JAKARTA – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI belum mau membuka informasi terkait dugaan perdagangan surat suara di Malaysia. Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja beralasan bahwa kasus itu masih dalam penyelidikan oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang digawangi Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung.
“Karena masih dalam proses, saya enggak bisa ngomong ini. Masih dalam proses,” ujar Bagja kepada wartawan di kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Senin (26/2/2024).
“Karena ini masuk pidana, teman-teman sentra Gakkumdu kini juga sedang melakukan proses penyelidikan dan pemberkasan,” kata dia lagi.
Bagja mengaku khawatir, jika informasi ini dibuka maka beberapa pihak yang akan diperiksa bakal melarikan diri.
Ditanya soal keterlibatan penyelenggara pemilu, Bagja juga mengaku belum bisa bicara.
“No comment, no comment,” ujar Bagja.
Sindikat “Pedagang Susu”
Sebelumnya, Perkumpulan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat, Migrant Care menemukan sekitar 10 kotak pos terbengkalai di tiga apartemen di Malaysia pada 10 Februari 2024.
Migrant Care mengklaim bahwa apartemen-apartemen itu banyak dihuni warga negara Indonesia yang seharusnya menerima surat suara via pos. Dalam pemantauan Migrant Care, kotak pos yang terletak di setiap jalur tangga apartemen itu tanpa penjagaan sama sekali, salah satunya di Wisma Sabarudin.
Migrant Care mengatakan, kotak pos terhambur dan berceceran ke mana-mana, walau tak ditemukan ceceran surat suara di sana. Lembaga pemantau pemilu terakreditasi Bawaslu RI ini pun menduga celah ini dimanfaatkan oleh semacam sindikat “pedagang susu” alias pedagang surat suara.
“Ini lah yang dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang surat suara itu tadi. Mereka memang sengaja mencari dari kotak pos satu, ke kotak pos yang lainnya, akhirnya dari satu, dua, 9, 10 sampai terkumpul banyak (surat suara),” kata staf Migrant Care, Muhammad Santosa, dalam jumpa pers di kantor Bawaslu RI pada 20 Februari 2024.
Modus para pedagang surat suara, menurut Santoso, bergerak setelah mengetahui surat suara dikirim melalui jasa ekspedisi ke kotak pos tujuan.
“Mereka kerjanya tim, tidak sendiri-sendiri; di daerah mana, siapa, di daerah mana, siapa,” ujar dia.
Mereka akan memanfaatkan lemahnya pengawasan. Apalagi, panitia pengawas luar negeri (panwas LN) tak punya pengawas pos. Setelah mengumpulkan surat suara dari pos, mereka bakal melegonya ke peserta pemilu yang membutuhkan suara.
“Misalkan si caleg membutuhkan sekian ribu, sekian ratus, di situ lah tarik-menarik harga sekian ringgit itu terjadi. Misalnya 1.000 surat suara dari Malaysia nih, lalu pedagang susunya ‘oke saya kasih 1 surat suara 25 Ringgit atau satu suara 50 Ringgit’,” ujar Santosa.
Modus ini, ujar Santosa, bukan barang baru. Oleh sebab sangat rendahnya akuntabilitas, Migrant CARE mendesak agar pemungutan suara melalui pos dihapuskan untuk pemilu selanjutnya.
Rendahnya akuntabilitas ini bercampur dengan buruknya pendataan pemilih luar negeri di Malaysia, khususnya Kuala Lumpur.
Kepada Bergeleoa.com di Jakarta dilaporkan, KPU dan Bawaslu sebelumnya sepakat tak menghitung suara pemilih pos dan Kotak Suara Keliling (KSK) di Kuala Lumpur karena masalah serius pendataan pemilih dan bakal menggelar pemungutan suara ulang. Dalam proses pencocokan dan penelitian (coklit) oleh Panitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (PPLN) Kuala Lumpur pada 2023 lalu, Bawaslu menemukan hanya sekitar 12 persen pemilih yang dicoklit dari total sekitar 490.000 orang dalam Data Penduduk Potensial Pemilih (DP4) dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).
Bawaslu juga menemukan panitia pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) fiktif hingga 18 orang. Akibatnya, pada hari pemungutan suara, jumlah daftar pemilih khusus (DPK) membeludak hingga sekitar 50 persen di Kuala Lumpur.
Pemilih DPK adalah mereka yang tidak masuk daftar pemilih. Ini menunjukkan, proses pemutakhiran daftar pemilih di Kuala Lumpur bermasalah. Bawaslu bahkan menyampaikan, ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seyogianya dikirim untuk pemilih via pos. (Calvin G. Eben-Haezer)