Oleh: DR Asvi Warman Adam
Tahun ini orang akan mengingat bahwa setengah abad yang lalu pada tahun 1965, Gerakan 30 September (Gerakan 30 September atau G30S) telah mengambil tempat dalam sejarah Indonesia. Selama 50 tahun telah ada berbagai diskursus tentang kudeta, sebuah usaha yang gagal yang mengarah ke tragedi nasional.
Pada gelombang pertama dari berbagai narasi tentang G30S menyoroti tentang siapa dalang dari gerakan itu. Tentara Indonesia memiliki PKI untuk dikambing hitamkan. Walaupun di Amerika terbit sebuah artikel yang menyatakan bahwa kejadian 30 September adalah urusan internal didalam Angkatan Darat.
Sebuah buku yang berjudul ‘40 Hari Kegagalan G30S, 1 Oktober-10 November 1965’ yang diterbitkan pada 27 Desember 1965 oleh Lembaga Sejarah, Staff Pertahanan dan Keamanan, sebagai sebuah proyek inisiatif mantan Panglima ABRI, Jenderal Nasution dengan menugaskan beberapa sejarawan dari Universitas Indonesia. Hanya dalam waktu seminggu buku itu selesai disusun. Buku itu tidak menggunakan label ‘G30S/PKI’ tapi menyebutkan keterlibatan PKI dalam Kudeta.
Dua orang peneliti, Ben Anderson dan Ruth Mc Vey, meyakini bahwa Angkatan Darat yang terlibat dalam kudeta tersebut, sebagai pandangan yang berbeda. Laporan penelitian mereka dikenal dengan sebutan ‘Cornell Paper’, disinggung dalam media massa The Washington Post 5 Maret, 1966. Pada awal Februari 1966, sebuah laporan yang sama oleh Daniel Lev diterbitkan dalam Asian Survey.
Pada tahun 1967, Mayjen Soewarto, Kepala Sekolah Staff dan Komando Angkatan Darat (Seskoad), datang ke Amerika Serikat mengunjungi Rand Corporation, sebuah lembaga kerjasama yang dibentuk setelah Perang Dunia Ke II sebagai pengawal kepentingan Amerika selama perang dingin. Lembaga ini melakukan berbagai penelitian tentang komunisme di berbagai negara.
Guy Parker seorang peneliti dari lembaga tersebut menyampaikan pada Soewarto keberadaan Cornell Paper dan meminta Soewarto menulis sebuah buku untuk melawan pandangan Cornell Paper. Soewarto kemudian mengirim seorang sejarawan Nugroho Notosusanto dan Letkol Ismail Saleh, seorang jaksa dalam Mahkamah Militer Luar biasa (Mahmilub) yang menghukum orang-orang yang dituduh terlibat G30S. Dengan bantuan Parker, Nugroho Notosusanto dan Letkol Ismail Saleh menulis buku ‘Upaya Kudeta Gerakan 30 September Di Indonesia’.
Mereka membawa semua dokumen termasuk dokumen persidangan dari Heru Atmodjo. Termasuk didalamnya dokumen pemeriksaan post mortem, visum et repertum dari tubuh enam orang jenderal yang terbunuh dalam G30S.
Ben Anderson, setelah membaca dokumentasi tersebut, menyiapkan sebuah artikel yang menyebabkan kontroversi. Adalah tidak benar menurut Ben, pernyataan koran Angkatan Darat, bahwa mata dari para jenderal dicungkil dan penisnya dipotong.
Alur narasi G30S yang kedua adalah bagian dari kampanye pemerintah Soeharto yang mendoktrin versi sejarahnya. Sejarah Indonesia dalam 6 jilid diterbitkan pada tahun 1975 dan volume ke 6 diedit oleh Nugroho Notosusanto untuk melegitimasikan rejim kebangkitan Orde Baru dalam kekuasaan. Nugroho Notosusanto juga berinisiatif memproduksi film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI, sebuah film yang dibuat oleh Arifin C. Noer pada tahun 1984. Film ini diputar di TVRI pada tanggal 30 September,–setiap tahun.
