JAKARTA- Sepuluh tahun sudah ribuan relawan kesehatan yang tergabung dalam Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) bekerja melayani rakyat. Mereka bukan dokter, hanya masyarakat awam yang pernah menjadi pasien atau keluarga pasien atau korban bencana alam yang pernah dibantu oleh DKR sejak berdirinya 12 Maret 2008 lalu.
Organisasi masyarakat ini lahir saat Siti Fadilah Supari menjadi Menteri Kesehatan 2004-2009. Saat itu program Askeskin (Asuransi Kesehatan Rakyat Miskin) yang kemudian menjadi Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) menjadi andalan Departemen Kesehatan untuk memastikan pelayanan kesehatan masyarakat sampai ke pelosok desa diseluruh kepulauan Indonesia.
“Belum pernah semenjak merdeka 1945, pemerintah dan negara memiliki program seperti Jamkesmas. Itu memenuhi perintah pembukaan UUD’45 yaitu melindungi seluruh rakyat Indonesia,” demikian Aan Rusdianto, salah satu pendiri DKR di Jakarta.
Lewat Jamkesmas, pemerintah mengalokasikan dana triliunan rupiah untuk menanggung 80 juta rakyat miskin dan hampir miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma di semua puskesmas, rumah sakit pemerintah dan swasta. Masyarakat tidak dipungut iuran bulanan dan biaya saat berobat sepeserpun, karena negara sudah membayarkannya.
“Semua keluarga tidak kuatir lagi kalau ada yang sakit. Gak punya Jamkesmas, bawa KTP atau surat SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu-red) dari kepala desa, pasti dilayani sampai sembuh di puskesmas dan rumah sakit manapun, sakit apapun,” demikian Nonha Sartika, Ketua DKR Lampung.
Puskesmas dan rumah-rumah sakit belum menerima pasien, sudah dibayar kapitasinya selama setahun. Kalau ada kekurangan, tinggal diklaim, diaudit kemudian dibayarkan oleh Kantor Kas Negera. Pemerintah membayar semua biaya, dari periksa pasien, tindakan dokter, obat-obatan dan upah semua petugas kesehatan.
“Saat itu semua kebutuhan pasien sakit apapun bisa terlayani dengan baik. Karena semua biaya dari konsultasi dokter, tindakan operasi, laboratorium, perawatan, obat, peralatan sampai perawat di rumah sakit manapun dibayar negara,” kenang dr. Selvie yang bekerja di salah satu rumah sakit di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Bahkan di desa-desa,– dukun bayi, kader posyandu, bidan dan petugas kesehatan lainnya juga dibiayai pemerintah untuk memastikan pelayanan kesehatan pada gizi buruk, penyakit menular, ibu hamil dan melahirkan.
“Waktu itu seluruh posyandu di seluruh desa di Indonesia memiliki jadwal sebulan sekali melayani masyarakat. Semua laporan situasi kesehatan rakyat dari desa-desa, terpantau dari meja Menteri Kesehatan,” demikian Bidan Amida Sari dari Sukabumi, Jawa Barat menceritakan.
Program Jamkesmas ini mendorong rumah-rumah sakit menjadi Badan Layanan Umum (BLU) sehingga berkembang menjadi modern dan meningkatkan kapasitas pelayanannya. Karena pendapatan rumah sakit tidak perlu lagi disetor menjadi pendapatan daerah (PAD), tapi murni untuk pelayanan kesehatan.
“Dari program Jamkesmas, rumah sakit dapat berkembang. Karena semua kebutuhan rumah sakit dari peralatan, kebutuhan obat dan lainnya dipenuhi langsung oleh pemerintah pusat dan daerah. Rakyat terlayani, petugas kesehatan terjamin kerja dan kebutuhan hidupnya,” jelas, Kepala Dinas Kesehatan Papua, Dr Aloysius Giyai yang sebelumnya memimpin salah satu rumah sakit di Jayapura.

Save Papua
Khusus di Papua, Departemen Kesehatan menggalang petugas kesehatan dan relawan DKR untuk mendatangi setiap honai di kampung-kampung pedalaman Papua. Tugasnya mendata dan melayani kesehatan masyarakat. Siti Fadilah menjalankan dan mengawasi program ‘Save Papua’ ini secara teliti.
“Semua kampung dijangkau oleh tim dari program Save Papua. Relawan dan kepala suku bersama tim kesehatan tugasnya mencari gizi buruk, penyakit menular, ibu hamil, balita. Mereka kami data dan layani kesehatannya. Keluar masuk hutan tidak ada masalah, karena didampingi kepala suku. Tugasnya tim Cuma satu yaitu menyelamatkan rakyat Papua,” kenang Samuel Awom, Ketua DKR Papua.
