan buku dengan alasan apapun adalah sangat sumir dan anti peradaban.
Politik stigmatisasi yang tidak disertai upaya rekonsensus dan rekonsiliasi yang berkeadilan dan tuntas serta pecah belah yang mengarah konflik horisontal antar golongan dalam masyarakat adalah warisan buruk dari era kolonialisme penjajah. Kita sudah mengalami kondisi “low-trust society” akibat kegagalan negara mempercepat kesejahteraan dan pemulihan kepercayaan publik terhadap negara dan pemerintah.
Sikap over-defensive kelompok kepentingan tertentu yang anti dialog/musyawarah serta anti demokrasi baik yang dilakukan atas nama negara maupun non-negara tersebut berdampak pada rusaknya proses konsolidasi demokrasi substantif yang saat ini sedang dituntaskan oleh berbagai elemen bangsa dan kekuatan pro demokrasi di Indonesia, baik yang bersifat state-actors: legislator dan eksekutif, maupun non-state actors: civil society, aktivis, tokoh publik (para guru bangsa), kalangan cendikiawan/akademisi, dan jangan abaikan tanggungjawab dan peran para elit puncak dalam piramida partai politik.
*Penulis adalah Ketua Majelis Demokrasi Pro Demokrasi (Pro-Dem)
Â