Perjuangan akhirnya berbuah manis di bulan ramadhan. Dibawah ini tulisan kepada Bergelora.com dari Mayjen (Purn) Saurip Kadi Pemilik dan Penghuni Sarusun (Satuan Rumah Susun) Grahan Cempaka Mas (GCM) dan Ketua Dewan Penasehat PPPRS (Perhimpunan Pemilik Penghuni Satuan Rumah Susun) GCM. (Redaksi)
Oleh: Saurip Kadi
SIKAP Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan dan Wagub Sandiaga Uno yang tidak mau memelihara residu peninggalan pendahulunya, patut kita apresiasi bersama. Dalam soal apartemen umpamanya, Pemprov DKI membikin gebrakan “nekad” untuk menegakkan Undang-Undang Nomor:20. Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. Melalui Kadis PR&KP (Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman) DKI Jakarta, pada tanggal 23 Mei 2018 telah menerbitkan Surat dengan Nomor:2145/-1.796.71., yang isinya tentang penegasan kepengurusan tunggal PPPRS (Perhimpunan Pemilik Penghuni Satuan Rumah Susun) Graha Cempaka Mas (GCM) yaitu Pengurus Hasil RULB 20 September 2013 Pimpinan Sdr. Tonny Soenanto, sebagaimana Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor:100K/PDT/2017.
Penyelesaian kasus apartemen GCM menjadi sangat strategis, karena kasus GCM menjadi barometer keamanan dan penegakan hukum di Indonesia. Rasanya kita tidak patut bicara tentang jaminan keamanan dan penegakan hukum bagi saudara kita yang dipedalaman Kalimantan dan Papua atau pula lainnya, kalau kasus GCM yang berjarak kurang dari 4 km dari Istana Negara saja terus berlarut, dan tidak tertangani dengan baik. Dan hal yang mencolok dari Gubernur/Wagub DKI kali ini adalah keberanian dalam bersikap tak peduli siapa yang dihadapi, tak terkecuali terhadap PT. Duta Pertiwi Tbk (Sinar Mas Group). Sikap “nekad” Gubernur/Wagub DKI ini otomatis akan membikin Pengelola ex Pengembang “hitam” lainnya menjadi mudah untuk ditertibkan.
Kejahatan Dilindungi Negara
Sesungguhnya dalam kasus Rusun, Pemprov DKI Jakarta dari awal sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun dengan sengaja mereka membiarkannya, dan kemudian digeser menjadi sengketa hukum. Warga apartemen kemudian harus berhadapan dengan konglomerat termasuk melalui proses pengadilan, sementara realitanya mereka mengkooptasi penguasa dan hukum pun “WANI PIRO”.
Bagian Bersama oleh Pengembang yang kemudian direstui oleh Pemda dan juga BPN setempat disertpikatkan (dalam kasus Apartemen GCM ada 27 SHM SRS) atas nama Pengembang. Dan ketika terjadi sengketa, warga dikalahkan oleh Pengadilan mulai dari PN maupun TUN, PT, Kasasi dan juga Penyidik Polri, karena kepemilikannya masih a.n. PT. Duta Pertiiwi Tbk. Para Penegak hukum tak peduli bahwa sejak tahun 1997-1999 apartemen tersebut sudah dijual dan terbayar lunas. Begitu pula sertpikat HGB Induk tidak dibalik namakan menjadi a.n. PPSRS, sebagaimana apartemen di luar DKI Jakarta.
Sejak pembentukan PPPSRS yang difasilitasi oleh Pengembang, dalam prakteknya Pengurus PPPSRS dikuasasi orang-orangnya, tak peduli ia bukan Pemilik yang tinggal di apartemen sebagaimana amanat pasal 74 UU Nomor:20/2011. Pengurus PPPSRS kemudian menunjuk ex Pengembang sebagai Pengelola. Dan persekongkolan antara Pengelola dengan Pengurus “boneka” nya, kemudian membuat TAMENG KEJAHATAN dengan jenis kontrak LUMPSUM (Borongan), sehingga seolah semuanya legal. Padahal jenis kontrak apapun yang bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi otomatis batal demi hukum.
Berbekal kontrak LUMPSUM inilah mereka melakukan sejumlah Perbuatan Melawan Hukum. Kewenangan untuk menarik dan menyimpan uang-uang IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan/”Service Charge”) dan pungutan lainnya yang semestinya ke Rekening PPPSRS yang bernaung pada rezim UU Rusun, diubah menjadi masuk ke Rekening Pengelola yang bernaung dibawah rezim UU Perseroan Terbatas. Maka, dampak yang tidak bisa dihindari adalah kewenangan pengelolaan dan kontrol keuangan pindah ke Direksi Pengelola (PT. Duta PertiwiTbk), tidak lagi pada Pengurus dan anggota PPPSRS-GCM. Lantas, bagaimana mungkin Pengurus PPPSRS bisa mempertanggung jawabkan keuangan kepada warga dalam RUTA (Rapat Umum Tahunan) yang sebelumnya wajib diaudit akuntan publik.
Pengelola menarik Jasa Oprator sebesar 10% yang sudah barang tentu sudah masuk dalam komponen IPL, PPN atas Air dan Listrik sebesar 10% padahal di Rusun tidak ada bisnis Air dan listrik dan negara juga tidak memungutnya, menaikkan tarif listrik layaknya Perusahaan Pengada atau Penjual Listrik, menarik dan menggunakan Uang Cadangan (Sinking Fund) yang murni uang simpanan warga, mencampur Air produk PD. PAM Jaya dengan sekitar 80% kebutuhan dengan Air Hasil Olahan Limbah, menyewakan Hak Bersama untuk Parkir Komersial, pemasangan antene transmisi lebih dari 25 operator (Tilpon, TV dan Radio), Kantin dan Papan Rekalme dan uangnya digunakan sesuka suka sendiri tanpa pernah dipertanggung jawabkan kepada warga.
Bisa jadi ada Akta Notaris yang mengesahkan Pertanggungan Jawab Keuangan dalam setiap RUTA, tapi keuangan dari buku Kas yang mana yang dipertanggung-jawabkan, karena dengan kontrak jenis LUMPSUM berarti Pengurus Perhimpunan tidak mengelola keuangan. Begitu juga keuntungan Premi Asuransi yang dibayar warga dialihkan ke PT. Duta Pertiwi tanpa sepengetahuan warga, dan kejahatan lainnya yang pada intinya menjadikan warga GCM sebagai “sapi perahan”.
Dan ketika Perbuatan Melawan Hukum tersebut dilaporkan warga ke Polri dengan jumlah 30 an LP (Laporan Polisi) realitanya tidak atau belum diproses sebagaimana mestinya. Sementara LP yang dibuat orang-orang bayaran Pengelola dengan kasus “ecek-ecek” pun ditangani Penyidik Polri dengan profesioanalnya.
Disamping itu, Pengelola kemudian melakukan “vandalisme” yang dikawal oleh preman dan Polri, listrik dimatikan dengan merusak panel dan kemudian digembok. Untuk menyalakan listrik Warga mau tidak mau harus membuka gembok. Dan kemudian Polri menangkap warga diemperan rumah sendiri, dan kemudian “digelandang’ layaknya pesakitan ke Mapolres Jakarta Pusat. Sebagian mereka kemudian dijadikan Tersangka, walaupun kemudian batal demi hukum setelah melalui persidangan Pra Peradilan.
Pengelola juga melakukan “Capital Violence” yang dilindungi Polri. Warga yang protes disemprot dengan Gas APAR (Alat Pemadam Kebakaran Ringan). Di apartemen GCM juga sempat terjadi “State Terrorism”. Ratusan Preman oleh Pengelola dimasukan ke apartemen GCM, sudah barang tentu terjadi ketegangan antara warga dengan preman. Atas kepentingan Kamtibmas lebih dari 600 Prajurit Polri didatangkan ke apartemen GCM. Namun sangat disayangkan yang ditangkap Polisi bukan premannya, tapi justru warga apartemen yang notabene adalah Pemilik Sarusun yang Sah. Dan adalah bohong besar kalau warga yang kritis tersebut tidak membayar IPL dan pungutan lain, sebagaimana yang diberitakan media selama ini.
Berkah Bulan Puasa
Kini semuanya segera berlalu, yang pasti dari kasus GCM banyak pihak termasuk Pengelola ex pengembang di Rusun manapun, dan utamanya birokrasi Pemprov DKI Jakarta serta jajaran Polri kembali diingatkan ajaran leluhur kita, bahwa “Keangkara Murkaaan Akan Hancur Karena Budi Kekerti Luhur” yang dilingkungan masyarakat Jawa dikenal dengan istilah “Suro Diro Jaya Diningrat Lebur Dening Pangastuti”.
Dan dengan sikap Gubernur/Wagub DKI Jakarta yang tanpa pandang bulu dalam menegakkan Undang-Undang dan Hukum, maka era penjajahan terhadap warga apartemen oleh Pengelola Ex Pengembang akan segera berakhir. Dan lebih elok lagi, kalau Pemerintah mewajibkan seluruh apartemen melakukan transaparasi dalam tata kelola apartemen dengan menerapkan “Manajemen Rusun Online” (MARUSON) yang bisa diakses oleh Pemerintah dan segenap warga melalui internet, sebagaimana yang sudah digelar oleh Pengurus tunggal PPPSRS-GCM Hasil RULB dalam 2 tahun belakangan ini.