Dalam kasus tewasnya 6 anggota FPI (Front Pembela Islam) terakhir, negara harus dipercaya menjadi juri dalam memutuskan mana yang agama dari yang bukan agama. Hal ini sampaikan Salahuddin Harahap, Dosen Filsafat UIN Sumatera Utara, Ketua Gerakan Dakwah Kerukunan & Kebangsaan (GDKK) yang tinggal di Medan, Sumatera Utara kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Salahuddin Harahap
SETIAP theis pasti meyakini bahwa Tuhan tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya memgalami kesesatan di bumi. Keyakinan terhadap hal ini tidak saja bersifat apriori tetapi juga telah beraifat apostriori lewat sederetan testimoni yang terekam dalam sejarah dan kitab suci.
Bahkan, dalam pandangan seorang muslim, kehidupan manusia (al-hayat) adalah anugerah Tuhan, tepatnya pengejawantahan dari salah satu sifat Tuhan yakni “Allahu la ilaha illa huwa al-hayyu al-qayyum”. Karena posisinya yang demikian, maka kehidupan (al-hayat) yang meliputi penciptaan, gerakan dan pemeliharaan diselenggarakan dalam lewat pemungsian dua nama Tuhan yakni Maha Pengasih (al-Rahman) dan Maha Penyayang (al-Rahim).
Secara operasional, al-Rahman dan al-Rahim ini akan diterima sebagai rahmat dan nikmat dari Tuhan. Sehingga puncak dari rahmat dan nikmat yang diperoleh manusia dari Tuhan adalah agama (al-dien). Tuhan berfirman dalam al-Qur’an Surat alAn-Biya:107 “Wa ma arsalna ka illa rahmatan li al-‘alamin” yang bermanka bahwa pengutusan al-Rasul Saw beserta risalah yang dibawanya yakni al-Islam merupakan rahmat terbesar bagi seluruh alam semesta.
Konsisten terhadap hal tersebut, maka kehadiran agama dalam kehidupan manusia termasuk alam semesta, merupakan rahmat dan nikmat Tuhan yang isinya meliputi ajaran, referensi, petunjuk, tuntunan, aturan, batasan, inspirasi serta perintah dan larangan yang diperlukan manusia untuk dapat hidup secara teratur, bermakna, sejahtera, bahagia dan bermartabat di bumi.
Ironi, ketika kemudian agama telah tertuduh dan dikambinghitamkan sebagai penyulut kekacauan, kebencian, konflik, permusuhan hingga pembantaian yang akan berdampak pada munculnya degradasi keyakinan terhadap agama sebagai penuntun ke jalan lurus dalam kehidupan di bumi.
“AGAMA VS AGAMA”, SIAPA YANG MENJADI JURINYA?
Fenomena radikalisme telah tumbuh dan merebak di berbagai wilayah di dunia, dan sebagian besar justru terjadi di negara kita Indonesia. “Makhluk” ini telah berhasil melakukan penyusupan secara damai (penetration pasifique) kepada berbagai sendi kehidupan hingga memberi warna dan corak terhadap keberagamaan, world view dan ideologi masyarakat.
Para penyebar virus radikalisme, telah berhasil mengemas dan menghujamkan secara apik racun-racun radikalisme ke dalam prinsip-prinsip aqidah dan syari’ah, penafsiran serta penakwilan nash kitab suci dan hadis Nabi serta nostalgia atas sejarah peradaban sosial politik umat di masa silam.
Menarik, ketika agen-agen radikalisme ini mampu menyamar sebagai good looking dengan kemampuan yang memadai dalam melakukan orasi, doktrinasi, retorika, dialektika hingga dalam hal mengadaptasi kemajuan digitalisme. Maka, jadilah racun-racun radikalisme dapat disebar dan ditanamkan ke dalam alam fikir dan mental masyarakat lewat instrumen-instrumen sossial ekonomi yang bersampul semangat keagamaan berupa pendidikan, penerbitan, pengajian, pemberdayaan rumah ibadah, pemberdayaan ekonomi umat hingga pembentukan organisasi-organisasi.
Melalui pelbagai instrumen ini dimungkinkan terjadinya pergeseran sudut pandang, cara pandang, paradigma yang kemudian dapat merobah istimbat penafsiran, mazhab, worldview, ideologi kalau bukannya malah keimanan seseorang.
Ketika upaya-upaya radikalisasi ini dihadapkan kepada masyarakat yang pada satu sisi sangat opensif terhadap pembaruan terlebih di era serba digital ini, sementara pada sisi lain tampak sangat lemah dari aspek literasi, serta kemampuan melakukan filterasi dan akulturasi. Maka jadilah, sebagian masyarakat terjebak dalam pengaruh paham-paham ekstrim dan radikal seterusnya akan menjadi korban dari upaya dan strategi radikalisasi yang sangat terukur, sistematis dan terstruktur tersebut.
Kondisi ini berpotensi melahirkan theis-theis baru, orang pintar-orang pintar agama yang baru, loyalis-loyalis Tuhan yang baru yang sejatinya good looking, lalu mengambil posisi berdiri berhadap-hadapan dengan umat, ulama dan pemerintah yang sah. Situasi inilah yang mau saya sebut dengan ketika agama menjadi musuh agama (agama vs agama).
Manakala agama telah menjelma menjadi “musuh agama”, apakah berarti Tuhan telah hadir dalam dua wajah yang saling bertentangan. Pemberi rahmat pada satu wajah dengan perusak pada wajah lainnya. Jabawanbannya, tentu saja, secara akal sehat hal tersebut mustahil berlaku bagi Tuhan. Allah Swt, berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Anbiya:11 “Sekiranya ada dua Tuhan dengan wajah yang saling bertentangan, tentulah langit dan bumi beserta isinya akan hancur berantakan”.
Jika demikian halnya, maka penting melakukan identifikasi terhadap dua wajah agama, untuk memisahkan agama yang berisi ‘rahmatan li al-‘alamin’ dari yang berisi ‘fasadan li al’alamin’. Identifikasi ini diperlukan untuk menghentikan perang antara agama dengan agama itu sendiri. Antara pemeluk agama dengan pemalsu agama.
Penutup
Dalam konteks di Indonesia, sejarah telah membuktikan kepada kita bahwa, negara, agama dan budaya telah pernah berhasil dalam hal saling mengadaptasi. Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI adalah hasil dari saling mengadaptasi dan saling terintegrasi antara negara, agama dan budaya Bangsa Indonesia.
Sejalan dengan itu, patut diduga bahwa negara mesti dapat mengenali secara baik akan agama yang ada. Sebab, dalam konteks di Indonesia, hampir saja eksistensi negara, identik dengan substansi ajaran agama dan budaya bangsa. Untuk itu, negara harus hadir serta bertindak tegas dalam mengidentifikasi, menetapkan dan memisahkan agama dari yang bukan agama.
Negara harus dipercaya menjadi juri dalam memutuskan mana yang agama dari yang bukan agama setiap kali terjadi ‘agama vs agama’. Dengan demikian, kita patut mempercayakan penyelesaian kasus penembakan oknum FPI serta penangkapan Muhammad Riziq Sihab kepada proses hukum yang sah, untuk menghindarkan terjadinya agama vs agama apalagi sampai pada situasi agama vs negara.