Rabu, 22 Maret 2023

Tentang Hak Politik Rakyat

Oleh: Dominggus Oktavianus Tobu Kiik

ADA satu pernyataan yang mendorong saya menuliskan catatan sederhana ini. Pernyataan tersebut banyak diajukan sebagai argumentasi, mulai dari tingkat pakar hukum, aktivis, sampai dengan orang-orang biasa di media sosial. Kurang lebih seperti ini intinya, “Memulihkan hak politik PRIMA tidak bisa dengan jalan menghilangkan hak politik rakyat.”

Konteks pernyataan ini berhubungan dengan petitum dalam gugatan perdata (perbuatan melanggar hukum) PRIMA yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari tujuh petitum yang seluruhnya dikabulkan, hanya satu yang menjadi sorotan, yaitu amar putusan yang berbunyi “Menghukum tergugat (KPU) untuk menghentikan proses tahapan Pemilu..”, dan seterusnya.

Mengapa hanya satu poin ini yang menjadi sorotan? Alasan paling umum adalah soal konstitusi, Pasal 22E ayat (1) UUD hasil amandemen, yang lengkapnya berbunyi: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.

Feri Amsari, ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, dalam sebuah diskusi mengatakan prinsip “dilaksanakan setiap lima tahun sekali” itu lebih penting (dibanding langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil) karena menyangkut rancangan ketatanegaraan. “Bisa kacau semua”, katanya.

Saya menghormati pendapat Bung Feri Amsari tersebut. Meski demikian, kami punya penafsiran berbeda terhadap Pasal 22E ayat (1) UUD di atas. Bagi kami, kualitas dan regularitas Pemilu yang termuat pada pasal tersebut memiliki arti penting yang sama atau sederajat. Tanpa Pemilu yang berkualitas maka ajang lima tahunan itu hanyalah formalitas dan basa-basi, tak ubahnya Pemilu-Pemilu di zaman Orde baru. Perlu digarisbawahi, hak politik rakyat bukan hanya hak masuk dalam bilik suara secara rutin. Regularitas tanpa peningkatan kualitas hanya menghasilkan repetisi. Sekali lagi, esensinya persis Orde baru hanya jubahnya berganti.

Oleh karena itu kualitas yang kami maksud di sini berhubungan dengan wacana demokrasi yang substantif bukan semata prosedural. Demokrasi yang substantif itu mesti berhulu pada partisipasi dan bermuara pada kesejahteraan Rakyat.

Orde baru menutup partisipasi rakyat hampir 100%. Reformasi 1998 menjebol itu. Dalam Pemilu 1999, yang disebut sebagai Pemilu paling demokratis setelah Pemilu 1955, tingkat partisipasi rakyat sangat tinggi, termasuk untuk menjadi anggota partai politik.

Tapi setelah itu mulai terjadi pemangkasan partisipasi politik rakyat. Saya melihat ini sebagai lanjutan dari proyek depolitisasi, melalui instrumen kebijakan di berbagai bidang. Paling kentara di antaranya adalah dengan produk Undang-Undang tentang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilihan Umum.

Dari periode ke periode, sejak 1999 sampai sekarang, kedua undang-undang tersebut terus mengalami perubahan yang semakin memberatkan syarat-syarat pendirian partai politik serta syarat partai politik menjadi peserta Pemilu. Semacam ada kesesuaian antara kekayaan ekonomi yang semakin terkonsentrasi ke kantong segelintir orang dengan kekuasaan politik yang juga semakin terkonsentrasi ke tangan segelintir orang.

Pada bulan Juni 2022 PRIMA melakukan upaya hukum berupa Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU No. 7/2017, khususnya pasal 173 ayat (1) yang mengatur syarat partai politik menjadi peserta Pemilu. Judicial Review ini ditolak dengan alasan, terutama, adanya penyederhaan sistem kepartaian yang sesuai dengan desain konstitusi (sistem presidensil).

Ini isu lama. Sejak pemerintah dan para pakar bicara penyederhaan sistem kepartaian (baca: membatasi jumlah partai politik), wacana tentang politik yang partisipatif menjadi tenggelam. Bagaimana mengharapkan partisipasi rakyat ketika mendirikan partai politik saja dipersulit? Apakah hak politik rakyat sebagaimana Pasal 28 UUD boleh dicabut atas nama penyederhanaan sistem kepartaian? Mengapa kita lebih risau terhadap desain ketatanegaraan daripada kedaulatan rakyat itu sendiri?

Menurut data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diolah dari hasil survey Indikator Politik dan SRMC, jumlah orang yang bersedia diidentifikasi berafiliasi dengan partai politik (party identification/Party ID) terus mengalami penurunan secara drastis; dari 86 persen di tahun 1999, menjadi tersisa 7 persen di tahun 2019. Padahal, partai politik adalah tiang bagi rancang bangunan tata negara yang paling penting karena berperan untuk berdirinya semua institusi kenegaraan: eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Proyek depolitisai berjalan sukses. Kalau di masa orde baru depolitisasi dilakukan dengan cara represi atau pola militeristik, maka di masa reformasi ini politisasi dilakukan dengan berbagai cara; termasuk deviasi peran, privatisasi, dan pembusukan terhadap institusi-institusi politik.

Sekarang kembali ke soal hak politik rakyat. Benar, bahwa menegakkan hak politik PRIMA tidak boleh melanggar hak politik pihak lain. Tapi bukan itu yang PRIMA inginkan. Kami bukan semata berjuang untuk mengangkat hak politik PRIMA sendiri, melainkan hak politik rakyat secara umum untuk menjadi subyek politik yang sadar dan aktif. Pemilu yang berkualitas hanya salah satu jalan, jujur dan adil adalah sebagian parameter. Bahkan dalam sembilan program unggulannya, PRIMA mengusung demokrasi partisipatoris yang salah satu bentuk implementasinya adalah referendum sebagai mekanisme untuk memutuskan perkara-perkara penting menyangkut nasib rakyat, bangsa dan negara.

Sudah cukup lama bangsa kita melakukan repetisi tanpa mengubah esensi. Mungkin polemik sekarang bisa dijadikan momentum untuk mendiskusikan hal-hal yang lebih substantif.

* Penulis Dominggus Oktavianus Tobu Kiik, Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,584PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru