Minggu, 19 Mei 2024

Asal Usul Konsentrasi Penguasaan Lahan Perkebunan

Bob Hasan, Saudara tiri mantan Presiden RI, Soeharto yang menguasai asosiasi perusahaan Plywood dan Sawit dimasa Orde Baru (Ist)

Beberapa kalangan mengkritik penguasaan penguasaan 74% lahan oleh dimiliki 0.2 % elite ekonomi dan politik, tanpa menelusuri asal usulnya. Winoto, pemerhati Reformasi Agraria menuliskan kepada pembaca Bergelora.com tentang sejarah penguasan lahan perkebunan di Indonesia yang dimulai sejak awal Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto (Redaksi)

Oleh: Winoto

SOAL penguasaan lahan Perkebunan Kelapa Sawit harus diurut dari era Orba. Setelah Soeharto “sukses” dalam policy HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan industri Plywood (kayu lapis), yang menjadikan Indonesia sebagai negara pengexpor plywood terbesar di dunia, seluruh penguasaan dan pengelolaan sektor HPH serta industri plywood berada dalam genggaman Cendana.

Bob Hasan ditunjuk sebagai eksekutor yang mengendalikan usaha disektor HPH dan industri playwood. Bob mendirikan Asosiasi Pabrik Pplywood untuk mengendalikan semua pabrik plywood. Bob membuat regulasi bahwa asosiasi yang memegang hak monopoli atas pengaturan kuota expor plywood.

Jadi walaupun pabrik-pabrik itu sendiri yang mencari market dan buyer sendiri, tapi untuk bisa melakukan expor haruslah mendapat kuota expor dari asosiasi. Pabrik pun dipungut (dipalak) dengan diwajibkan harus membayar fee US$ 20 untuk setiap meter kubik dari kuota expor yang didapatkan kepada ‘asosiasi’ milik Bob Hasan.

Di era Soeharto, rata-rata volume expor plywood per tahun mencapai 15 juta m3, maka fee yang tarik oleh Bob tiap tahun mencapai US$ 300 juta dan ini berlangsung puluhan tahun. Penguasaan HPH pun sudah menjadi rahasia umum, yaitu dikuasai oleh keluarga Cendana dan kroni-kroninya.

Syahdan pengalaman cerita ‘sukses’ dalam penguasaan HPH dan industri playwood ini pun akan diterapkan juga pada industri kelapa sawit. Penguasaan atas lahan perkebunan kelapa sawit, mulai dikembangkan oleh pemerintah Orba pada tahun 1985-an.  Bob Hasan dan Bakrie menjadi pengendali  ‘asosiasi kelapa sawit’ untuk mengulang kisah sukses monopoli ‘asosiasi pabrik playwood’.  Pemberian konsesi lahan kelapa sawit pun dimulai ……

Sebuah pulau dikuasai oleh menantu Soeharto sebagai konsesi lahan perkebunan kelapa sawit. Cukup hanya dengan modal konsesi ini maka sang menantu Cendana dapat  menggandeng Sin Darby –perusahaan kelapa sawit terbesar Malaysia milik Yayasan Tabung Haji Pemerintah Malaysia, seluruh pulau pun menjadi perkebunan kelapa sawit.

Perusahaan-perusahaanpun mulai berburu konsesi lahan sawit. Di era Soeharto hanya yang mampu, dapat menembus dinding-dinding perizinan yang bisa mendapatkan konsesi lahan sawit. Dan ‘dinding-dinding” tersebut terlalu tebal untuk bisa ditembus tanpa memiliki jalur dari elit pusat kekuasaan. Jangan anda bermimpi bisa mendapat konsesi lahan tanpa jalur dari elit pusat kekuasaan!

Namun, sebelum Bob Hasan berhasil merealisasi ‘Assosiasi kelapa sawit’-nya, sudah keburu datangnya gelombang reformasi….