Kesaksian Korban dan Pembunuh
Mundurnya Soeharto sebagai Presiden RI di bulan Mei 1998 menandakan fase ketiga dari narasi G30S. Para korban yang selama mulai angkat bicara memberikan kesaksian, memuat sejarah lisan. Beberapa diantaranya menarik perhatian publik seperti, ‘1965: Tahun Yang Tidak Pernah Berakhir’, ‘Menembus Tirai Asap’, ‘Menguak Kabut Halim’. Bangsa ini mulai memperbaiki sejarahnya.
Kisah G30S mencapai gelombang keempatnya ketika terbit buku John Roosa yang berjudul ‘Dalih Pembunuhan Massal’ ( Pretext for Mass Murder) yang diterbitkan pada tahun 2008. Sementara itu perdebatan terus berlanjut tentang siapa dibelakang kudeta 1965,–belakangan fokus pada siapa otak pembunuhan massal 1965.
John Roosa dalam bukunya yang dilarang oleh Kejaksaan Agung menyatakan bahwa Gerakan G30S adalah pretext (dalih) untuk pembunuhan massal. Komunisme dihancurkan untuk mendapatkan simpati dari Amerika Serikat dan sekutunya, agar membawa investasi dan pinjaman membantu ekonomi Indonesia.
Pada 15 Desember 1965, tanpa ijin presiden Soekarno, Jenderal Soeharto terbang dengan helikopter ke Cipanas. Dalam rapat yang dipimpin oleh Perdana Menteri Chaerul Saleh, Soeharto menyampaikan penolakan tentara atar rencana nasionalisasi perusahaan minyak milik Amerika Serikat, Caltex.
Film Jagal (The Act of Killing) menjadi tonggak dari gelombang kelima dari narasi G30S. Setahun lalu, korban menceritakan apa yang terjadi. Sekarang tiba waktunya bagi pembunuh untuk bersaksi. Film Jagal memenangkan berbagai festival film di Istambul, Valenciennes, Warsawa dan Barcelona, –kemudian menjadi film terbaik yang dinominasikan untuk mendapat Oscar. Film Jagal mendapatkan perhatian setidaknya selama dua tahun dari hampir semua konferensi para ilmuwan yang dilakukan pengamat Indonesia di Australia, Asia, Eropa dan Amerika.
Film Jagal menggambarkan pembunuhan orang per orang di Sumatera Utara setelah Kudeta G30S. Jagal melakukan dekonstruksi narasi perkembangan dan kampanye intensif selama Orde Baru. Ilmuwan, Ariel Heryanto mengatakan film Jagal sebagai ‘film yang paling spektakuler dan secara politik sebagai produk yang sangat penting tentang Indonesia yang pernah saya tonton’
Fase terbaru ini mengungkap signifikansi masyarakat internasional dalam menyoroti pembantaian G30S. Berbagai penangkapan, penahanan dan pembunuhan setelah G30S ternyata harus dilakukan, sebagai usaha memasukkan Indonesia kedalam aliansi Amerika Serikat agar Indonesia memenuhi syarat mendapatkan bantuan ekonomi dari barat. Masyarakat Internasional menantang versi Orde Baru tentang sejarah G30S dengan menominasikan film Jagal, hari di berbagai negara. Faktor internasional inilah yang menyebabkan momentum 1965 tidak dihapus dari sejarah.
Rakyat Indonesia sendiri menginginkan kebenaran dalam pengungkapan sejarah walaupun ada beberapa pihak yang menghalangi pengungkapan versi yang berbeda dari yang sudah diekspos oleh Orde Baru,–diantara mereka adalah karena keterlibatannya pada pelanggaran hak asasi manusia dimasa lalu.
*Judul asli tulisan ini adalah ‘Fifty Years Study Of The 30th September Movement (5 Episode + 5 Aspects + 5 Solutions)’ yang menjadi naskah sambutan penulis sebagai Keynote Speaker pada International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, 18-19 September 2015.