Senin, 16 Juni 2025

Tiba Saatnya PRT Mudik

Oleh : Lita Anggraini

Kurang lebih 1 bulan lagi adalah masa Lebaran. Masa dimana mayoritas Pekerja Rumah Tangga (PRT) pulang mudik. Masa dimana para majikan dihadapkan pada berbagai pilihan. Pertama, mengerjakan tugas-tugas domestik untuk sementara waktu 1-2 minggu. Kedua, bagi kelas menengah atas memilih mempekerjakan PRT Infal untuk sementara waktu dengan upah Rp 100.000 – Rp 200.000/hari. Ketiga, atau berlibur lokal atau ke luar negeri berpindah tinggal sementara di hotel. Sambil berharap cemas menunggu PRT kembali bekerja, sehingga majikan juga bisa kembali beraktivitas seperti biasa.

 

Pada saat tersebut, mungkin para majikan merasakan  betapa pentingnya PRT dalam kelangsungan aktvitas mereka khususnya aktivitas ekonomi para majikan yang bermuara pada aktivitas ekonomi kelompok masyarakat dari yang terkecil rumah tangga ataupun negara.

Situasi ini yang umum tergambar di Indonesia khususnya di masyarakat rumah tangga kelas tengah dan ke atas. Tak terkecuali para anggota DPR dan para pejabat Pemerintah sebagai pejabat penyelenggara negara. Selama ini para majikan di Indonesia  dengan budaya “feodal, bias kelas dengan relasi kuasa yang kuat” menjelma menjadi “raja dan ratu kecil” yang menikmati kerja PRT secara eksploitatif dan berbayar murah. Bahkan seperti anggota DPR, Menteri dan Pejabat Eselon I-IV bisa mempekerjakan lebih dari 4 atau 5 PRT karena berbayar murah dan tunduk.

Maka dapat dikatakan bahwa demikian “kental”nya – lebih dominan sisi sebagai majikan atas kepentingan situasi menguntungkan ini pada para pejabat penyelenggara negara dalam pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Ratifikasi Konvensi ILO 189 Situasi Kerja Layak PRT untuk perlindungan PRT lokal dan PRT migran.

Para  Anggota DPR, Presiden, Pejabat Pemerintahan: pemimpin, penyelenggara negara telah meminggirkan dan mendiskrininasi PRT yang memungkinkan mereka bisa bekerja, berbicara banyak tentang demokrasi, keadilan, kesejahteraan, HAM, perubahan iklim, kesehatan, atas nama rakyat, bekerja dengan profesional, memiliki kesuksesan karir, memiliki keahlian di bidangnya, hidup sejahtera dan juga untuk keluarganya. Mereka bisa berbicara, berperan, menyelenggarakan segala aktivitas dan aspek kehidupan publik segala sektor penyelenggaraan negara, pendidikan, pengembangan iptek, usaha: industri barang, jasa, hiburan, karena kontribusi besar ekonomi, sosial, waktu dari PRT,

Namun demikian, situasi Pekerja Rumah Tangga sungguh berbeda, jauh dengan situasi bertema keseteraan, keadilan, HAM dan kesejahteraan. Realitas menunjukkan pelanggaran HAM kerap terjadi pada kawan-kawan yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) – yang mayoritas adalah perempuan dan anak. Dimensi pelanggarannya adalah pelanggaran atas hak anak, hak pendidikan, kekerasan dalam berbagai bentuk.

Pekerja Rumah Tangga ini rentan berbagai kekerasan dari fisik, psikis, ekonomi, sosial. PRT berada dalam situasi hidup dan kerja yang tidak layak, situasi perbudakan. PRT mengalami pelanggaran hak-haknya: upah yang sangat rendah (< rata-rata) ataupun tidak dibayar;  ditunda pembayarannya; pemotongan semena-mena; tidak ada batasan beban kerja yang jelas dan layak – semua beban kerja domestik bisa ditimpakan kepada PRT, jam kerja yang panjang,– rata-rata di atas 12-16 jam kerja yang beresiko tinggi terhadap kesehatan, nasib tergantung pada kebaikan majikan; tidak ada hari libur mingguan, cuti; minim akses bersosialisasi – terisolasi di rumah majikan, rentan akan eksploitasi agen – korban trafficking, tidak ada jaminan sosial, tidak ada perlindungan ketenagakerjaan, dan PRT migran berada dalam situasi kekuasaan negara lain.

