Rabu, 11 Desember 2024

Tentang Ahok: Gelisah Hati Kaum Sukarnois

Oleh: Gede Sandra

Terus menghikmati proklamasi sebagai semangat pembebasan, proklamasi sebagai api perjuangan untuk membumikan Pancasila melalui jalan Trisakti.” Megawati Soekarnoputeri, 17 Agustus 2016

Semenjak kelahirannya di alam pikiran Bung Karno pada tahun 1920-an, Pancasila adalah persatuan dari tiga filsafat besar Dunia: Sosialisme (sekarang menjadi Sila ke-5), Nasionalisme (sekarang menjadi Sila ke-3), dan Ketuhanan (sekarang menjadi Sila ke-1).

Baru pada 1 Juni 1945 bertambah Demokrasi dan Kemanusiaan/Internasionalisme. Semangat pembebasan dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menghasilkan suatu Republik yang bernama Indonesia, yang filosofi berdirinya dilandasi oleh Kelima Sila dalam Pancasila 1 Juni 1945.

Menggunakan Pancasila, Bung Karno berupaya mempersatukan kekuatan politik Sosialis, Nasionalis, dan Agama untuk menghadapi Revolusi Fisik 1945-1949- dengan sembari berusaha membuat lembaga demokrasinya sendiri dan mulai aktif dalam pergaulan internasional untuk mendukung Kemerdekaan Indonesia, lepas dari penjajahan. Itulah Pancasila 1 Juni 1945, pengusir penjajah.

Dua puluh tahun Bung Karno memimpin Republik ini sebagai Kepala Negara, pada 1965 lahir Pancasila yang Baru (sesuai nama Orde rezimnya). Pancasila yang ini lebih sakti, karena dianggap berhasil menyelamatkan Republik Indonesia dari bahaya Komunisme. Seandainya saja saat itu Bung Karno menyerukan untuk melawan Suharto, mungkin Indonesia saat ini sudah pecah jadi Indonesia Timur dan Barat. Tapi Bung Karno memang sesuai dengan namanya, Bung Besar, ia tidak menyerukan perlawanan dan memilih takluk kepada Suharto, memberikannya tongkat komando Presiden berikutnya. Agar Indonesia tetap bersatu.

Pancasila Suharto adalah Pancasila yang sama sekali berbeda dari Pancasila 1 Juni 1945, Pancasila Suharto yang sakti ini bertanggal lahir 1 Oktober 1965. Di tangan Suharto selama 32 tahun berkuasa, Pancasila menjadi alat represif terhadap kaum sosialis, kaum nasionalis-progresif (Sukarnois), dan kaum agama. Yang saking bencinya kaum Reformis terhadap Pancasila yang sakti, ketetapan hukum yang memayunginya semua dibatalkan pada tahun 1998 (contohnya Tap MPR tentang P4).

Orde Baru telah meninggalkan sejarah yang mencederai Sila Kemanusiaan Pancasila 1 Juni 1945 dengan: 1) melakukan berbagai jenis pembantaian massal; 2) Melakukan aneksasi terhadap Timor Leste. Demokrasi Pancasila yang diciptakannya juga direkayasa agar menguntungkan Golkar-ABRI sepanjang Pemilu yang digelar Suharto.

Di era Reformasi tidak ada Pancasila 1 Juni 1945, jangankan mau berharap membumi. Semua Sila kecuali Sila Ke-3 tentang Kebangsaan/Nasionalisme/Persatuan Indonesia (kuatnya penghayatan terhadap sila ini mudah menyeret masyarakat kita ke chauvinist maupun neofasis), tidak pernah dapat dipahami oleh masyarakat Marhaen – Murba di seluruh wilayah Republik Indonesia, sebagai berikut.

Sila ke-1 Ketuhanan

Sila ini adalah untuk melindungi seluruh agama dan keyakinan yang dipeluk oleh Rakyat Indonesia. Sayang sekali selama era Reformasi malah lahir gerakan-gerakan yang menyebarkan teror dan kebencian bagi agama dan keyakinan yang berbeda. Menurut Bung Karno, manusia Indonesia seharusnya adalah manusia yang ber-Tuhan sekaligus Berbudaya.

Nyatanya pada era sekarang ini masih banyak pemimpin yang kurang berbudaya. Misalnya Gubernur Ahok, yang semena-mena membiarkan pusat-pusat kebudayaan di DKI Jakarta (seperti pusat sastra HB Jassin dan pusat perfilman Usmar Ismail)  tidak terawat dan sudah nyaris rusak.

