JAKARTA- Saat ini kedaulatan bangsa diatur oleh kedaulatan yang berasal dari ruang-ruang kelas (nation’s sovereignty ruled-out by class-room’s sovereignty). Nasionalisme telah ditukar dengan kepentingan cost-benefit dalam bisnis. Neoliberalisme telah menjebak Indonesia sampai ke policy making hegemony yang awalnya digiring oleh academic hegemony dalam kurikulum di ruang-ruang klas. Setiap lulusan fakultas ekonomi telah jadi ‘salah asuhan’,– lupa makna dan tujuan Kemerdekaan. Tidak salah bila mengatakan fakultas-fakultas ekonomi membangkang Konstitusi. Hal ini ditegaskan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Prof Sri Edi Swasono kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (29/9).
“Hati-hati. Sekarang Menko Perekonomian, Menkeu dan Gubernur BI adalah juga teknokrat jenis yang sama, yang kurang akal semua, yang melihat serbuan investor asing bukan sebagai invasi berbahaya yang bakalan mendominasi ekonomi nasional,” ujarnya.
Menurutnya, para pejabat tinggi yang juga teknokrat mendorong Presiden Joko Widodo untuk mengundang investor asing melakukan invasi ekonomi nasional tanpa ada pengawalan (off-guarded).
“Kita pun diam karena capek bingung (socio-psychological fatigue), membiarkan diri kembali asal menjadi Koelie lagi di negeri sendiri. Begitu gebyar-gebyar globalisasi sebagai topeng pasar-bebasnya neoliberalisne dan imperialisme kita kagumi.,” ujarnya.
Selera neoliberalis menurutnya telah membuat para teknokrat lengah-budaya. Sehingga tak mampu mengadopsi strategi yang sesuai keadaan dan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu strategi resources-based, people-centered dan people-based untuk perkuat pasaran dalam-negeri.
“Seharusnya perkukuh pasaran dalam-negeri dulu, seperti yang dilakukan oleh Jepang, Korea dan China,” ujarnya.
Anggota Presidium Komite Kedaulatan Rakyat (KKR) ini mengatakan bahwa para ekonom yang berada dikampus-kampus menolak cita-cita ideologis konstitusional, dan mengalahkan perintah pasal 33 UUD 45 dan pasal 27 ayat 2 UUD 45 dengan pembenaran terhadap pasar bebas.
“Yang mereka ajarkan di fakultas-fakultas ekonomi membuat negeri ini tidak berdaulat dalam pangan, bibit, obat dasar, impor-ekspor, manufaktur, teknologi, energi, tataguna tanah dan lainnya. Yang diajarkan adalah “Daulat Pasar” bukan “Daulat Rakyat” dalam membangun ekonomi nasional,” ujarnya.
Padahal menurutnya, pasar bukan sekedar tempat bertemunya supply dan demand semata. Pasar adalah ‘the global financial tycoons’ serakah dan predatorik yang menguasai supply dan demand.
Ingat Camdessus dengan Letter of Intent (LoI) nya pada tahun 1998 membuat Pak Harto, seorang jenderal besar, pemenang di banyak perang mulai dari perang Janur Kuning 1949 sampai Perang Mandala dan Penumpasan G30S PKI 1965, terpaksa tunduk menyerah kepada Camdessus, tragedi ini adalah karena kegagalan total teknokrat ekonomi kita,” tegasnya. (Web Warouw)