Minggu, 13 Juli 2025

UU PERAMPASAN ASET SANGAT DIBUTUHKAN..! Masih Sulit Pakai Tanah Koruptor untuk Program 3 Juta Rumah

JAKARTA – Pemanfaatan tanah sitaan dari koruptor untuk program pembangunan 3 juta rumah bagi rakyat ternyata rumit. Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengatakan, penetapan status penggunaan barang rampasan negara ada di Kemenkeu.

“Kewenangan penetapan status penggunaan barang rampasan negara ada di Kemenkeu,” kata Harli, Minggu malam (26/1/2025).

Harli mengatakan instansi Aparat Penegak Hukum (APH) sifatnya hanya mengajukan usul saja.

“Instansi APH penyita hanya mengajukan usul,” lanjut Harli. Baca juga: Tanah Koruptor untuk Program 3 Juta Rumah, Fahri Hamzah:

Oleh karena itu, tanah koruptor tidak bisa serta merta langsung digunakan untuk progam 3 juta rumah. Sebelumnya, rumitnya pemanfaatan lahan tanah bekas korupsi untuk program pembangunan 3 juta rumah bagi rakyat disampaikan oleh Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah.

“Sebenarnya itu agak rumit karena harus mengalami proses banding dan sebagainya,” ujarnya saat mengunjungi Rumah Khusus (Rusus) Kedungsari, Kota Magelang, Jawa Tengah, Minggu (26/1/2025).

Tapi, Fahri menegaskan bahwa pemanfaatan tanah bekas korupsi untuk program 3 juta rumah tidak sepenuhnya gagal.

“Cuma, harus diserahkan dulu ke Dirjen Kekayaan Negara, enggak bisa langsung dipakai karena negara kita negara hukum,” tukasnya.

Jaksa Agung ST Burhanuddin menerima kunjungan kehormatan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman RI Maruarar Sirait, dalam rangka membahas pengadaan lahan untuk permukiman rakyat di Gedung Utama Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (22/10/2024).

Burhanuddin menyampaikan bahwa Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman RI memiliki program untuk membangun sekitar 5 juta unit rumah bagi masyarakat.

Burhanuddin bilang, program tersebut membutuhkan dukungan bersama agar dapat terlaksana dan tercapai sesuai target.

“Kejaksaan menaungi beberapa tanah sitaan negara, oleh karenanya kami akan sinergikan dengan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman agar tanah-tanah tersebut dapat digunakan untuk kepentingan rakyat,” kata dia.

“Tentunya hal itu memerlukan mekanisme dan waktu dalam pengerjaannya,” tegasnya.

RUU Perampasan Aset Sangat Dibutuhkan

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, meski sudah 16 tahun diperjuangkan, RUU Perampasan Aset hingga kini belum kunjung dibahas dan disahkan oleh DPR.

Analis Hukum Senior di Direktorat Hukum dan Regulasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Azamul Fahdly menegaskan pentingnya pengesahan RUU tersebut sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi. Apalagi, katanya, banyak aset para pelaku kejahatan berada di luar negeri.

Menurut Azamul, PPATK telah menginisiasi dan menyusun RUU itu sejak tahun 2008. Namun setelah 16 tahun berlalu, RUU tersebut belum juga disahkan. Padahal, katanya, berbagai kasus tindak pidana, khususnya tindak pidana pencucian uang (TPPU), saat ini kian berkembang dan semakin kompleks seiring perkembangan teknologi.

Tanpa RUU ini, tambahnya, pelaku tindak pidana akan semakin leluasa menyembunyikan hasil kejahatan mereka dan kerugian negara — baik material maupun immaterial – akan semakin besar.

Menurut Azamul, pengesahan RUU ini bisa memperkuat kerja sama internasional. Banyak aset hasil kejahatan yang disembunyikan di luar negeri, ungkapnya, memerlukan mekanisme kerja sama timbal balik dengan negara lain.

“Intinya lebih berbahaya lagi, lebih menakutkan lagi kalau kita nggak punya UU Perampasan Aset. Justru itu yang lebih menakutkan lagi. Kalau misalkan kita sudah punya, tinggal kita nanti mekanismenya yang kita jaga, kita kawal. Banyak sebenarnya (mekanisme) yang bisa kita buat. Di beberapa negara, (perampasan aset) itu mengatur harus ada indiasi tindak pidananya,” katanya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan aturan tentang perampasan Aset itu bukan hanya dibutuhkan oleh masyarakat dan PPATK, tapi juga oleh negara, polisi, jaksa, dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Berdasarkan data ICW sepanjang tahun 2023, total kerugian negara yang tercatat dalam putusan pengadilan mencapai Rp54 triliun. Namun, dari jumlah tersebut, uang pengganti yang berhasil diputusakn secara hukum hanya sekitar Rp7 triliun. Kurnia menyoroti kesenjangan yang signifikan antara kerugian negara akibat tindak pidana korupsi dan pengembalian uang negara melalui mekanisme uang pengganti.

“Artinya, ada gap sekitar Rp49 triliun yang belum bisa dipulihkan,” ujar Kurnia.

Dia juga menambahkan bahwa uang pengganti yang tercantum dalam putusan belum tentu langsung masuk ke kas negara, karena pelaksanaannya kerap menghadapi hambatan. Proses ini sering kali memakan waktu lama, bahkan tidak jarang melibatkan sengketa hukum lanjutan.

Kurnia mengatakan, tanpa mekanisme perampasan aset yang jelas, penegak hukum menghadapi banyak tantangan.

“Dengan tidak adanya RUU Perampasan Aset, aset yang menjadi hasil kejahatan bisa tetap berada di tangan pelaku atau pihak ketiga. Ini tentu melemahkan upaya kita untuk memberikan efek jera kepada koruptor dan mengembalikan kerugian negara,” tambahnya.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan pemerintah berkomitmen untuk memberantas tindak pidana korupsi dengan mengusulkan RUU Perampasan Aset masuk Program Legislasi Nasional tahun 2025-2029.

“Pemerintah berkomitmen memberantas korupsi dengan pengusulan RUU Perampasan Aset, kami letakan di urutan ke-5 dari 40 usulan RUU Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029,” ujarnya.

Menurutnya pemerintah sebelumnya telah mengusulkan RUU tersebut pada prolegnas periode sebelumnya namun pembahasan itu terganjal oleh dinamika politik hingga akhirnya tidak tuntas di komisi III DPR.

Kini pemerintah, ungkapnya, kembali mengajukan RUU tersebut dalam prolegnas agar dapat dibahas hingga akhirnya disahkan sebagai undang-undang oleh DPR. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru