JAKARTA- Gerakan kelompok teroris di Indonesia saat ini sudah sangat membahayakan. Indikasinya terlihat dalam serangkaian aksi teror di berbagai tempat di Indonesia. Selain itu, gagasan mengenai gerakan ini juga mulai merasuk di berbagai lapisan masyarakat, termasuk di kalangan aparatur sipil negara (ASN), BUMN, dan lain-lain.
Kondisi ini seharusnya jadi peringatan bagi masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan ikut serta untuk mengatasinya. Namun, saat ini masih banyak masyarakat yang diam dan tidak tergerak untuk merespon gerakan-gerakan radikal yang ada dan nyata di lingkungan sekitar masing-masing. Akibatnya, paham radikal ini mendapat ruang untuk tumbuh dan membesar.
Penilaian itu dikatakan Ketua Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Saiful Rahmat Dasuki, dalam diskusi yang dihelat DPN Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT) di kawasan Tebet, Jakarta, Selasa (29/5/2018).
Diskusi tersebut digelar setelah sebelumnya diputar film dokumenter mengenai aksi teror Bom Bali I tahun 2002 yang bertajuk “Prison and Paradise” karya sutradara Daniel Rudi Haryanto.
Selanjutnya, merujuk hasil survei lembaga Alvara, Saiful mengatakan bahwa ada 23 persen kalangan generasi muda Indonesia yang menyatakan setuju dengan ide negara Khilafah, dan 5 persen di antaranya menyatakan sangat setuju.
“Ini seperti fenomena gunung es di lautan. Yang 5 persen itu yang terlihat dan dipastikan teroris. Sisanya adalah yang terendam dan tak terlihat yang sangat berpotensi menjadi teroris,” kata Saiful, yang juga menjabat sebagai Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Jakarta Selatan.
Pemahaman mengenai agama yang semata-mata tekstual, lanjut Saiful, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi maraknya gerakan radikal berbasis agama saat ini. Pemahaman tekstual ini kemudian dibenturkan secara kontekstual tanpa panduan ilmu dalam mencari lebih jauh tentang kebenaran teks tersebut.
Padahal, kata Saiful, setiap teks pasti ada ‘asbabbul nujul’ atau “asbabbul wurud-nya atau asal-usul mengapa teks itu diturunkan, sehingga teks itu dapat dipahami secara mendalam, tidak semata-mata secara harfiah.
“Di Nahdlatul Ulama khususnya, kita belajar memahami Al Quran dan Hadits dengan bimbingan para Kyai yang belajar dari Kyai sebelumnya dan seterusnya. Bukan melalui perangkat gadget dan internet seperti yang selama ini banyak terjadi,” urai Saiful.
“Contohnya Dita Milenia, anak remaja yang ditangkap sekitar Mako Brimob yang terindikasi akan melakukan penusukan dengan gunting yang dibawanya, diketahui belajar agama lewat sosial media,” lanjutnya.
Sementara itu, di tempat yang sama, Rahadi T Wiratama mengatakan bahwa terorisme di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor dinamika politik internasional, khususnya yang terjadi di kawasan Timur Tengah.
Menurut peneliti senior LP3ES itu, gejolak politik di sejumlah negara Islam seperti Afghanistan di masa Perang Dingin, Mesir, Libya, serta Suriah akhir-akhir ini, relatif berhasil menarik keterlibatan sebagian umat Islam dari berbagai negara termasuk Indonesia untuk menjadi kombatan.
“Pergolakan yang berlangsung sejumlah negara di kawasan itu sebetulnya bukan persoalan agama, melainkan politik. Bahkan, yang terjadi di Afghanistan dan Palestina misalnya, sejatinya adalah gerakan nasionalis atau gerakan kemerdekaan negara itu. Namun, bingkai yang kemudian muncul adalah bias bahwa yang terjadi adalah perang agama atau antara umat Islam dan non Islam. Bias ini tentu sangat berbahaya,” urai Rahadi.
Amerika Serikat, lanjut Rahadi, juga turut berperan dalam situasi tersebut. Negara adikuasa itu, menurutnya, tidak punya desain politik global terutama setelah berakhirnya Perang Dingin.
“Maka terlihat bahwa Amerika juga pada akhirnya harus mengerahkan sumber daya yang sangat besar untuk mengatasi persoalan yang ditimbulkan oleh kelompok-kelompok yang mereka ciptakan sebelumnya, termasuk Al Qaeda dan ISIS,” lanjutnya.
Belakangan, kedatangan sejumlah warga Indonesia yang terlibat dalam peperangan di kawasan itu pada akhirnya jadi persoalan di Indonesia. Merekalah yang menurut Rahadi jadi sel-sel tidur dan aktif dalam menyemai gagasan radikal dan terorisme.
Di sisi lain, lanjut Rahadi, ketentuan hukum di Indonesia sebelum disahkannya UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak memungkinkan aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan antisipatif dan preemtif.
“Disahkannya undang-undang mengenai pemberantasan Terorisme yang baru, tentu diharapkan dapat lebih memudahkan aparat untuk mencegah dan menindak pihak yang berindikasi menganut paham radikal. Namun, undang-undang itu juga tidak boleh eksesif dalam pelaksanaannya,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Daniel Rudi Haryanto, mengatakan pentingnya melakukan berbagai upaya dan gerakan intensif dan efektif yang dapat menjauhkan generasi muda khususnya dengan paham dan gerakan radikal tersebut.
“Disengagement” itu, menurut Daniel, berangkat dari pengalamannya mewancarai Imam Samudra, Ali Gufron, Amrozy, dan keluarga mereka, termasuk keluarga korban aksi teror Bom Bali I ketika membuat film “Prison and Paradise” selama tujuh tahun.
“Film ini saya dedikasikan sebagai bentuk perlawanan kita terhadap terorisme, khususnya melalui kebudayaan. Di dalamnya kita dapat melihat betapa berbahayanya paham mereka (pelaku bom Bali I-red). Di sisi lain, kita juga melihat bagaimana istri dan anak-anak mereka harus menanggung akibatnya secara sosial. Juga duka mendalam yang dialami oleh korban dan keluarganya seumur hidup,” kata Daniel. (HD Sirait)