MANADO- Amdal sampai Ijin Lingkungan PT.Tambang Mas Sangihe (PT.TMS)ternyata cacat hukum.
Hal itu terungkap dari kesaksian Bernard Eduard Tuwokona Pilat dan Christofel Hangau dalam sidang PTUN Manado, Kamis (17/2).
Sidang Gugatan 56 orang perempuan dari Kampung Bowone dan kampung Binebase dengan nomor 57/G/LH/2021/PTUN.MDO terhadap Kepala Dinas Penanaman Modal – PTSP Sulut sebagai Tergugat I, Kepala Dinas LH Sulut sebagai Tergugat II, dan PT Tambang Mas Sangihe sebagai Tergugat II Intervensi, Kamis (17/2) di Kantor Peradilan Tata Usaha Manado memasuki babak baru.

Setelah melalui beberapa kali persidangan untuk perbaikan gugatan dan pengajuan bukti-bukti dari masing-masing pihak, sidang ,Kamis memasuki agenda sidang offline yakni pemeriksaan saksi fakta yang diajukan oleh penggugat.
Bernard Eduard Tuwokona Pilat,pensiunan Aparat Sipil Negara (ASN) yang pernah menjabat sebagai Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan tahun 2014 – 2019, merangkap kepala Bapelitbang Kabupaten Kepulauan Sangihe yang secara otomatis berfungsi sebagai Sekretaris Badan Koordinasi Perencanaan Ruang Daerah (BKPRD) Kabupaten Sangihe.
Sementara saksi lainnya adalah Christofel Hangau, mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup tahun 2017 – 2019. Beliau juga pernah menjabat sebagai Kepala Badan Kesbangpol Sangihe.
Kedua pensiunan pejabat di lingkup Pemkab Sangihe yang diajukan menjadi saksi tersebut, telah mengungkap banyak fakta penting di persidangan .
Alotnya pengungkapan fakta yang dielaborasi oleh 3 orang Majelis Hakim dan pengacara baik dari pihak penggugat maupun tergugat dan tergugat intervensi.
Sidang yang dibuka dibuka pukul 13.00 wita yang diawali dengan penyerahan bukti-bukti baru dan selesai pukul 16.30,
Atas pertanyaan yang diajukan pengacara dari pihak penggugat, Reinhaard Mamalu,SH,, MH., Saksi Bernard Pilat, dalam persidangan menyampaikan secara runtut beberapa hal yakni bahwa pada tanggal 7 Oktober 2017, PT.TMS melalui surat bernomor : TMS/XI/2017/26 yang ditujukan kepada Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe, mengajukan permohonan rekomendasi sehubungan dengan kesesuaian tata ruang melalui agenda pembahasan BKPRD, karena mereka (PT.TMS) akan melakukan penyusunan Analisis Mengenai Lingkungan (AMDAL).
Merespon surat permohonan PT.TMS tersebut, tanggal 21 Desember 2017 pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe melaksanakan rapat BKPRD yang dihadiri oleh 8 instansi teknis terkait di Kabupaten Kepulauan Sangihe yakni Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Kepala Dinas Lingkungan, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kepala Bagian Hukum Setda, dengan jumlah peserta rapat 23 orang.
Berdasarkan hasil rapat tersebut, maka pada tanggal 10 Januari 2018 Sekretaris Daerah Kabupaten Sangihe selaku Ketua BKPRD Sangihe membuat surat Rekomendasi yang ditujukan kepada Bupati Sangihe.
Isi surat rekomendasi terkait permohonan dari direktur PT.TMS tentang kesesuaian ruang kegiatan pertambangan tidak dapat dipenuhi karena tidak sesuai dengan UU no.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Kabupaten Sangihe sangat kecil, karena luasnya hanya 736 Km2, yang tidak bisa dilakukan pertambangan,”ujar Bernard Pilat.
“Hal lain yang mendasari surat rekomendasi tersebut menurut Bernard Pilat adalah Perda Kabupaten Sangihe Nomor 4 tahun 2014 tentang Rencana Penataan Ruang Daerah Wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2014 – 2034. Pasal 47 ayat (1) menyatakan Kawasan pertambangan sebagaimana dalam pasal 44 huruf C,wajib mematuhi perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku” ,ujar saksi melanjutkan keterangannya
“Ketika rekomendasi ruang kepada PT.TMS tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah Kabupaten Sangihe, maka proses Amdal tidak bisa dilanjutkan. Saya mengetahui ada surat rekomendasi ruang yang dari oleh PUPR Provinsi, sementara seharusnya rekomendasi tersebut harus dari kabupaten Sangihe sebagai pihak yang paling berwenang dan tahu dengan situasi daerahnya,” jelas saksi lagi.