Kebersihan sungai-sungai dan jalanan di DKI Jakarta pada era Gubernur Ahok memang layak dipuji, hanya cita rasnya terhadap keindahan tata kota tampak masih kurang. Setidaknya ini terbukti pada upaya Gubernur Ahok menumpuk Jembatan Semanggi peninggalan Bung Karno dengan jembatan lain sehingga membuat penampakan Jembatan Semanggi bila dilihat dari udara tidak secantik dulu (tanpa melihat kritik sejumlah pihak yang meragukan kemampuan jembatan tersebut mengurangi macet).

Dalam aspek Ketuhanan tentu kita tidak meragukan Gubernur Ahok yang menurut Lia Eden (nabi) merupakan titisan dari Dewa Kera Hanoman dan Dewa Kera Sakti Sun Go Kong. Wajar lah bila kemudian Gubernur Ahok pernah mengatakan dirinya dilindungi oleh 20 ribu Malaikat, ia  adalah avatar dari Dewa Monyet. Kebetulan sekali, menurut penanggalan Tiongkok, tahun 2016 adalah Tahun Monyet yang dimulai 8 Februari 2016 dan berakhir 27 Januari 2017 (catat! Tanggal pencoblosan Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah 15 Februari 2017).

Sama sekali tidak masalah bila seorang Pemimpin Politik disimbolkan sebagai titisan Tuhan atau Dewa. Bung Karno sampai saat ini di kalangan masyarakat Bali yang Sukarnois masih dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu, sang Pemelihara.

Sila ke-2 Kemanusiaan

Sila ini terutama untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia dan juga seluruh Dunia. Dengan SIla ini kita terutama menentang penjajahan terhadap bangsa apapun di mana pun. Sayang sekali, di dalam negeri selama Reformasi malah catatan perlindungan HAM kita sangat buruk, terutama bagi rakyat yang berasal dari wilayah Papua.

Masih terdapat sekalangan rakyat Papua yang merasa terjajah oleh keberadaan Republik Indonesia. Selain itu sifat rasis dan sifat-sifat yang meremehkan kemanusiaan adalah musuh dari Sila Kemanusiaan ini. Ini juga menjadi catatan bagi Gubernur Ahok selama melakukan penggusuran (bukan relokasi), karena pada banyak kasus korban gusuran yang sudah tinggal selama puluhan tahun harus kehilangan sama sekali asetnya (karena berdiri di atas lahan Negara) dan malah termiskinkan di rusun-rusun penampungan sementara (karena harus sewa) mereka.

Kaum Marhaen ini kabarnya hidup dalam ketakutan di bawah pengawasan para intel Gubernur Ahok. Selain itu adalah perlakuan Gubernur Ahok yang juga tidak manusiawi kepada para nelayan di Teluk Jakarta. Kabarnya dulu juga pernah terucap makian “komunis” (ala Orde Baru) dari mulut Gubernur Ahok kepada rakyat DKI Jakarta yang melawan kebijakannya. Dan makian-makian lainnya yang keluar dari Gubernur Ahok, yang membuat kita bertanya-tanya apakah memang Bangsa Indonesia sudah Beradab?

Sila ke-4 Demokrasi dan Kerakyatan

Sebuah band musik asal Pulau Bali yang bernama Nosstress dalam salah satu lagunya yang berjudul “Indonesia Begitu Katanya”, menyatakan bahwa kata-kata dalam Sila Ke-4 ini “..saking panjangnya jadi nggak ngerti, apalagi banyak rakyat yang nggak paham membaca.”. Sebenarnya untuk mempermudah, SIla ini hanya tentang perlindungan terhadap Demokrasi.

Bung Karno menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi Demokrasi Politik bila tidak terdapat Demokrasi Ekonomi (atau Keadilan Sosial). Demokrasi Politik tanpa Demokrasi Ekonomi akan menguntungkan para pemodal besar, para oligarkis.

Dalam kasus yang paling aktual adalah yang terjadi di jalannya pemerintahan DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ahok- yang dirinya juga merupakan produk Demokrasi Langsung tahun 2012 berpasangan dengan Jokowi. Saat ini lembaga eksekutif dan legislatif di DKI Jakarta seolah-olah (atau memang sebenar-benarnya??) berada di bawah kendali para oligarkis, para pengusaha besar di sektor properti atau yang biasa disebut “pengembang”. Gubernur Ahok sendiri dalam suatu tayangan di media social youtube pernah menyatakan betapa besarnya kontribusi para pengembang ini atas naiknya Presiden Jokowi.

Memperlengkap pernyataannya ini, Gubernur Ahok bersaksi di persidangan Kasus Suap Raperda Reklamasi (5/9) yang menyeret anggota DPRD dan direktur utama salah satu perusahaan “pengembang”, bahwa adalah Presiden Jokowi yang memerintahkannya untuk mendekati para “pengembang”.