Pekerja rumah tangga tidak diakui sebagai pekerja, karena pekerjaan rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerjaan yang sesungguhnya. Tidak diakuinya peran PRT selama ini berdampak pada pelecehan dan  kekerasan, baik kekerasan ekonomi, kekerasan fisik, kekerasan psikis, bahkan kekerasan seksual. Menurut catatan JALA PRT, selama 2012-2013, sampai sejumlah 653 orang; 2014 sebanyak 408 orang mengalami berbagai kasus pelanggaran hak-hak dasar mereka. Hak-hak yang seringkali dilanggar adalah hak atas upah, hak untuk batasan jam kerja, hak beristirahat, hak libur, hak untuk keluar rumah, hak berkomunikasi, hak berorganisasi, hak mendapatkan perlakuan manusiawi, hak mendapatkan jaminan sosial. Padahal di dalam pasal 28 D ayat 2 UUD 1945 jelas dikatakan bahwa:

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Dan juga ditekankan dalam pasal 28I ayat 4:

“Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara terutama pemerintah”.

Hari PRT Internasional

Pada 16 Juni ini adalah Hari PRT Internasional,  Hari yang diperingati sebagai lahirnya Konvensi ILO 189 tentang Sistuasi Kerja Layak pada tanggal 16 Juni 2011. Tepat pada Sesi ke-100 Sidang Perburuhan Internasional dengan tema “Kerja Layak”. Konvensi Kerja Layak PRT (KILO No. 189 KERJA LAYAK PRT) ini menjadi Sejarah Sosial Baru untuk Dunia yang lebih beradab dan berkeadilan, bagi semua umat, bagi 100 juta PRT di dunia yang – mayoritas adalah perempuan dan sebagian adalah berusia anak, termasuk lebih dari 10 juta PRT yang bekerja di Indonesia dan lebih dari 6 juta PRT migran Indonesia.

Konvensi ini memberikan pengakuan PRT sebagai pekerja da, penghormatan dan perlindungan atas hak-hak yang melekat padanya dan situasi kerja layak PRT sebagaimana Pekerja yang lainnya.

Dunia sudah mengakui PRT sebagai pekerja yang memiliki hak-haknya melalui Konvensi ILO Nomor. 189 tentang Kerja Layak PRT. Dalam Sesi ke-100 Sidang Perburuhan Internasional 14 Juni 2011, Presiden SBY bahkan menyatakan komitmennya untuk meratifikasi Konvensi ini dan berjanji memberikan perlindungan bagi PRT baik yang bekerja di dalam negeri maupun yang di luar negeri.

 16 Juni 2015, Hari PRT Internasional di Indonesia masih ditandai dengan potret buram situasi PRT Indonesia di dalam dan migrant. Pertama, setelah 11 tahun perjalanan RUU PPRT di DPR sejak 2004. Setelah menjadi Prioritas Legislasi Nasional 2010, 2011, 2012, 2013, 2014 dan sudah tinggal sejengkal langkah disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR, justru DPR menghapus RUU PPRT dari Prolegnas 2015.   Kedua, demikianpun, DPR dan  pemerintah juga menolak Ratifikasi Konvensi ILO 189. Hal yang sangat riskan dalam Pembahasan Revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN.

Berbagai Aksi memperjuangkan RUU PPRT dan  Ratifikasi KILO 189 dilakukan masyarakat sipil termasuk dengan Reli Mogok Makan Nasional yang diikuti 1.517 relawan menuntut dikembalikannya RUU PPRT sebagai Prioritas Prolegnas. Dalam pertemuan JALA PRT KAPPRTBM dengan Komisi IX DPR RI24 Maret 2015, Komisi IX menyampaikan bahwa akan memasukkan kembali RUU PPRT dalam Prioritas Prolegnas 2015. Namun hingga sekarang, paska penghilangan RUU Perlindungan PRT dari Prioritas Prolegnas 2015, Komisi IX DPR RI tidak menunjukkan keseriusan atas tanggungjawabnya memberikan perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Komitmen yang disampaikan oleh Dede Yusuf, Ketua Fraksi Komisi IX DPR RI, bahwa Komisi IX akan berkomitmen memasukkan kembali RUU tersebut ke dalam Prioritas Prolegnas 2015 tidak berlanjut. Bahkan, beberapa surat pengajuan dari JALA PRT untuk melakukan audiensi ke fraksi-fraksi tidak ada satupun yang terealisir, dengan berbagai alasan dari mereka.

Fakta demikian yang menunjukkan bahwa “wajah majikan anggota DPR dan pemerintah” lebih mengemuka dalam ketidakmauan untuk membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan PRT dan Ratifikasi KILO 189 Tentang Kerja Layak Bagi PRT.

*Penulis adalah Ketua Jaringan Nasioanl Advokasi PRT

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru