Bergaul di dunia maya media sosia ternyata etikanya sama saja, yaitu saling menghormati. Karena kemajuan peradaban ternyata juga diukur dari etika di media sosial,–bukan saja hanya sekedar kemampuan menggunakan peralatan modern saja. Wartawan Senior Sinar Harapan, Kristin Samah menulis pengalamannya untuk Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Kristin Samah
PERNAH berada dalam satu grup komunikasi yang berisi beranekaragam latar belakang? Sejak eforia menjadi relawan politik mengemuka beberapa tahun terakhir, muncul grup-grup di dunia nyata maupun virtual. Satu orang bisa memiliki puluhan grup. Kadang-kadang isinya itu-itu saja.
Kali ini perhatian saya sampai pada bagaimana “orang-orang hebat” bersosial media. Mungkin mereka gamang dengan status sosial, ekonomi, politik, dan intelektualnya sehingga tak tahu harus bersikap bagaimana berhadapan dengan anggota grup yang lain, yang kurang dikenal, yang mungkin status sosial, ekonomi, politik, dan intelektualnya dipandang tak setara.
Kawan. Sama juga dengan pergaulan nyata, begitu juga seharusnya pergaulan di dunia virtual. Kalau di dunia nyata tak pantas kita berkata kasar pada orang yang lebih tua, begitu juga seharusnya di dunia maya. Kalau di dunia nyata harus memilih kata-kata yang sopan dan layak untuk menanggapi pendapat orang dalam sebuah perbincangan, begitu juga seharusnya terjadi di “dunia jempol”.
Sayangnya saat ini jempol lebih cepat daripada mulut, bahkan pikiran. Jadi kata-kata di dunia maya begitu deras menggilas pikiran-pikiran jernih. Seolah-olah apa yang dilakukan si jempol tidak berkonsekuensi apa-apa di dunia nyata.
Pernah satu kali di sebuah grup whatsapp, seorang bergelar professor memposting berita yang tak terkonfirmasi alias hoax. Lalu ada yang mengomentari dengan bahasa yang cukup ditata—maklum berbicara dengan seorang professor—bahwa informasi itu tidak benar.
Apa yang terjadi? Pak professor diam seribu bahasa. Tidak berterima kasih, tidak minta maaf. Seolah-olah orang professor itu sedang buang sampah sembarangan di jalanan.
Ya sudahlah, mungkin sibuk.
Ada juga seorang yang mungkin merasa dirinya sudah cukup terpandang, maka ia hanya memposting hal-hal yang menurut dia penting. Tak peduli apakah orang lain menganggap penting atau tidak. Puluhan foto dirinya dengan berbagai pose di sebuah acara seremonial dikirim begitu saja. Sesudah itu dia pergi. Tak menjawab apa pun yang ditanyakan anggota grup yang lain.
Arogansi seorang yang merasa penting, merasa terpandang. Sama dengan etika pergaulan di dunia nyata, tunggu saja masanya orang akan berpaling. Bahwa popularitas, pangkat, jabatan, juga kekayaan, sifatnya sementara. Integritas diri yang akan menjadi ukuran. Dan menghargai diri sendiri harus dilakukan dengan lebih dulu menghargai orang lain. (*)