Mempertegas penjelasannya, Saksi yang akrab dipanggil Pak Ben ini juga menyatakan bahwa Perda Provinsi nomor 1 tahun 2017 tentang Rencana Wilayah Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sama sekali tidak mencantumkan Sangihe sebagai Kawasan pertambangan.
Dalam pemahamannya sebagai masyarakat (pensiunan) yang telah terlibat dalam proses-proses yang terjadi sampai di tahun 2018. “Saya berpendapat bahwa , Amdal PT. TMS cacat hukum!,” tegas saksi menjawab pertanyaan pengacara.
Beberapa pertanyaan lain, yang diajukan baik oleh Ketua Majelis Hakim, Fajar Wahyu Jatmiko SH maupun pengacara tergugat dan tergugat intervensi dapat dijawab dengan baik, karena substansinya tidak jauh berbeda dengan pertanyaan-pertanyaan di awal.
Saksi juga menyatakan bahwa perencanaan pembangunan Sangihe yang dituangkan Perda no. 3 tentang RPJMD 2017 – 2022 Sangihe mengatur pengembangan beberapa wilayah di kabupaten Sangihe berdasarkan kluster-kluster (minapolitan) yang bertumpuh pada pembangunan sector perikanan, pertanian dan pariwisata. Bukan Pertambangan.
Sesi berikutnya, Pengacara mengajukan pertanyaan yang mengenai pengetahuan saksi tentang penolakan para kepala desa (Kapitalaung) terhadap keberadaan PT.TMS.
Saksi menyatakan bahwa yang ia tahu, mayoritas Kapitalaung di Sangihe sangat menolak.
Demikian juga masyarakat Sangihe, tidak hanya yang berdiam di Sangihe, tetapi sudah menjadi meluas sampai ke luar negeri juga.
Ketika ditanyakan oleh Majelis Hakim tentang adanya aktivitas penambangan rakyat, yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, saksi menyatakan mengetahui bahwa ada aktivitas pertambangan tersebut.
Sudah pernah ada proses hukum yang dijalani masyarakat. Harusnya instansi berwenang melakukan tugasnya untuk meminimalisir kerusakan lingkungan.
Sebagai mantan penjabat, ia juga menyayangkan dan tidak setuju terhadap aktivitas apapun yang merusak lingkungan di Sangihe.
Saksi Fakta berikutnya, Christofel Hangau, mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup periode 2017 – 2019, menjelaskan beberapa hal pada pokoknya hampir sama dengan keterangan saksi fakta pertama.
Menjawab pertanyaan pengacara penggugat, terkait proses ijin PT.TMS, dalam penjelasannya, saksi menyampaikan juga bahwa rekomendasi BKPRD Kabupaten Sangihe melalui hasil rapat instansi teknis terkait yang tidak mengabulkan permohonan PT.TMS merupakan dasar bagi DLH Kabupaten Kepulauan Sangihe tetap tidak merestui dilaksanakannya proses pembahasan amdal PT.TMS.
Saksi juga menyampaikan bahwa, pada tahun 2017, sehubungan dengan rekomendasi BKPRD yang tidak bisa memenuhi permohonan PT.TMS, Dinas Lingkungan Hidup Sangihe, pernah dipanggil menghadiri rapat konsultasi Teknik di Jakarta dengan pihak kementerian terkait.
Hasil rapat konsultasi teknis tersebut pun tetap merekomendasikan, PT.TMS tidak bisa melakukan aktivitas pertambangan di Sangihe.
Pengacara mengajukan pertanyaan terkait Amdal yang sudah dilakukan oleh DLH Provinsi, seharusnya bagaimana prosesnya?
“Lokusnya ada di daerah kami. Yang paling tahu situasi dan kondisi ril adalah DLH Kabupaten Sangihe,” jelas saksi Hangau menjawab pengacara.
Ditambahkan,sepengetahuan saksi pula sesuai informasi dari masyarakat, mereka tidak pernah dilibatkan atau disosialisasikan tentang proses amdal.
“ Semua stakeholder di Sangihe sangat penting dilibatkan. Jika landasannya UU Pemerintahan Daerah, kami bukan bawahan!”, tutur saksi Hangau
Ditambahkan, pengetahuannya terkait upaya PT.TMS yang terkesan memaksakan pembahasan Amdal, pada sekitar September atau Oktober 2017, DLH Sangihe diundang menghadiri rapat pembahasan kerangka andal PT.TMS yang bertempat di hotel Gran Puri Manado.
Pada waktu yang sama, saksi mendapat tugas ke Jakarta, dan dia menugaskan 3 orang stafnya dan Benny Kansil.
Sebagai pimpinan, Saksi tegas menyatakan kepada stafnya untuk menyatakan sikap tegas menolak pembahasan kerangka andal maupun amdal dilanjutkan, karena pemerintah kabupaten sudah punya sikap tegas menolak aktivitas pertambangan di Sangihe.
Majelis Hakim menanyakan kepada saksi, apakah pernah ada pengajuan ijin dari pihak lain selain PT.TMS?
Saksi menjawab tidak ada. Lalu Hakim menelisik lagi dengan pertanyaan, bagaimana dengan aktivitas pertambangan rakyat yang juga merusak lingkungan, saksi memberikan keterangan selama beliau menjabat sebagai Kadis LH, intens melakukan sosialisasi tentang penyelamatan lingkungan dari berbagai aktivitas manusia yang merusak lingkungan, termasuk pertambangan rakyat.
Saksi mencontohkan Kampung Laine di Kecamatan Manganitu Selatan sering dilanda banjir, menjadi contoh buruk terjadinya bencana akibat kerusakan lingkungan.
Kepada kedua saksi ditanyakan juga apakah mengetahui sikap Lembaga Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST) dan Badan Adat Sangihe?
Keduanya menjawab senada, GMIST dan Badan Adat Sangihe telah menyatakan secara resmi dan bersikap tegas menolak PT.TMS beroperasi di Sangihe.
Setelah memakan waktu yang lumayan panjang untuk mengungkap fakta yang diketahui oleh kedua mantan pejabat yang disegani pada jamannya tersebut, oleh Ketua Majelis Hakim sidang pun dinyatakan ditutup.
Ketua Majelis Hakim menegaskan, agenda sidang minggu berikutnya tetap masih memberikan kesempatan kepada penggugat menghadirkan saksi fakta atau saksi ahli.
Masyarakat yang menyempatkan diri menghadiri sidang tersebut antara lainnya Pendeta, Tapadongko dari Salurang, Elbi Piter dari Bowone, Venetzia Andemora dari Bentung, Robison Saul dari Sowaang.
Pendeta Tapadongko dari Salurang menyatakan pihaknya sangat menolak beroperasinya, PT.TMS mengingat keselamatan anak cucu di masa mendatang.
“Ternyata saya baru mendengar Kamis hari ini di PTUN Manado bahwa penolakan pemerintah sudah dinyatakan dalam sikap BKPRD sejak 2017 yang tidak memenuhi permohonan PT.TMS. Berarti pemerintah dan rakyat sudah sejalan berjuang demi keselamatan Sangihe,” ujarnya
Sementara Elbi Piter menegaskan masyarakat konsisten dengan perjuangan menolak PT.TMS, demi kehidupan di kampung Bowone, yang terancam tergusur jika perusahaan beroperasi.
“Sebab, dalam rencana PT.TMS sesuai perencanaan mereka, kampung kami akan didirikan pabrik dan bangunan-bangunan lain. Tetapi kami sendiri sebagai masyarakat yang berdiam di Bowone tidak pernah tahu tentang rencana perusahaan ini, tidak pernah ada sosialisasi sebelumnya, sampai tiba-tiba saja mereka(PT.TMS) sudah datang membawa ijin lingkungan dan IUP ditangan mereka,” tutur Ibu Rumah Tangga itu.
Kepada Bergelora.com di Manado dilaporkan, sebagaimana diketahui dan sudah terekspose ke public, penolakan terhadap PT.TMS sangat massif dan intens akhir-akhir ini.
Masyarakat Sangihe lebih memilih hidup bersahaja, aman dan tenteram tanpa PT. TMS. (EDL)