JAKARTA- Selama pemerintahan Jokowi, telah terjadi lebih 30 kali aksi penyerangan dan pembubaran serta pengekangan kebebasan berkumpul dan berekspressi yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara tanpa kecualinya. Segala bentuk intimidasi, diskriminasi dan aksi teror terhadap para korban dan keluarganya 1965 yang masih berlangsung saat ini jelas bertujuan untuk menciptakan rasa takut demi membungkam para korban agar tidak mengungkap kebenaran dan menuntut keadilan dan reparasi/rehabilitasi yang menjadi hak mereka. Hal ini disampaikan oleh Anggota Pengarah Sekretariat IPT (Indonesian People’s Tribunal) 1965 Reza Muharam kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (15/4) sehubungan dengan terjadinya aksi penyerangan oleh kelompok intoleran terhadap pertemuan yang diselenggarakan oleh YPKP 1965 di kawasan Cisarua Kamis (14/4).
Padahal menurutnya, bagian paling penting dari pemecahan masalah pelanggaran HAM adalah pengungkapan kebenaran tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan motif (politik) di balik kejadian pelangaran HAM Berat.
“Selain itu, perbuatan-perbuatan melanggar HAM karena dibiarkan terjadinya oleh aparat kepolisian dan TNI tersebut menunjukkan pula masih bercokolnya kekuatan Orde Baru yang menolak bertanggungjawab atas kejahatannya di masa lalu, meski Presiden Jokowi, baik dalam Nawacitanya maupun dalam pernyataannya di berbagai kesempatan menegaskan akan segera menyelesaikannya baik secara judicial maupun non judicial,” ujarnya.
Bahwa pembiaran yang dilakukan aparat kepolisian dan keamanan serta pembiaran aksi penyerangan oleh kelomppk intoleran, menurutnya akan menambah beratnya beban tanggung jawab negara dimata hukum nasional maupun hukum Internasional. Karena perbuatan tersebut menambah elemen niat (mens rea) untuk membinasakan kelompok korban tak bersalah.
“Sehingga kejahatan HAM berat yang terjadi tidak saja masuk dalam kategori kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dinyatakan oleh laporan Komnas HAM (2012) tapi juga mengarah berat pada terjadinya genosida politik sebagaimana telah dikemukakan oleh para peneliti dan ahli,” ujarnya
Upaya membinasakan kelompok korban kejahatan HAM berat 1965 oleh kelompok intoleran dan atau kelompok-kelompok yang organisasinya diduga terlibat dalam kejahatan HAM berat ini dapat terjadi akibat pembiaran dari aparat kepolisian dan keamanan (militer) bahkan dengan pengerahan yang sangat eksesif. Menurut informasi 500 personel polisi dan tentara membubarkan pertemuan bersama dengan 1.000 orang massa intoleran.
Bahwa segala bentuk aksi terror dan pelanggaran hak korban 1965 dan keluarganya ini menunjukkan urgensi harus adanya penyelesaian kasus 1965 yang menyeluruh atas perkara kejahatan HAM Berat 1965.
“Karena itu kami menegaskan rekonsiliasi bukanlah metode untuk penyelesaian suatu kasus impunitas, tapi adalah produk akhir dari proses penyelesaian yang mengakomodasi hak-hak korban; yakni hak atas kebenaran, keadilan, reparasi dan adanya jaminan negara bahwa hal serupa tidak akan terulang kembali,” jelasnya.
Dengan demikian menurutnya diterapkannya azas persamaan di muka hukum, dan adanya jaminan keamanan terhadap warga yang dilindungi Negara adalah prasyarat bagi adanya proses menuju rekonsiliasi. Karena itu Menkopolhukam, jika serius hendak menjalankan instruksi presiden untuk ikut menyelesaikan kasus kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, sesuai dengan fungsinya harus ikut bertanggungjawab atas terselenggaranya jaminan keamanan itu. (Web Warouw)