Dibagi Gratis

Di Indonesia, saat itu, konsesi lahan perkebunan kelapa sawit diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan secara gratis. Perusahaan tidak diwajibkan membayar harga atau nilai komersial dari lahan tersebut. Perusahaan juga tidak diwajibkan membayar nilai sewa dari pemakaian lahan tersebut. Perusahaan  dan pengusaha cukup hanya diwajibkan membayar biaya-biaya administrasi resmi, biaya pengukuran lahan dan sebagainya. Jumlah nominalnya sangat kecil tidak berarti.

Padahal saat perizinan tersebut sedang dalam proses pengurusan, konsesi lahan tersebut telah memiliki nilai komersial yang sangat tinggi. Maka konsesi lahan menjadi sasaran pemburu rente dan elit kekuasaan.

Konsesi lahan untuk perkebunan sawit diambil dari lahan hutan konversi yang merupakan hutan milik negara. Namun di areal hutan konversi itu sering terdapat bagian-bagian yang telah digarap oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan itu sering menjadi sumber konflik karena status masyarakat yang hanya “penggarap” tanpa izin, apalagi bukti hak apapun.

Juga sering rancunya hutan konversi yang tumpang tindih dengan ‘hak adat’. keberadaan hak adat diberbagai daerah pun sering menjadi kontroversial kecuali di tanah Minang yang kekuasaan adat Ninik Mamak sangat berakar dalam kehidupan masyarakat.

Era reformasi ternyata hanya mengganti oligarki tunggal Soeharto menjadi oligarki-oligarki kecil yang banyak jumlahnya, Maka pemberian konsesi-konsesi lahan perkebunan sawit di era reformasi dan era desentralisasi otonomi daerah oleh kepala-kepala daerah yang penuh dengan bau transaksional koruptif menambah banyak terjadinya konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat.

Konsentrasi penguasaan lahan lewat pemberian konsesi-konsesi oleh kepala daerah dimana-mana. Jaringan oligarki-oligarki terjadi dari daerah sampai ketingkat pusat. Dalam hal konsentrasi penguasaan lahan, peran Menteri Kehutanan adalah sangat pokok dan sangat sentral. Karena hak dan wewenang untuk memberi Izin Pelepasan Kawasan Hutan menjadi Perkebunan adalah di tangan Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan bisa mencegah terjadinya konsentrasi penguasaan lahan dengan tidak memberi Izin Pelepasan Kawasan Hutan menjadi Perkebunan.

Di Malaysia, perusahaan yang ingin mendapatkan konsesi lahan dari pemerintahnya diwajibkan membayar harga nilai komersial dari lahan tersebut. Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan dari Malaysia dan Singapore ramai-ramai ingin berburu konsesi lahan di Indonesia!

Sebenarnya tidak sulit bagi pemerintah untuk mengatasi dan mengeliminasi konsentrasi penguasaan lahan perkebunan sawit. Karena pemberian HGU adalah berjangka waktu 30 tahun sesuai dengan usia satu generasi dari umur tanaman kelapa sawit.

Maka sudah saatnya pemerintah menarik kembali HGU tersebut disaat habis masa berlakunya dan menyerahkan pengelolaan selanjutnya kepada PTPN dengan melibatkan kepemilikan oleh masyarakat. Atau jalan keluar terbaik untuk kepentingan semua pihak dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan barangkali adalah dengan cara dilakukan evaluasi kembali atas nilai komersial dari lahan tersebut dan dikonversikan pada kepemilikan saham oleh pemerintah atas perusahaan perkebunan tersebut. Tentu, dengan ketentuan pemerintah harus memegang saham mayoritas. Ini merupakan amanat pada pemerintah untuk mengembalikan perekonomian Indonesia sesuai Pasal 33 UUD 1945,…’kakayaan alam untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat’. Beranikah pemerintah dan para elit politik melaksanakan amanat UUD 1945 ini ?

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru