Sabtu, 12 Juli 2025

Tantangan Geopolitik Bagi Hubungan Indonesia-Tiongkok

Oleh: Dominggus Oktavianus*

HUBUNGAN Indonesia-Tiongkok pernah mengalami kemajuan dan kemunduran dalam beberapa fase yang menjadi bagian dari situasi politik global. Masa keemasan terjadi pada periode pasca kemerdekaan (1950-1965), dimulai dengan keterlibatan kedua negara membangun gerakan solidaritas bekas bangsa-bangsa terjajah, hingga masa suram ketika hubungan diplomatik dibekukan antara tahun 1967 sampai 1990.

Dalam masa keemasan maupun masa suram, hubungan kedua negara sangat dipengaruhi oleh karakter pemerintahan di dalam negeri yang berkelindan dengan perkembangan situasi global. Dalam Pidato “Membangun Dunia Kembali” tahun 1960, Sukarno menyerukan penerimaan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menggantikan Republik Tiongkok di bawah pemerintahan Kuomintang yang berbasis di Taiwan. Di tahun 1967, setelah pergantian Sukarno ke Soeharto, Indonesia beralih menjadi sekutu blok Barat dalam memerangi komunisme. Hubungan diplomatik dengan Tiongkok dibekukan atas dasar tuduhan keterlibatan negeri tersebut dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Di tahun 1990, ketika blok Sosialis mendekati keruntuhan, Indonesia dan Tiongkok memulihkan hubungan diplomatiknya. Tampak jelas bahwa suasana Perang Dingin menjadi faktor utama pewarna hubungan kedua negara.

Setelah lebih tiga dekade berakhir Perang Dingin, hubungan Indonesia-Tiongkok masih dihadapkan pada persoalan geopolitik yang seakan mengulang situasi masa lampau. Eksistensi blok Barat yang menikmati situasi pasca Perang Dingin sebagai pemegang hegemoni tunggal mulai ditantang kehadiran kekuatan-kekuatan baru terutama dari blok Tiongkok-Rusia. Terbentuknya poros seperti BRICS dan Shanghai Cooperation Organization (SCO) menunjukkan keberhasilan blok ini mengorganisasikan dan mengartikulasikan pengaruhnya.

Perkembangan di atas menjadi perhatian utama bagi bingkai kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat (AS). Sejak 2018 Kementerian Pertahanan AS menyebutkan persaingan strategis antar negara (inter-state strategic competition) sebagai tantangan utamanya, menggantikan persoalan terorisme. Sementara Kementerian Luar Negeri mereka (State Department) menempatkan Tiongkok sebagai kompetitor strategis (strategic competitor) pada laman situs resminya. Dengan dasar pandangan ini AS berupaya menggalang negeri-negeri di dunia, terutama yang bernilai strategis seperti Indonesia, ke dalam blok politiknya atau setidaknya tidak terlalu dekat pada sang kompetitor. Sebuah artikel di New York Times tanggal 1 Februari 2023 menyebut Indonesia sebagai “big prize in the geopolical battle between Washington and Beijing”, meski penulisnya tampak sadar situasi lebih menguntungkan bagi Tiongkok.

Dari sudut pandang Indonesia, kepentingan nasional selalu diletakkan sebagai prinsip politik luar negerinya. Keterangan Perdana Menteri Mohammad Hatta kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat tahun 1948, yang dibukukan dengan judul “Mendayung Antara Dua Karang”, telah dijadikan dasar bagi strategi politik bebas aktif tersebut. Di sini Bung Hatta menekankan agar politik luar negeri Indonesia tidak menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan subyek yang berhak menentukan sikap dan memperjuangkan tujuannya sendiri.

Namun demikian, posisi yang diakui secara formal belum tentu lepas dari tarik menarik kepentingan yang muncul secara tersirat ataupun harfiah. Sebagaimana disebutkan di atas, kekhawatiran AS terhadap perkembangan Tiongkok memandu kebijakan politik luar negerinya untuk sedapat mungkin membendung pengaruh, atau bila perlu mendukung ketegangan terhadap Tiongkok seperti yang terjadi terhadap Filipina dalam sengketa perbatasan di Laut China Selatan.

Terhadap Indonesia, lebih kecil kemungkinan terjadi ketegangan semacam itu, tapi juga bukan tidak mungkin sama sekali. Presiden Indonesia terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto, mengantisipasi potensi ketegangan baik dalam soal sengketa perbatasan atau sengketa lainnya dengan menyebutkan “jalan Asia” untuk mengatasinya. Dalam presentasi di forum Shangri-La Dialogue 2022, sebelum terpilih sebagai Presiden, Prabowo mengutarakan pengalaman sejarah Asia Tenggara dan Asia pada umumnya yang membentuk kesadaran tentang pentingnya penyelesaian setiap permasalahan secara damai. Prabowo mengatakan, “Pengalaman kolektif kami yang pernah didominasi, diperbudak, dan dieksploitasi, telah memaksa kami sekarang untuk mengupayakan lingkungan yang damai dan penuh persahabatan.” Nada serupa kembali ia sampaikan pada forum yang sama di tahun 2024, menyerukan kebijaksanaan dan rasa tanggung jawab dari kekuatan besar dunia untuk keselamatan bersama.

