JAKARTA– Bangsa Indonesia memiliki modal kuat untuk menghadapi Globaliasi dengan menegaskan kembali Nilai-nilai Utama Keindonesiaan. Apabila dibiarkan globalisasi akan mengancam nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal ini disampaikan oleh Prof Sri-Edi Swasono dalam Launching buku terbarunya yang berjudul ‘Keindonesiaan : Demokrasi Ekonomi, Keberdaulatan dan Kemandirian’, Sabtu (17/10) di rumah Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta, Jakarta.
“Kita harus mempertahankan kedaulatan dan kemandirian nasional dalam menghadapi globalisasi yang kapitalistik. Saya mengajak masyarakat untuk ikut proaktif mendisain wujud dan mekanisme globalisasi,” tegasnya.
Khusus kepada Universitas Indonesia, Sri-Edi Swasono mengingatkan bahwa Universitas Indonesia menyandang tuntutan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai utama ‘Keindonesiaan’ yang dikandungnya yang merupakan ruh kehidupan bangsa Indonesia.
“Kita tidak perlu spekulasi. Nilai-nilai utama Keindonesiaan adalah ‘kebersamaan’ atau mutualism yang berasas ‘kekeluargaan’ atau brotherhood sebagai ‘kebutuhan bersatu’,” jelasnya.
Dalam bukunya ‘Keindonesiaan : Demokrasi Ekonomi, Keberdaulatan dan Kemandirian’, Sri-Edi Swasono menjelaskan bahwa ideologi ‘kebersamaan’ atau mutualism adalah doktrin yang menempatkan interdependensi elemen-elemen sosial sebagai penentu hubungan-hubungan individu dan sosial. Semua kegiatan kolektif diikat oleh sentimen kekeluargaan yang menumbuhkan semangat saling tolong menolong, saling menghormati perbedaan dan saling mengutamakan kepentingan bersama.
“Dimensi kebersamaan Indonesia sebagai negara maritim atau negara kepulauan akan menjadi khas. Disini berlaku doktrin,– ribuan pulau Indonesia tidak dipisahkan oleh lautan, tetapi disatukan oleh lautan,” tegasnya.
Sedangkan asas ‘kekeluargaan’ atau brotherhood menurutnya adalah asas hidup bersama ibarat sebagai keluarga. Masing-masing terjalin dalam satu hati, saling mengasihi, saling asah-asih-asuh, saling menerima perbedaan, menjaga keutuhan kesatuan, mengutamakan keyakinan bersama, tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing.
“Asas kekeluargaan tak lain adalah the brotherhood of men. Asas kekeluargaan adalah ke-ukhuwah-an yang dituntut agama,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia sebagai bangsa yan gtercerahkan pada awal abad 20-an, berjuang dan berperang melepaskan diri dari keterjajahan untuk merdeka. Maka persatuan dan kehendak bersatu menjadi nilai-nilai utama keindonesiaan pula, yang menyertai kebersamaan dan kekeluargaan. Tidak ada kemerdekaan tanpa persatuan.
Sebagai bangsa yang multi-etnik dan multi-kultur, Indonesia memiliki tidak kurang dari 750 suku bangsa.
“Bung Hatta mengingatkan tentang ‘persatuan hati’. Agar persatuan tidak menjadi persatean,” ujar anggota Presidium Komite Kedaulatan Rakyat (KKR) ini.
Selain launching buku juga dipamerkan 35 buku karya Sri-Edi Swasono yang ditulis sejak 1981. Hadil dalam acara tersebut antara lain mantan Wakil Presiden Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Daoed Joesoef, Harry Tjan Silalahi, AB Kusuma, Setiawan Djodi, Siti Fadilah Supari; Poppy Dharsono, Jend (Purn) Kiki Syanakri, Hen Harris Sudarno, Taufik Abdullah, Harjono Kartohadiprodjo, Sasmito Hadinagoro, Gunawan Wiradi, Sri-Bintang Pamungkas, Mantan Dubes Sumaryo, Mantas Dubes Samodro dan Samuel Samson
Hadir juga tokoh dan pengurus Taman Siswa, Prof. Tilaar, Saur Penjaitan dan Suharsono dan kedua putri Bung Hatta, Meutia Hatta dan Halida Hatta.
Hadir juga beberapa orang aktivis muda seperti Marwan Batubara, Ratna Sarumpaet, Ichsanuddin Noorsy, Burhan Rosyidi, Salamuddin Daeng dan John Edward Situmeang. (Web Warouw)