Demokrasi Pancasila di era Reformasi tidak benar-benar mewakili Kaum Marhaen – Murba karena masih terbeli oleh kekuatan uang dari oligarkis “pengembang”. Dengan beralasan untuk membiayai aktivitas partai, para politisi mulai melakukan korupsi kebijakan seperti dapat kita lihat secara gamblang sekarang ini (dengan terus tertangkapnya oleh KPK para pelitisi korup ini).

Bila pas momentumnya dengan proses Demokrasi (Pilkada atau pemilu), para politisi dapat menjual mahal-mahal harga kursi mereka. Karena saking mahalnya biaya membeli kursi dari partai, para calon pemimpin kembali berpaling kepada sumbangan oligarkis “pengembang” yang sama. Proses politik yang korup ini berputar terus selama Reformasi bergulir, bagaikan lingkaran setan. Lingkaran yang hanya bisa diputus bila seluruh biaya politik, partai, dibiayai secara akuntabel dari pajak rakyat. Dalam era Reformasi Pembiayaan Partai Politik ini, niscaya pengarus capital para oligarkis “pengmebang” akan sangat jauh berkurang.

Sila Ke-5 Keadilan Sosial

Sila ini adalah juga leitstar dari Pancasila, yang seharusnya menjamin nasib hidup Kaum Marhaen, Murba, Proletar, Tani, Nelayan, Kaum Miskin, dsb di Republik Indonesia.

Dalam pidatonya sehari sebelum diangkat oleh Presiden Jokowi sebagai Menteri Keuangan (27/8) menggantikan Bambang Brodjonegoro, Ibu Sri Mulyani menyatakan bahwa ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia dan Dunia sudah sangat mengkhawatirkan.

Dikatakan oleh ekonom jebolan Bank Dunia ini, indicator kesenjangan (koefisien Gini) Indonesia meningkat tajam dari 30 pada tahun 2003 menjadi 41 pada tahun 2014. Artinya pertumbuhan ekonomi, penambahan kekayaan bangsa, lebih banyak dinikmati oleh 20% penduduk yang berpenghasilan tertinggi, lebih sedikit bagi 80% penduduk dengan penghasilan terendah.

Di bawah Gubernur Ahok, BPS menyebutkan bahwa ketimpangan pendapatan  masyarakat DKI Jakarta malah meningkat ke 46 (tertinggi di Indonesia!) per Mei 2016, di atas rata-rata nasional sebesar 41 (per Maret 2015). Artinya, pemerataan pendapatan warga DKI Jakarta di era Gubernur Ahok telah gagal. Menurut Kepala BPS DKI, sekitar 20% penduduk terkaya mengalamin kenaikan pendapatan cukup besar, sementara 40% penduduk di kelas menengah dan 40% penduduk termiskin mengalami penurunan pendapatan yang signifikan.

Dengan Bahasa sederhana, kebijakan Gubernur Ahok semasa menjabat telah semakin memiskinkan kaum Marhaen, Murba, Proletar, Tani, Nelayan, dan pedagang kecil, namun di sisi lain malah memperkaya para eksekutif yang bekerja di perusahaan “pengembang” dan para pengusaha.

Selain itu cara Gubernur Ahok mengelola keuangan daerah secara off-budget terutama untuk beberapa proyek, yang tanpa melalui persetujuan dan pengawasan dari DPRD (melanggar UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara), berpotensi mengembalikan pola KKN di masa Orde Baru. Setiap tindakan koruptif pasti bertentangan dengan Sila Keadilan, para koruptor bukanlah orang yang adil dalam pikiran dan perbuatan. Jelas di sini, Gubernur Ahok tidak membumikan Sila Kelima.

Sudah benar seperti instruksi Ibu Megawati Soekarnoputeri, “yang harus dilakukan kepala daerah dari PDI Perjuangan adalah menjalankan ideologi Trisakti.” Dengan menjalankan ideologi Trisakti, maka Pancasila (1 Juni 1945) dapat membumi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Tidak banyak sosok di Indonesia yang berekam jejak fasih memahami dan mengamalkan ideologi Trisakti selama menjabat di pemerintahan pun dari dirinya memancar semangat Proklamasi Kemerdekaan.

PDI Perjuangan pastilah sudah faham benar siapa mereka. Khusus untuk DKI Jakarta ada sosok yang sangat berbudaya hingga disayangi oleh Keluarga Benyamin Sueb, yang takdir hidupnya mirip dengan Bang Ali Sadikin sebagai sesama mantan menteri yang mengurusi perhubungan laut (maritim), dan pernah dipenjara di sel yang sama dengan Bung Karno di Sukamiskin. Merdeka!

*Penulis adalah mantan Sekretaris Jenderal Komite Pimpinan Pusat (KPP) Partai Rakyat Demokratik (PRD) 2010-2011. Sekarang aktif sebagai peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP).

      

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru