JAKARTA- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan terdapat sepuluh jenis modus penipuan keuangan yang paling sering terjadi, mulai dari penipuan belanja online hingga aplikasi.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi menjelaskan bahwa penipuan belanja online menjadi yang paling umum. Ia menyampaikan modus ini biasanya terjadi saat korban membeli produk secara daring, namun barang yang dipesan tidak pernah dikirim atau penjual menghilang setelah menerima pembayaran.
Sepanjang periode pelaporan dari November 2024 hingga 15 Oktober 2025, tercatat sebanyak 53.928 laporan penipuan dengan total kerugian mencapai Rp988 miliar dan rata-rata kerugian yang dialami setiap korban sekitar Rp18,33 juta.
Beberapa modus penipuan itu adalah:
Penipuan transaksi belanja
Ini paling besar, paling banyak karena orang itu sebenarnya punya sifat greedy, kalau dibilang ada beli merk dengan harga yang miring. Kok iya percaya gitu loh, kalau benar dia jual harga miring gitu, dia aja beli sendiri kan, dijual sendiri sama dia, enggak perlu nawar-nawarin kita,” ujar Friderica Widyasari Dewi dalam media gathering, dikutip Bergelora.com di Jakarta, Senin (20/10)
Fake Call
Terbanyak kedua adalah penipuan dengan mengatasnamakan pihak tertentu atau fake call dari 31.299 laporan, kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp1,31 triliun, dengan rata-rata kerugian per korban sekitar Rp42,04 juta.
“Karena itulah alat yang digunakan untuk menelepon, mengirim pesan WA, mengirim SMS, dan seterusnya,” ucapnya.
penipuan investasi
Penipuan investasi juga menjadi salah satu modus yang menonjol, dimana jumlah laporan sebanyak 19.850 kasus, dengan nilai kerugian dari modus ini mencapai Rp1,09 triliun, dan kerugian rata-rata per korban sebesar Rp55,21 juta.
Penawaran Kerja
Selanjutnya adalah penipuan tawaran kerja, terdapat 18.220 laporan dengan kerugian sebesar Rp656 miliar, dan rata-rata kerugian per korban dalam kasus ini mencapai Rp36,05 juta.
Undian Bethadiah
Penipuan berupa undian atau hadiah palsu pun masih marak terjadi. OJK mencatat 15.470 laporan dengan nilai kerugian mencapai Rp189 miliar dan kerugian rata-rata sekitar Rp12 juta per korban.
Berikutnya, penipuan melalui media sosial menjadi tren baru seiring dengan meningkatnya aktivitas digital masyarakat. Tercatat 14.229 kasus dengan kerugian sebesar Rp491 miliar dan rata-rata kerugian Rp34,64 juta per korban.
Phishing
Jenis modus lain yang juga sering terjadi adalah phishing, dengan 13.386 laporan dan total kerugian Rp507 miliar. Rata-rata kerugian dalam kasus ini mencapai Rp37,92 juta per korban.
Social Engineering
Sementara modus social engineering tercatat sebanyak 9.436 laporan dengan kerugian Rp361 miliar, dan rata-rata kerugian per kasus sekitar Rp38,33 juta.
Pinjaman Online
Penipuan melalui pinjaman online fiktif juga muncul dengan 4.793 laporan, membuat kerugian sebesar Rp40 miliar dan rata-rata kerugian Rp8,48 juta per korban.
Aplikasi APK
Modus terakhir adalah penggunaan aplikasi APK palsu. OJK menerima 3.684 laporan terkait modus ini, dengan total kerugian Rp134 miliar dan rata-rata kerugian Rp36,37 juta per korban.
RI Tertinggi Capai Rp7 Triliun
Sebelumnya dilaporkan, Indonesia menjadi negara dengan angka kasus penipuan secara online atau scam di dunia. Angka ini setidaknya tercatat sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membentuk Indonesia Anti Scam Center (IASC).
IASC Didirikan pada November 2024. Hingga September 2025, IASC mencatat ada 274.722 aduan scam
Angka itu bahkan melampaui Amerika Serikat (AS), sebanyak 4.324 orang selama periode 1 Januari 2024 hingga 30 September 2025.
Posisi Indonesia ditempel oleh Malaysia, sebanyak 253.583. Namun, angka ini merupakan akumulasi periode 12 Oktober 2022 hingga 3 September 2025.
Singapura mencatat 51.501 aduan. Kemudian, Hongkong mencatat 65.240 aduan selama periode 2024 hingga Juni 2025. Kanada mencatat 138.197 aduan penipuan selama 1 Januari 2024 hingga 3 September 2025.
Dari sisi nilai kerugian, Indonesia pun menjadi yang tertinggi, mencapai Rp6,1 triliun. Angka ini sejak IASC berdiri sampai akhir 30 September 2025. Jika ditotal hingga bulan ini, nilainya lebih besar lagi.
“Angkanya mencapai Rp7 triliun,” ujar kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi.
“Dari nilai Rp6,1 triliun, dana yang berhasil diblokir sebesar Rp374,2 miliar, setara dengan sekitar 6,13% dari total kerugian.” jelasnya.
Angka tersebut menjadi cerminan jika inklusi keuangan di Indonesia masih cukup rendah, meski sebagian menjadi korban juga ada dari kalangan yang telah melek keuangan.
Merespons situasi tersebut, OJK kini mulai memperkuat Kerjasama lintas lembaga seperti kepolisian dan penyedia keuangan digital.
Kerjasama itu untuk saat ini masih sebatas mempercepat proses pemblokiran akun pelaku scam.
“Tapi ke depan, kami ingin mencontoh negara lain, seperti pelaku scam yang identitasnya sudah terlacak tidak bisa menggunakan transportasi umum misalnya,” imbuh wanita dengan sapaan akrab Kiki tersebut. (Web Warouw)