Minggu, 19 Oktober 2025

GITU DOOONG…! Bupati Gowa Pernah Ajak Daerah Lain Ramai-ramai Tolak BPJS Kesehatan

Bupati Gowa, Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan. (Ist)

GOWA – Bupati Gowa, Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan, pernah mengumumkan daerah yang dipimpinnya menolak keikutsertaan dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang selama ini digagas pemerintah. Hal ini ditegaskannya pada tahun 2017 lalu.

Terhitung sejak 1 Januari 2017, layanan kesehatan di Kabupaten Gowa tak lagi terintegrasi dengan BPJS Kesehatan. Mereka memutuskan untuk menggunakan program kesehatan gratis yang dikelola Pemkab Gowa.

Selain memutus keikutsertaan dengan BPJS Kesehatan, Bupati Gowa juga telah melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Adnan pun mengajak para bupati di seluruh Indonesia, untuk menolak keikutsertaan BPJS Kesehatan.

“Kepada seluruh bupati seluruh Indonesia untuk bersama-sama Kabupaten Gowa menggugat BPJS, Alhamdulilah ada beberapa bupati yang mau ikut,” kata Adnan di Gowa, Kamis, 5 Januari 2017 lalu.

Adnan menjelaskan alasan Kabupaten Gowa tak lagi terintegrasi dengan BPJS Kesehatan. Menurutnya, program BPJS Kesehatan memberatkan anggaran pemerintah daerah, apalagi banyak warga Gowa yang tak terjangkau seluruh fasilitas kesehatan melalui BPJS.

Sementara itu, program kesehatan gratis di Kabupaten Gowa yang bisa menjangkau seluruh fasilitas hanya membutuhkan anggaran Rp16 miliar. Beda halnya dengan keikutsertaan BPJS Kesehatan, Kabupaten Gowa harus mengeluarkan anggaran daerah sebesar Rp24 miliar.

Naik 100%

Sebelumnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan, tidak semua iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Naik 100%. Hanya kelas 1 dan kelas 2 yang naik 100%, sementara kelas 3 naik 65%.

“Itu (kenaikan 100%) hanya berlaku untuk Kelas 1 dan Kelas 2. Untuk kelas 3, tidak sebesar itu. Untuk Kelas 3, usulan kenaikannya adalah dari Rp25,5 ribu menjadi Rp42 ribu, atau naik 65%,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (Kepala Biro KLI) Kemenkeu Nufransa Wira Sakti dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (9/9) siang.

Menurut Nufransa, kenaikan peserta mandiri kelas 3 sebesar Rp42 ribu itu sama dengan iuran bagi orang miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayar oleh Pemerintah. Bahkan bagi peserta mandiri Kelas 3 yang benar-benar tidak mampu dapat dimasukkan ke dalam Basis Data Terpadu Kementerian Sosial (Kemensos) sehingga berhak untuk masuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah.

Adapun besaran iuran BPJS Kelas 1 dan 2 yang diusulkan pemerintah akan berlaku mulai Januari 2020 adalah: a. Kelas 1 jadi Rp160.000 per bulan (sebelumnya Rp80 ribu), dan kelas 2 menjadi Rp110 ribu per bulan (sebelumnya Rp51.000).

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti menegaskan, dalam menaikkan iuran ini, pemerintah mempertimbangkan 3 hal utama yaitu kemampuan peserta dalam membayar iuran (ability to pay), upaya memperbaiki keseluruhan sistem JKN sehingga terjadi efisiensi, serta gotong royong dengan peserta pada segmen lain.

“Pemerintah sangat memperhitungkan agar kenaikan iuran tidak sampai memberatkan masyarakat dengan berlebihan,” jelas Nufransa.

Untuk itu, lanjut Nufransa, jika ada peserta yang merasa benar-benar berat membayar, bisa saja peserta yang bersangkutan melakukan penurunan kelas, misalnya dari semula Kelas 1 menjadi Kelas 2 atau Kelas 3; atau dari Kelas 2 turun ke Kelas 3.

Namun Nufransa memastikan, kenaikan iuran BPJS ini akan diiringi dengan perbaikan sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) secara keseluruhan sebagaimana rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), baik terkait kepesertaan dan manajemen iuran, sistem layanan dan manajemen klaim, serta strategic purchasing.

Nufransa juga menyampaikan, bahwa rencana kenaikan iuran ini juga adalah hasil pembahasan bersama oleh unit-unit terkait, seperti Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), (Kemenkes), dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang nantinya akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres).

Tidak Bayar Iuran

Kepada Bergelora.com dilaporkan, dalam kesempatan itu Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (Kepala Biro KLI) Kemenkeu Nufransa Wira Sakti juga mengklarifikasi alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS. Ia menyebutkan,   diantara penyebab utama defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sudah terjadi sejak awal pelaksanaannya adalah besaran iuran yang underpriced dan adverse selection pada peserta mandiri.

Menurut Nufransa, banyak peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal, dan setelah sembuh, peserta berhenti membayar iuran atau tidak disiplin membayar iuran.

Pada akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya 53,7 persen. Artinya, 46,3 persen dari peserta mandiri tidak disiplin membayar iuran alias menunggak. Sejak 2016 – 2018, besar tunggakan peserta mandiri ini mencapai sekitar Rp15 triliun.

“Pemerintah menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional dan usulan untuk mendisiplinkan peserta yang menunggak iurannya, khususnya peserta mandiri,” jelas Nufransa.

Sepanjang 2018, total iuran dari peserta mandiri adalah Rp8,9 triliun, namun total klaimnya mencapai Rp27,9 triliun. Dengan kata lain, claim rasio dari peserta mandiri ini mencapai 313 persen. Dengan demikian, seharusnya kenaikan iuran peserta mandiri lebih dari 300%. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru