JAKARTA- Mahkamah Konstitusi (MK) kabulkan permohonan uji materil pasal 159 ayat 1 Undang-Undang Pilpres dan nyatakan bertentangan dgn Pasal 6A ayat 3 UUD 1945 kecuali jika dimaknai, kalau hanya ada 2 pasangan, maka pilpres selesai satu putaran dengan suara terbanyak.
“Cara MK atasi kevakuman hukum Pilpres 2 pasangan ini keliru prosedur. Jadi, 1/2 plus 1 provinsi dan dukungan 20% tidak berlaku. Padahal, pasal 159 ayat 1 UU Pilpres itu sama bunyinya dengan Pasal 6A ayat 3 UUD 1945. Karena bunyi pasal UU dengan UUD 1945 sama, bagaimana bisa dibilang bertentangan, kecuali diberi makna tertentu seperti dirumuskan MK,” demikian Yusril Ihza Mahendra kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (4/7).
Menurutnya MK sebenarnya telah membuat penafsiran atau bahkan merumuskan norma baru UU bahkan UUD dalam putusan uji materil. Padahal kewenangan merumuskan norma UU adalah kewenangan Presiden dan DPR.
“Merumuskan norma UUD adalah kewenangan MPR. MK seringkali bertindak melampaui batas kewenangannya, dan ini bikin kacau sistem ketatanegaraan kita,” ujarnya.
Harusnya menurutnya, biar saja kevakuman hukum tentang Pilpres yang hanya diikuti 2 pasangan ini berjalan dan lihat sikap KPU. Kalau KPU menyatakan salah satu pasangan telah memeroleh suara terbanyak, walau dukungan sebaran provinsi belum terpenuhi sebagai pemenang dan tidak perlu dilakukan putaran kedua, maka yang kalah tentu akan menggugat keputusan KPU itu ke MK.
Sebaliknya juga menurutnya kalau KPU putuskan bahwa walaupun 1 pasangan sdh dapat suara terbanyak, dan belum memenuhi dukungan sebaran povinsi dinyatakan belum menang dan harus dilakukan putaran kedua, pihak ini dapat menggugat putusan KPU itu ke MK. Disinilah MK akan memutuskan mana yang harus dilakukan KPU kalau peserta Pilpres hanya 2 pasangan.
“Disinilah MK melakukan penemuan hukum ketika memutus perkara perhitungan suara Pilpres. Itu yang benar, bukan membuat tafsir sendiri, atau merumuskan norma hukum baru melalui perkara pengujian Undang-undang,” ujarnya. (Tiara Hidup)