JAKARTA – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mendukung Kejaksaan Agung (Kejagung) menggunakan pendekatan kerusakan ekologi dalam menghitung kerugian negara pada kasus korupsi penambangan timah ilegal di lokasi izin usaha pertambangan PT Timah Tbk di Bangka Belitung. JATAM menilai langkah tersebut tepat dan diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku.
“Kami tentu mendukung itu dan kami kira ini adalah sebuah terobosan yang harusnya dilakukan sejak lama,” ujar Kepala Divisi Hukum Jatam, Muhammad Jamil, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (2/5/2024).
Namun menurut Jamil, Kejaksaan Agung perlu hati-hati dalam penerapannya. Selain itu hasil riset kerugian dari lingkungan bisa menjadi petunjuk bagi majelis hakim.
“Sehingga menurut kami perlu diperkuat bukti-buktinya secara tahapan prosedur dan secara hukum, kalau tidak akan diabaikan,” kata Jamil.
Lebih lanjut, Jamil mengatakan, berdasarkan perhitungan JATAM angka Rp 271 triliun tersebut masih belum mewakili seluruhnya, jika memang semua kerusakan sosial juga dihitung. Namun peradilan di Indonesia sangat prosedural normatif dan itu yang menjadi ‘PR’ untuk penegakkannya. Karena itu Kejagung harus konsisten menggunakan pendekatan ekologi dalam proses hukumnya.
Menurut Jamil, para pelaku bakal berupaya keras untuk dapat terbebas dari jeratan atau tuntutan kerusakan ekologi. Karena itu, Jamil meminta Kejagung untuk menyiapkan dalil hukum yang kuat untuk mempertahankan argumennya bahwa kerusakan ekologi atau alam masuk dalam kerugian negara. Sebab nantinya negara yang akan menanggung biaya untuk memulihkan kerusakan ekologi yang dilakukan oleh para pelaku.
“Tentunya kerusakan yang timbul, negara bakal mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk memulihkannya. Biaya pemulihan itu tidak hanya terkait lingkungan hidup, tapi juga lingkungan sosial,” tutur Jamil.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, Kejaksaan Agung menyebut kerugian negara dalam kasus korupsi penambangan timah di lokasi izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Bangka Belitung mencapai Rp 271 triliun. Namun angka tersebut masih sementara dan diyakini bakal lebih besar. Karena tim penyidikan Kejaksaan Agung bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembanguanan (BPKP) belum merampungkan penghitungan kerugian keuangan negara terkait kasus tersebut.
“Ya itu (Rp 271 triliun) adalah kerugian dari dampak kerusakan lingkungan dari praktik pengelolaan (penambangan) timah ilegal di lokasi (IUP) milik PT Timah Tbk itu,” jelas Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kuntadi. (Enrico N Abdielli)