JAKARTA — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango angkat suara merespons pernyataan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut operasi tangkap tangan (OTT) sebagai cara kampungan.
Dimintai tanggapan soal itu, Nawawi meminta agar hal itu ditanyakan langsung kepada Luhut. Namun, dia menilai upaya digitalisasi faktanya belum bisa mengurangi praktik korupsi di Indonesia.
“Tanya beliau apa alasannya? Nyatanya bahwa digitalisasi belum bisa memberi jawaban semua,” kata Nawawi usai rapat di Komisi III DPR, Selasa (11/6).
Dia menuturkan angka korupsi di Indonesia hingga saat ini masih tinggi meski digitalisasi telah dibuat sedemikian maju.
“Negara ini tetap masih rame dengan soal korupsi itu. Meskipun digitalisasi itu sudah sedemikian maju,” ucap Nawawi.
Luhut Anti OTT
Sebelumnya kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Luhut kembali menyatakan ketidaksetujuannya terhadap OTT yang dilakukan KPK. Menurut dia, KPK tak perlu melakukan OTT jika bisa menggunakan cara lain untuk menekan praktik korupsi.
Pernyataan itu disampaikan Luhut di acara Pencanangan Hari Kewirausahaan Nasional dan Ulang Tahun HIPMI ke-52 di Jakarta, Senin (10/6).
Dia menilai digitalisasi bisa jadi kunci pencegahan korupsi. Luhut mencontohkan Sistem Informasi Mineral dan Batu Bara (SIMBARA) sebagai sistem satu pintu pengelolaan minerba di Indonesia jadi salah satunya.
“Dulu saya dibully, dibilang kenapa Pak Luhut enggak setuju OTT? Ya enggak setujulah. Kalau bisa tanpa OTT, kenapa bisa OTT? Kan kampungan itu, nyadap-nyadap telepon, tahu-tahu nyadap dia lagi bicara sama istrinya, ‘Wah enak tadi malam Mam’, katanya. Kan repot,” ucap Luhut.
Digitalisasi dan Korupsi
Menanggapi kedua pandangan berbeda di atas Savitri, Mahasiswa tehnik informasi di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta menjelaskan bahwa semaju apapun tehnologi digital, pasti akan ada manusia yang mengendalikannya.
“Kalau peradaban bangsa ini korup ya pasti teknologi akan diakalin supaya bisa korupsi. Maka wajat tidak akan ada kemajuan pada bangsa ini,” ujarnya kepada Bergelora.com, Selasa (11/6).
Hal ini dibenarkan oleh Winda, yang bekerja di sebuah kementerian di Jakarta. Iaemberi contoh sistim e-katalog di lembaga pemerintahan seharusnya bisa menekan korupsi anggaran di kementerian.
“Tetap saja korupsi semakin canggih dan meningkat. Sebelum submit, pihak ketiga bisa cincai dulu sama pejabat pembuat komitmen. Jebol juga kan,” jelasnya.
Savitri dan Winda sepakat penyadapan dan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan oleh KPK tetap perlu dilakukan oleh KPK.
“Koruptor kan musuh rakyat. Jangan dibelain dong pung,. Harus diperangi sampai habis,” tegasnya menanggapi Luhut. (Web Warouw)