Salah satu kebijakan Departemen Kesehatan saat itu adalah peraturan menteri yang mengontrol harga obat. Setiap bungkus obat diwajibkan mencantumkan harga eceran tertinggi (HET). Sehingga masyarakat tahu obat dan tidak dimanipulasi apotik.
“Tujuannya cuma satu, supaya rakyat bisa beli obat karena harganya bener. Bukan beli merek. Kalau obat mudah, maka biaya kesehatan menjadi ringan. Sebelumnya karena tidak dikontrol, pabrik obat sampai apotik mencekik leher pasien,” terang Dr. Husniah Rubiana Thamrin Akib, MS, MKes, SpFK, mantan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) 2006-2009.
Sebelumnya, Siti Fadilah menetapkan penurunan harga obat generik bermerek. Harga obat yang sudah habis masa branded nya harus turun, tidak boleh lagi sama dengan harga obat branded. Bersamaan dengan itu, Kimia Farma di dorong untuk memproduksi obat-obat generik secara masif dan dijual dimasyarakat dengan harga Rp 1.000. Saat itu masyarakat sampai di desa-desa mendapatkan stok obat serba seribu di setiap puskesdes (Pusat Kesehatan Desa).
“Sebenarnya selama ini pabrik obat dan apotik itu untungnya sudah berlipat-lipat. Dengan harga seribu saja mereka masih untung. Tapi harga itu dapat dijangkau masyarakat. Stok obat berlimpah di fasilitas kesehatan. Sehingga rakyat kita sampai di desa-desa gak takut sama penyakit apapun,” papar Husniah Rubiana.
Untuk memastikan rakyat mendapatkan pelayanan, Siti Fadilah kemudian membentuk Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) dengan mengeluarkan Surat Keputusan MENKES RI Nomor 116-MENKES-SK-II-2008 setelah Konferensi Nasional aktifis kesehatan dari seluruh Indonesia di Jakarta, 12 Maret 2008.
“Selama 10 tahun kami banyak belajar berorganisasi, belajar mencintai rakyat, melayani rakyat, tahu dunia kesehatan, ngerti politik kesehatan, banyak lah,” demikian Tutut Herlina dari Pengurus Nasional DKR.
Saat ini DKR berdiri 416 kabupaten dan 98 kota di 34 Provinsi diseluruh Indonesia. Tugas kader dan relawan DKR adalah memastikan dan melaporkan pelayanan pasien Jamkesmas di seluruh rumah sakit dan puskesmas. Selain itu DKR ditugaskan mengaktifkan desa dan kelurahan siaga di 74.754 Desa dan 8.430 Kelurahan seluruh Indonesia (2017-red).
“Tidak gampang menyadarkan masyarakat tentang hidup sehat. Kalau sakit mereka cari DKR. Setelah sembuh dilupakan itu sudah biasa. Dengan demikian kita hanya merekrut relawan dan kader pilihan. Yang benar-benar terpanggil. Yang jadi calo kita pecat langsung,” demikian Argo Bani Putra, Ketua DKR Banten.
Desa Siaga
Salah satu yang ditugaskan pada DKR adalah menyadarkan masyarakat tentang bahaya penyakit menular seperti TBC, Demam Berdarah, Malaria, HIV/AIDS, Kaki Gajah dan lainnya.
“Saat Indonesia diserang wabah Flu Burung, DKR juga gencar mengajak masyarakat untuk mendeteksi daerah-daerah yang diserang oleh flu burung untuk mencari pasien agar segera diobati,” Demikian Sandy Gustian, Ketua DKR Jambi.
Kegiatan DKR hingga saat ini adalah melakukan advokasi kesehatan pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan membentuk desa dan kelurahan siaga. Dukungan dari Departemen Kesehatan pada DKR didapat hanya sampai tahun 2009 setelah Siti Fadilah tidak lagi menjadi Menteri Kesehatan. Pada saat Siti Fadilah ditugaskan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) DKR juga ditugaskan untuk terlibat dalam advokasi masyarakat dibidang pendidikan, advokasi lingkungan hidup, advokasi hak petani, advokasi kesejahteraan buruh dan advokasi Kaum Miskin Kota (KMK) dan sektor masyarakat lainnya yang dilayani oleh Siti Fadilah.
Advokasi juga dilakukan DKR membela tenaga kesehatan untuk mendapatkan hak-haknya dalam menjalankan tugas melayani masyarakat. Dokter-dokter dan rumah-rumah sakit yang saat ini banyak mendapatkan kesulitan dengan BPJS. Walaupun sudah pensiun dan hanya bertugas sebagai dokter jantung di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Siti Fadilah tetap mendengar keluhan semua tenaga kesehatan yang datang padanya. Ia langsung yang melakukan advokasi terhadap semua persoalan tenaga-tenaga kesehatan.
“Tuntutan kerja yang beresiko tidak sebanding dengan insentif yang diterima. BPJS hanya pelayanan dokter Rp 10.000/pasien,” demikian dr Eva Sridiana dari Dokter Indonesia Bersatu (DIB) melapor pada Siti Fadilah.
Saat ini setiap dokter juga diwajibkan untuk sekolah lagi dalam program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) yang diatur dalam Undang-Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. Kalau tidak mengikuti program, dokter akan terkena sanksi dicabut ijin prakteknya.
“Ini program tidak masuk akal. Sistem DLP mengharuskan dokter spesialis sekolah lagi tiga tahun untuk mengambil jurusan spesialis lagi. Ini kan mengada-ada,” demikian Dr. Mariya Mubarika dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melaporkan.
Selain dokter, puluhan ribu bidan honorer juga diadvokasi untuk mendapatkan haknya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pemerintahan Jokowi sudah mengangkat 40.000 bidan desa menjadi calon PNS. Namun masih ada 4.000-an bidan-bidan desa yang belum diangkat karena usianya diatas 35 tahun.
“Padahal bidan desa mengabdikan diri secara sukarela sudah belasan tahun. Untung Pak Presiden Jokowi memenuhi tuntutan kami, 4.000-an bidan desa segera menyusul diangkat jadi calon PNS,” demikian Bidan Lilik Dian Eka Sari, Ketua Forum Bidan Desa (Forbides) Indonesia.
Menjawab Tantangan
Salah satu perjuangan DKR adalah menggalang dukungan berbagai kelompok masyarakat untuk menolak UU No 40/2004 tentang SJSN pada tahun 2010 dan UU No 24/2011 tentang BPJS pada tahun 2014 lewat gugatan di Mahkamah Konstitusi. Kedua tuntutan DKR dan masyarakat untuk membatalkan iuran yang memberatkan masyarakat gagal. Salah satu saksi ahli yang mendukung perjuangan DKR pada saat itu adalah Walikota Solo, Ir Joko Widodo,–yang saat ini menjadi Presiden RI ke 7.
“Kalau kita ikutan masukkan rakyat dalam program BPJS musti bayar Rp 14 Milyar/setahun. Kalau kita Pemkot Solo menangani sendiri habisnya cuma Rp 3-5 Milyar. Lah inikan BPJS merugikan pemerintahan daerah. Rakyat kalau sakit larinya ke Walikota juga. Maka kami putuskan gak usah pakai BPJS, tapi ditangani sendiri pakai Program Kartu Sehat yang dijamin Pemerintah Kota Solo,” demikian kesaksian Jokowi saat itu sebagai Walikota Solo dihadapan Sidang Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010.
Perjuangan memang tidak semudah slogan kata-kata. Semua rintangan dan kesulitan tetap dihadapi DKR dengan berbagai keterbatasan. Pada saat Ketua Dewan Pembina DKR, DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) divonis 4 tahun penjara, ribuan kader dan relawan DKR tetap melayani rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal. Semua kader dan relawan bahkan masyarakat sadar, bahwa Siti Fadilah dipenjara karena perjuangannya membela rakyat selama ini. Banyak kepentingan bisnis kesehatan yang terganggu saat Siti Fadilah menjabat sebagai menteri kesehatan.
“Semangat Siti Fadilah untuk selalu melayani rakyat, tetap berkobar dalam hati dan setiap kerja relawan dan kader DKR. Tidak ada yang bisa menghentikan kami. Penjara tidak bisa membendung gelora perjuangan Siti Fadilah,” tegas, Roy Pangharapan dari Pengurus Nasional DKR
Kepada kader dan relawan DKR dari penjara Pondok Bambu, Siti Fadilah tetap berpesan agar tetap mencintai dan melayani rakyat. Tanpa bergeming sedikitpun Siti Fadilah tetap menjadi api semangat semua kader dan relawan DKR dimanapun berada.
“Siti Fadilah itu ibu kami, guru kami dan pimpinan kami. Gak ada yang percaya ibu Fadilah korupsi. Kalau ibu mau, itu uang Jamkesmas Rp 6 Triliun gak ditaroh di Kas Negara waktu jaman Jamkesmas. Ibu taroh di kas negara supaya gak ada yang bisa korup saat itu,” demikian Martinus Ursia, DKR Jawa Barat.
Dimanapun rakyat membutuhkan advokasi kesehatan, relawan dan kader DKR di provinsi, kabupaten sampai ke desa-desa selalu siap mendampingi, dengan semua keterbatasan.
“Keterbatasan itu justru tantangan buat kami. Hidup rakyat jauh lebih susah. Sekarang saatnya menggalan solidaritas rakyat lewat kerja advokasi DKR. Dari kota, desa dari pantai sampai ke gunung-gunung,” tegas Jimmy Kiroyan Ketua DKR Kalimantan Barat. (Web Warouw)