Dalam kapasitas sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo juga sempat membantah klaim pernyataan bersama Departemen Pertahanan AS dan Menteri Pertahanan, tertanggal 24 Agustus 2023, yang mengecam “ekspansi teritorial” oleh Republik Rakyat Tiongkok di Laut China Selatan. Bantahan ini sejalan dengan kecaman Tiongkok atas klaim tersebut dan menuntut AS untuk menghentikan “campur tangan” atas persoalan di Laut China Selatan. Tiongkok juga menuntut AS untuk sungguh-sungguh menghormati negara-negara di kawasan tersebut yang berupaya menyelesaikan persoalan ini secara damai.

Bagaimanapun, pelbagai isu lain masih akan muncul sebagai kritik dalam hubungan Indonesia-Tiongkok. Bila diperhatikan, proyek seperti kereta api cepat, hilirisasi nikel, serta rencana keterlibatan Tiongkok dalam pembangunan food estate telah mendapatkan kritik yang cukup tajam. Tentu saja tidak semua kritik berkaitan atau didorong oleh kepentingan geopolitik AS. Ada kritik yang memang benar harus diperhatikan dan disikapi secara tepat oleh pemerintah Indonesia.

Namun ada pula kritik lain yang bernuansa geopolitik dan sensitif seperti isu Uighur. Beberapa kali AS kemukakan persoalan eksistensi etnis minoritas Muslim Uighur untuk disikapi secara lebih keras oleh pemerintah Indonesia. Sejauh ini pemerintah tetap bersikap hati-hati. Pada sidang Dewan HAM PBB tahun 2022, Indonesia menolak usulan AS agar isu tersebut diperdebatkan. Hanya beberapa aktivis pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) serta kelompok keagamaan yang sesekali menyuarakan persoalan ini. Perlu berada dalam radar kita, misalnya, baru-baru ini parlamen AS telah menyetujui anggaran sebesar 1,6 miliar USD untuk melancarkan propaganda anti-China. Anggaran ini akan didistribusikan kepada berbagai media massa dan NGO di seluruh dunia.

Sembari mengabaikan pertimbangan ideologis dan politis sekalipun, secara geografis serta perkembangan ekonomi, sewajarnya Indonesia berposisi lebih dekat pada Tiongkok. Realitas ini sudah tercatat dalam berbagai data ekonomi seperti nilai perdagangan dan investasi, serta sejarah panjang sejak sebelum keberadaan negara modern. Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah memperluas hubungan dengan RRT dengan kesepakatan kerja sama strategis komprehensif. Semasa pemerintahan Joko Widodo kerja sama semakin intensif dan konkret dengan implementasi pada pembangunan infrastruktur seperti kereta api cepat serta hilirisasi sumber daya mineral. Prabowo pun memilih Tiongkok sebagai negeri pertama yang dikunjungi pasca resmi ditetapkan sebagai presiden terpilih.

Pergeseran peta geopolitik adalah faktor perkuat hubungan Indonesia-Tiongkok yang nyaris secara alamiah sudah terbentuk. Pergeseran tersebut, menurut Radhika Desai, mengarah pada lanskap multipolar sebagai konsekuensi dari stagnasi atau kemunduran ekonomi yang dialami negeri-negeri maju (blok Barat) dan, sebaliknya, kebangkitan ekonomi negeri-negeri berkembang yang mulai mengejar ketertinggalan. Keadaan ini menimbulkan potensi bagi Indonesia, atau setidaknya Asia Tenggara, untuk muncul sebagai suatu polar tersendiri yang memiliki kekuatan signifikan dalam percaturan global. Tiongkok merupakan salah satu pelopor dari dunia multipolar yang sedang mewujud itu.

Dari sini terbuka tantangan lain, lebih dari sekadar menghadapi menghadapi kerisauan Barat, kedua negara harus benar-benar sanggup merumuskan masa depan bersama dengan rute yang disepakati pula. Keterbukaan atas persoalan-persoalan yang hendak diatasi di masing-masing negeri dapat didialogkan untuk mencapai kemajuan bersama. Ada pula persoalan mendasar yang sama dihadapi kedua negara seperti besarnya jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja. Selain itu, hal fundamental yang dapat dijadikan preambule bagi dialog antar bangsa adalah kesepakatan tentang wujud dunia baru yang sama-sama dicita-citakan dengan mengambil pelajaran dari ‘dunia lama’ yang penuh dengan eksploitasi, ketidakadilan, dan perang.

Referensi:

  • Sukarno, Membangun Dunia Kembali (To Build The World A New), Pidato Presiden Republik Indonesia di muka Sidang Umum PBB ke XV, tanggal 30 September 1960.
  • Hatta, M. (1951). Mendayung Antara Dua Karang, Keterangan Pemerintah Tentang Politiknya Kepada Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, 2 September 1948. Kementerian Penerangan Republik Indonesia.
  • Desai, R. (2015). Geopolitical Economy: Discipline of Multipolarity. Valdai Papers.

*Penulis Dominggus Oktavianus, Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Adil Makmur

Artikel ini disadur Bergelora.com dari Berdikarionline dari artikel yang berjudul Tantangan Geopolitik Bagi Hubungan Indonesia-Tiongkok

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru