JAKARTA – Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah akan mati-matian menuntaskan penerbitan sertifikat tanah yang diperkirakan tersisa 6 juta bidang tanah pada 2024.
“Tahun depan kira-kira mungkin di seluruh Indonesia masih ada 6 jutaan (bidang tanah yang belum bersertifikat), tapi moga-moga juga bisa diselesaikan. Ini kita ingin mati-matian agar tahun depan itu bisa diselesaikan,” kata Presiden dalam acara penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat Provinsi Jawa Timur di Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (27/12).
Presiden mengatakan jika upaya penyelesaian sertifikat 6 juta bidang tanah itu tidak selesai tahun depan, maka ia memperkirakan hal itu akan selesai pada tahun 2025.
“Tapi kalau kepleset (meleset), mungkin (tahun depan) masih 6 juta. Artinya, tahun depannya lagi sudah semua lahan tanah di negara kita, sudah pegang (ada) sertifikat semuanya,” kata Presiden Widodo.
Dia menceritakan bahwa pada tahun 2015 terdapat 126 juta bidang tanah yang harus disertifikatkan, namun pada saat itu baru 46 juta bidang lahan yang bersertifikat, dan 80 juta bidang tanah sisanya belum bersertifikat.
Pada saat itu Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya bisa mengeluarkan 500 ribu sertifikat tanah per tahun, sehingga untuk menyelesaikan sertifikat bagi 80 juta bidang lahan diperkirakan membutuhkan waktu 160 tahun.
Oleh karenanya, sejak saat itu pemerintahan Joko Widodo gencar mendorong penyelesaian sertifikat tanah di seluruh Indonesia, hingga diperkirakan tahun 2024 hanya tersisa 6 juta bidang tanah yang harus diselesaikan sertifikatnya.
Adapun pada acara penyerahan sertifikat tanah di Sidoarjo itu, Presiden menyerahkan lebih dari 3.000 sertifikat tanah dari kategori redistribusi aset/reforma agraria dan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL).
Kepala Negara mengemukakan pentingnya kepemilikan sertifikat tanah sebagai tanda bukti hak hukum atas tanah yang dimiliki dan mencegah konflik lahan.
Dia menyebut penyelesaian sertifikat yang selama ini dilakukan merupakan kerja keras BPN kabupaten, provinsi dan pusat.
Ia pun berpesan kepada masyarakat yang ingin menjadikan sertifikat tanahnya sebagai agunan di bank, untuk mengkalkulasi secara benar apakah dapat membayar bunga pinjaman di bank atau tidak.
Presiden mengaku tidak ingin sertifikat tanah yang sudah diberikan, justru kemudian hari disita bank karena masyarakat tidak mampu membayar bunga pinjaman.
“Saya tidak mau pemerintah sudah kerja keras untuk menyiapkan ini, kemudian sertifikat bapak/ibu sekalian nanti malah disita bank. Nggak (ingin). Kita ingin dengan sertifikat ini bisa menyejahterakan bapak/ibu dan saudara-saudara sekalian,” ujarnya.
Kelemahan Hukum
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 Mohammad Mahfud Md menyoroti lemahnya penegakan kedisiplinan hukum di Indonesia sehingga menghambat penyelesaian masalah terkait kepemilikan tanah dan akses lahan masyarakat.
“Saya katakan ini pada aparat, kedisiplinan pada penegakan hukum kita, itu masalahnya,” kata Mahfud dalam debat cawapres 2024 yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Jumat (22/12).
Dalam sesi kelima debat tersebut, cawapres nomor urut satu Muhaimin Iskandar mempertanyakan cara Mahfud mewujudkan keadilan sosial, mulai dari pemerataan hingga kepemilikan tanah, akses dan lahan.
Pertanyaan itu sontak dijawab Mahfud dengan mengatakan permasalahan tersebut sudah dibicarakan sejak lama dan dapat dibuktikan dengan kehadiran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) atau yang dikenal dengan Undang-Undang Landreform.
Sayangnya, menurut Mahfud, meski undang-undang tersebut masih berlaku, penegakan hukumnya belum optimal.
Dia pun menilai ada pihak yang menguasai hampir 75 persen tanah sendirian meski mengetahui warga lain justru berebut mengolah lahan yang tersisa.
“Kalau data yang pernah saya dengar dari Pak Prabowo beberapa tahun lalu, satu persen penduduk menguasai 75 persen. 99 persen penduduk lainnya berebut mengolah hanya 20 persen sisanya, ini memang timpang,” tutur Mahfud.
Maka dari itu, dia mengatakan upaya pemerataan, terutama yang berkaitan dengan permasalahan tanah dan lahan, perlu diselesaikan dengan melihat fakta yang ada di lapangan. Sebab laporan ataupun kritik kepada pemerintah terkait penanganan lahan, jumlahnya masih terus meningkat.
Lebih lanjut, Mahfud mengajak seluruh jajaran pemerintahan agar tegas menyatakan masalah tersebut sebagai tindak pidana, terlebih jika ada pihak yang menguasai lahan dalam ukuran besar, namun tidak membayar pajak.
“Ini harus pidana, masuk. (Ada kasus yang saya tangani), dia mau menguasai tanah 22 tahun, tidak bayar pajak lalu diberi ampun. Saya mau lebih baik selama berpajak, saya bilang tidak bisa, sekarang dia ini sudah masuk pidana dan sudah inkrah, itu jalan keluarnya, itu kedisiplinan kita menegakkan aturan,” tegas Mahfud.
Sebelumnya, cawapres nomor urut satu Muhaimin Iskandar juga menyatakan salah satu pemasukan negara berasal dari kepemilikan lahan masyarakat.
Namun, sambung dia, diketahui selama ini hanya segelintir masyarakat yang dapat menikmati akses tanah akibat terbatasnya pemerataan, dan ini kemudian menjadi isu yang belum dapat dituntaskan sampai hari ini.
“Jadi, bagaimana mewujudkan keadilan sosial dimulai dari pemerataan kepemilikan tanah, akses dan lahan?” tanya Muhaimin. (Web Warouw)