BANDAR LAMPUNG- Karena pemerintah Lampung abai, maka Program PEDULI yang didukung oleh The Asia Foundation melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI saat ini berfokus pada dua wilayah di Bandar Lampung yang sangat rentan terhadap isu AYLA yaitu di Eks lokalisasi Pemandangan di Way Lunik serta Eks lokalisasi Pantai Harapan di Panjang Selatan. Hal ini disampaikan Dewi Astri Sudirman, SH., Manager Program peduli Children Crisis Centre (CCC) dalam Seminar dan Lokakarya Inklusi Bagi Anak Yang Dilacurkan (AYLA), di Bandar Lampung Kamis (2/8).
“Saat ini, di dua eks lokalisasi ini CCC Lampung mendampingi 50 anak yang dilacurkan dan anak rentan. Dari 50 anak, 30 anak tidak memiiki Akte Kelahiran dan KTP, 10 dari 50 anak mengalami putus sekolah. CCC Lampung bersama dengan Komite Pndidikan Masyarakat Kelurahan Wai Lunik dan Panjang Selatan, bekerjasama dengan kelurahan dan kecamatan Panjang membuka akses layanan untuk anak-anak yang hak sipilnya belum terpenuhi,” jelasnya.
Menurutnya, program yang dilaksanakan oleh CCC ini menekankan pada 3 pendekatan utama bagi AYLA yaitu penerimaan sosial melalui perubahan paradigma dan perilaku masyarakat, pemenuhan hak dasar dan membuka akses layanan sosial yang inklusif dari pemerintah, serta adanya kebijakan kebijakan yang lebih berpihak pada mereka.
Pendampingan anak yang dilacurkan serta anak rentan menjadi AYLA, CCC Lampung membentuk Komite Pendidikan Masyarakat (KPM) di dua kelurahan Wai Lunik dan Panjang Selatan. KPM ini menjadi alat masyarakat untuk mencari solusi dari persoalan anak AYLA dan anak rentan AYLA.
“Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh pemuda serta aparat kelurahan diharap berhimpun dalam KPM untuk menciptakan lingkungan yang aman buat anak. Persoalan yang muncul terkait dengan AYLA, KPM dengan cepat dan tanggap dapat merespon persoalan tersebut,” ujarnya.
Bahkan KPM di dua kelurahan dampingan menurutnya telah berhasil mendorong adanya kesepakatan warga dua eks lokalisasi terkait dengan lingkungan yang aman dan nyaman buat anak yang tinggal di lingkungan tersebut, dan bersama CCC Lampung saat ini sedang membahas Peraturan Walikota Tentang Pencegahan Anak Korban Kekerasan.
“Metode yang dikembangkan CCC Lampung teelah di adopsi oleh Penanggulangan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) bahkan kader-kader dari KPM terlibat aktif dalam PATBM Kota Bandarlampung. Begitupun dengan Forum Anak, forum anak dari sanggar Wai Lunik dan Panjang Selatan juga terlibat aktif di forum anak Kota Bandarlampung,” jelasnya.
Harapan besar dari program ini menurutnya adalah adanya pengakuan, penerimaan, pemenuhan serta penghormatan terhadap anak yang berada dalam situasi AYLA tanpa adanya diskriminasi dan menjadikan mereka menjadi bagian dari masyarakat.
“Dengan demikian, untuk mempertajam pengetahuan mengenai AYLA serta upaya penanganan dengan praktek baik yang dilakukan oleh masyarakat sipil, pemangku kepentingan dan komunitas masyarakat serta pemerintah,” katanya.
Terus Meningkat
Kepada Bergelora.com dilaporkan, sebelumnya Dewi Astri Sudirman menjelaskan, Jumlah anak yang menjadi korban kekerasan, mengalami peningkatan tiap tahunnya tak terkecuali anak yang dilacurkan (AYLA). Hal tersebut menjadi sangat paradoks dengan banyak peraturan perundang undangan yang mengatur dan melindungi anak, tetap saja tak berbanding lurus dengan apa yang diharapkan.
“Persoalan AYLA sangat kompleks yang menjadikan mereka untuk dapat menghilangkan trauma psikologis dan fisik atau keluar dari situasi eksploitasi menjadi semakin sulit,” ujarnya.
Belum lagi menurutnya stigma sebagian masyarakat yang memiliki sudut pandang terhadap AYLA melihat dari perspektif moral (dalam artian anak korban eksploitasi seksual memiliki moral yang kurang baik) bukan dari perspektif anak sebagai korban.
“Cara pandang yang salah tentu saja berimplikasi pada perlakuan dan penanganan yang diberikan bagi anak yang dilacurkan,” katanya.
Dari pengalaman pendampingan muncul beberapa fakta lapangan, di antaranya adalah mayoritas mereka berada pada lapisan ekonomi bawah (keluarga miskin), marjinal, mayoritas anak tidak mendapat dukungan keluarga/orang tua pada masa perkembangan dan proses pendidikan, gaya hidup konsumtif yang semakin tinggi karena didorong oleh pertumbuhan kota yang sangat cepat, pengalaman seksual yang sangat dini, tidak memiliki pemahaman kesehatan reproduksi yang baik (karena pendidikan kesehatan reproduksi masih menjadi barang tabu serta keberadaan layanan kesehatan reproduksi pun masih terbatas atau belum diketahui oleh masyrakat), tidak ada kekuatan hukum untuk mengkriminalkan pengguna jasa seks anak, dan lain-lain.
“Keadaan tersebut menjadikan mereka sebagai kelompok marjinal yang seringkali diabaikan hak-haknya baik oleh negara, masyarakat, komunitas bahkan keluarganya. Pemerintah dan komunitas lebih nyaman untuk menutup mata atas persoalan / fenomena AYLA. Mereka cukup diberi label sebagai ‘anak-anak nakal’, tanpa ada upaya strategis untuk menyelesaikannya,” jelasnya.
Penyelesaian instan menurutnya seringkali mengorbankan anak itu sendiri, misalnya dikeluarkan dari sekolah atau sulit mendapatkan layanan kesehatan. Padahal mereka rentan terhadap PMS karena sering dipaksa melakukan hubungan seks tidak aman bahkan menerima kekerasan fisik, serta tindakan pengucilan lainnya.
“Masyarakat umum pun sering menganggap mereka adalah kelompok ‘anak nakal’ yang harus dihindari atau dianggap sebagai ‘pengganggu moralitas’ yang merusak akhlak, sehingga tidak heran kalau masyarakat lebih nyaman memberikan penyangkalan mengenai keberadaannya,” katanya.
Children Crisis Centre (CCC) sebagai lembaga yang concern dan peduli terhadap permasalahan anak, tegasnya memberi perhatian khusus terhadap issue AYLA. Melalui program PEDULI, CCC bekerja sama dengan Yayasan Samin melaksanakan program terkait inklusi sosial yang menitik beratkan pada permasalahan atau isu isu eksklusi seperti diskriminasi, stigmatisasi ketimpangan pemenuhan hak maupun keadilan sosial. (Salimah)