Rabu, 2 Juli 2025

Tidak Manusiawi, Penyiksaan Dalam Menunggu Hukuman Mati

JAKARTA- Terkait penyiksaan dalam hukuman mati, ICJR mendorong Moratorium atas hukuman mati di Indonesia. Praktek hukuman mati ini telah mendorong “death row phenomenon” karena panjangnya deret  waktu tunggu eksekusi terpidana mati, yang bahkan mencapai 16 tahun. Lamanya waktu tunggu ini telah menimbulkan situasi penyiksaan bagi terpidana mati. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (26/6) dalam menyambut kembali hari anti penyiksaan sedunia 26 Juni 2016.

Ia menjelaskan, pelapor khusus (Special Reporteur) PBB tentang penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang, Juan Mendez, dalam laporan pada 2012 menyatakan hukuman mati haruslah dilihat dalam bingkai martabat manusia dan larangan terhadap penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang.

“Secara praktik, hukuman mati mengakibatkan penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang terkait dengan  death row phenomenon (fenomena masa tunggu eksekusi) dan metode eksekusi yang mengakibatkan tersiksa dan tidak manusiawi,” ujarnya.

Setidaknya dalam rezim Presiden Joko Widodo, eksekusi mati telah menyisakan permasalahan serius terkait kondisi ini. Pada dua eksekusi terakhir, rata-rata masa tunggu mencapai 10 Tahun 6 bulan, dengan waktu tunggu paling lama mencapai 16 tahun.

“Waktu tunggu yang begitu lama ini, di satu sisi menunjukkan bahwa para terpidana sesungguhnya sudah mendapatkan hukuman penjara yang tidak sedikit, dengan begitu, terpidana mendapatkan dua kali hukuman yaitu penjara dan pidana mati,” jelasnya.

Menurutnya, perlakukan ini merupakan perlakuan yang tidak manusiawi. Selain itu, kondisi di masa tunggu juga mengakibatkan trauma mental yang berat dan kemunduran kondisi fisik dalam tahanan.

“Rodrigo Gularte dan Marco Archer Cardoso Moreira dieksekusi dalam kondisi gangguan jiwa dan mental yang tidak stabil. Mary Jane, yang sampai saat ini masih masuk dalam masa tunggu terpidana mati, mendapatkan trauma mental dan stress yang mengakibatkan dirinya sering membenturkan kepala ke tembok,” ujarnya mengutip Wakil Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Yuniyanti Chufaizah.

Ia juga menceritakan kondisi terpidana Zainal Abidin yang dipindahkan ke ruang isolasi dalam kondisi stress saat permohonan Peninjauan Kembalinya masih diperiksa di MA setelah 10 tahun tertunda tanpa penjelasan jelas.

“DPR sampai saat ini juga tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap MA, untuk meminta penjelasan 10 tahun tertundanya PK Zainal Abidin,” jelasnya. (ZKA Warouw)

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru