MAGELANG- Sanggar Maos Tradisi (SMT) bekerjasama dengan Forum Peduli Desa menyelenggarakan Diskusi yang bertemakan “Praktik Kelola Dana Desa,” yang bertempat di Omah Guyup, Desa Wringin Putih Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jumat (29/5). Ide diskusi ini berawal dari keraguan banyak pihak tentang kapasitas desa dalam mengelola Dana Desa,
“Bagi kami keraguan ini harus dijawab dengan bukti bahwa sudah banyak desa yang mampu mengelola Dana Desa untuk kesejahteraan masyarakatnya,” demikian Machmud dari SMT.
Ruang ini menurutnya sudah disediakan melalui landasan yang kuat yaitu Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang sejatinya membawa misi mulia, yaitu adanya transformasi ekonomi politik di desa yang diharapkan bisa mendorong kemandirian dan kesejahteraan bagi masyarakat desa. Desa didorong menjadi lebih demokratis secara politik, dan mandiri secara ekonomi dengan mengoptimalkan aset yang dimilikinya.
Untuk mendorong kemandirian desa tersebut, desa diberikan keleluasaan merumuskan kewenangan yang bisa dijalankan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Untuk menjalankan kewenangannya, desa mendapatkan transfer dana dari pemerintah pusat yang bersumber dari APBN yang kemudian disebut dengan Dana Desa sebagai salah satu sumber pendapatan APBDesa. Selain Dana Desa, sumber-sumber pendapatan desa yang lain adalah pendapatan asli desa, bagi hasil pajak dan retribusi daerah, alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta hibah dan sumbangan tidak mengikat dari pihak ketiga.
Jika menilik pada pemahaman di atas, maka sebenarnya dana desa bukanlah bantuan pemerintah pusat kepada desa. Dana desa merupakan hak desa yang mesti dipenuhi oleh pemerintah pusat dalam rangka mendorong konsolidasi pembangunan, mendorong kemandirian dan kesejateraan desa. Dalam menyusun prioritas pembangunan yang dialokasikan dalam APBDesa, prioritas pembangunan mesti disepakati dalam musyawarah desa (Musdes) dan disesuaikan dengan prioritas pembangunan pemerintah supra desa.
Empat tahun implementasi UU Desa sudah banyak praktik-praktik baik yang dilakukan oleh desa dalam penggunaan dana desa. Diskusi ini ingin membuktikan bahwa praktik-praktik pengelolaan Dana Desa sudah dilakukan oleh desa-desa di Kabupaten Magelang.
Herman Purwanto, Direktur Klinik Pratama dan Usaha Bisnis Online, dalam sesi presentasinya, ia menyampaikan pentingnya mensinergikan pembangunan dengan sasaran yang ada di desa. Hal ini juga hendaknya sesuai dengan visi dan misi yang dimiliki oleh desa. Desa dengan segala kewenangan yang dimiliki dapat menentukan arah dan rencana pembangunan yang akan dilakukan. Beliau menjelaskan bahwa, “dalam menentukan satu tujuan akhir, perlu dirumuskan proses yang cermat guna mencapai tujuan tersebut”.
Diskusi yang berlangsung sore itu, tidak hanya diwarnai dengan perspektif ekonomi. Akan tetapi, juga diwarnai dengan perspektif teknis administratif dari Sutranto selaku representasi dari Dinas Pembedayaan Masyarakat Desa Kabupaten Magelang. Menurutnya, terdapat banyak hal yang dapat kita evaluasi dari lahirnya Dana Desa. Hadirnya regulasi ini memberikan ruang bagi desa dalam mengatasi berbagai persoalan sosial yang ada di desa seperti misalnya kemiskinan dan penganggaran yang ada di desa. Akan tetapi, terlepas dari tujuan mulia tersebut, implementasi Dana Desa masih mengalami kendala.
“Dalam proses implementasi, dibutuhkan strategi penggunaan yang jitu. Hal ini digunakan untuk menjawab beberapa masalah yang muncul seperti terkait dengan pelaporan dan pertanggungjawaban Dana Desa. Telah muncul banyak pelatihan dan kegiatan yang sifatnya memberdayakan dan memberikan kemanfaatan bagi desa,” katanya.
Diskusi semakin menarik dengan disampaikannya pemaparan dari Sunaji Zamroni, selaku Direktur Eksekutif IRE. Menurutnya, Dana Desa hendaknya diposisikan sebagai instrumen dalam menciptakan desa yang maju, mandiri, dan demokratis.
“Dalam praktiknya, Dana Desa masih belum mampu dijalankan dengan optimal. Undang-Undang Desa dengan dua asas dasarnya, rekognisi dan subsidiaritas diharapkan mampu menjawab tantangan yang ada di desa,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa, Dana Desa tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga sosial budaya. Hal itulah yang didorong guna mengembangkan kehidupan berkelanjutan (sustainable livelihood).
“Desa sebagai kesatuan hukum Negara, memiliki jumlah pendapatan yang tidak sedikit. Pendapatan itu diharapkan mampu menjadi stimulus guna mendorong perekonomian dan pembangunan desa,” katanya.
Arie Sujito, Pengasuh Sanggar Maos Tradisi, menjelaskan bahwa kewenangan yang dimiliki desa harus ditopang dengan partisipasi masyarakat. Melalui asas rekognisi dan subsidiaritas, desa hendaknya dibayangkan sebagai subjek pembangunan.
“Undang-Undang Desa menawarkan cara pandang baru dalam berdemokrasi. Ini telah menginisiasi lahirnya desa yang mandiri, demokratis, dan inklusif serta berkeadilan. Desa sebagai entitas hukum yang otonom memiliki kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Dana Desa mampu menjadi jawaban atas berbagai problem sosial yang ada di desa,” katanya.
Di akhir sesi orasinya, ia menekankan bahwa sudah saatnya muncul intelektual organik untuk mengawal isu UU Desa.
“Yang kita butuhkan adalah komitmen bersama untuk mengatasi masalah bukan hanya sekedar mengeluhkan masalah,” katanya.
Sanggar Maos Tradisi
Sanggar Maos Tradisi adalah sebuah padepokan yang bertujuan untuk meninjau, membaca, dan menafsir atas tradisi yang seharusnya menjadi modal kita untuk melangkah kedepan. Di inisiasi oleh aktivis Jogja sanggar ini terbuka untuk umum sebagai ruang untuk memperbincangkan sekaligus merancang gerakan sosial dan kebudayaan hingga bagaimana melakukan implementasinya.
Di motori oleh sosiolog UGM Dr Arie Sujito dan didukung oleh beberapa aktivis Sanggar Maos Tradisi hadir dengan semangat untuk menggali budaya, sekaligus piranti untuk menggerakkan dinamika perubahan yang pada gilirannya diharapkan dapat memberi faedah dan manfaat positif bagi publik. (Andreas Nur)