Selasa, 1 Juli 2025

Pimpinan KPK Proses Laporan Maruly Tentang Penyalahgunaan Penyadapan Oknum KPK


JAKARTA- Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipastikan akan menindaklanjuti laporan penyalahgunaan penyadapan yang dilakukan oknum KPK. Hal ini dijelaskan oleh bidang Hubungan Masyarakat, Fritzmon, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/7) siang saat Maruly Hendra Utama melapor pengaduan penyalahgunaan kewenangan penyadapan pada Sekjend PDI-P, Hasto Kristianto.

 

“Jadi yang punya kewenangan menjawab substansi laporan pengaduan adalah pimpinan KPK. Laporan kami teruskan ke pimpinan. Nanti anda dipanggil,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa dirinya tidak bisa komentari substansi dari laporan pengaduan calon Walikota Bandar Lampung dari PDI-P ini. 

“Tapi kritik akan kami terima dan akan dijawab oleh pimpinan,” demikian jelas Fritzmon. menjelaskan saat menerima Maruly yang melaporkan hasil penyadapan yang dimuat di media sosial dan Majalah Tempo edisi 9 Juli 2015 lalu.

Seperti diketahui, hari Sabtu (11 Juli 2015) dan Senin (13 Juli 2015) Maruly Hendra Utama telah mendatangi Badan Reserse Kriminal Mabes Polri untuk melaporkan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli dengan tuduhan penistaan dengan surat (pasal 310 ayat 2 KUHP), fitnah (pasal 311 KUHP), perbuatan fitnah (pasal 318 KUHP), menyiarkan berita bohong (pasal 390 KUHP) terhadap Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristianto.

Di halaman 28-31 Majalah Tempo edisi 13-19 Juli 2015 terdapat artikel berjudul “Jejak Kriminalisasi Yang Terekam” yang ditulis oleh Rusman Paraqgueq, Yandhrie Arvian, Raditya Pradipta, Iqbal T Lazuardi. Di dalamnya, Tempo menulis bahwa kriminalisasi terhadap KPK memang terjadi. Dan kriminalisasi itu dilakukan oleh Wakil Sekjen PDI Perjuangan saat itu, Hasto Kristianto. Di artikel berjudul “Halo-Halo, Pagi Ini Harus Dilempar,,,” di halaman 32-33 majalah itu juga dituliskan kutipan-kutipan hasil rekaman percakapan tersebut.

Pernyataan Tempo itu didasarkan atas bukti adanya rekaman tentang pembicaraan Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan saat itu, Hasto Kristianto, dengan lima orang. Selain dengan petinggi kepolisian di Yogya, salah satunya adalah dengan mantan Ketua BIN AM Hendropriyono. Hal ini pertama kali diungkap Novel Baswedan di Mahkamah Konstitusi bahwa KPK memiliki rekaman bukti tentang kriminalisasi KPK pada periode Januari-Februari 2015 yang kemudian dibantah oleh pimpinan KPK.

Dari sejumlah sumber Tempo di KPK, mereka membenarkan keterangan Novel Baswedan di Mahkamah Konstitusi. Karena itu laporan utama Majalah Tempo jelas memiliki tesis bahwa kriminalisasi terhadap KPK memang terjadi. Hal ini dimotori oleh Wakil Sekjen PDI Perjuangan saat itu, Hasto Kristianto, sebagai sebuah serangan balik PDI Perjuangan, karena pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri dihalang-halangi KPK setelah KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka rekening gendut.

Sehari kemudian, Jumat 10 Juli 2015, di media sosial ramai beredar selabaran fotokopi lima halaman berisi transkrip hasil sadapan tersebut. Isi transkrip itu sama dengan bahan utama penulisan Majalah Tempo. Dengan demikian, boleh dikatakan, sumber dokumen Tempo sama seperti fotokopi selebaran yang beredar di media sosial yang disertakan untuk pembuktian kasus ini.

Dari transkrip rekaman yang ada di fotokopi selabaran lima halaman yang beredar di media sosial itu yang menurut Majalah Tempo berasal dari sumber di KPK, pembicaraan Hasto itu tidak lengkap. Hanya penggal-penggal dari satu pernyataan ke pernyataan tanpa konteks yang jelas. “Yang lebih dominan  justru penafsiran penulis fotokopi selebaran itu bahwa kriminalisasi KPK itu memang terjadi dan dimotori oleh Hasto. Padahal isi selebaran itu lebih banyak mencocok-cocokan penafsiran terhadap statemen singkat yang konon katanya merupakan hasil sadapan KPK tersebut,” jelas Maruly Hendra Utama.
Dengan demikian menurutnya menjadi jelas, bahwa laporan Majalah Tempo tersebut benar-benar sumir, mengada-ada, dan mencemarkan nama baik PDI Perjuangan. Ada kesan PDI Perjuangan tidak mendukung pemberantasan korupsi dan anti KPK.

Selain Majalah Tempo, Maruly juga menilai ada yang salah pada KPK. Sebab, setidaknya ada dua versi KPK yang beredar di publik. Pertama, bantahan pimpinan KPK bahwa penyadapan itu ada. Kedua, pernyataan penyidik senior KPK, yaitu saudara Novel Baswedan, bahwa rekaman itu ada dan dilakukan oleh KPK. Dan pengakuan Novel Baswedan itu dibenarkan oleh sejumlah sumber Majalah Tempo di KPK.

“Sementara, jika benar pengakuan Novel Baswedan dan sumber Majalah Tempo seperti yang ditulis berasal dokumen dari pegawai KPK, maka kami juga akan melaporkan oknum KPK yang telah melakukan penyadapan tersebut. Karena jelas ini adalah penyalahgunaan wewenang (pasal 421 KUHP), karena tidak ada kasus korupsi di sana. Lantas mengapa Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristianto, yang juga Sekjen kami disadap? Ini jelas penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oknum KPK dalam soal kewenangan penyadapan,” jelasnya.

Menurut Maruly, jika penyadapan digunakan untuk menyasar kasus non-korupsi, maka lembaga yang punya kewenangan penyadapan (seperti polisi dan BIN) akan berlomba-lomba menyadap tanpa prosedur yang benar. Negeri ini kelak akan jatuh ke dalam jurang menjadi negeri penyadapan tanpa prosedur. Ini tentu menjadi ancaman bagi demokrasi dan hak-hak sipil.

“Saya melakukan klarifkasi dengan pimpinan KPK mengingat adanya dua keterangan berbeda antara pimpinan KPK dan penyidik KPK. Hal kedua, jika penyadapan itu terjadi kami meminta pimpinan KPK menindaklanjuti dengan membentuk Komite Etik karena jelas ada penyalahgunaan wewenang penyadapan yang dilakukan oknum penyidik KPK untuk kasus non-korupsi,” demikian Maruly.

Menurutnya sudah terlalu lama PDI Perjuangan dianiaya. Difitnah dan diadu domba dengan rakyat luas dalam soal KPK vs Polri. Penyadapan oleh oknum KPK jelas menyerang kehormatan Ketua Umum PDI Perjuangan, Ibu Megawati Soekanroputri.

“Karena tuduhan itu menyasar pada jabatan Sekjen PDI Perjuangan, yaitu saudara Hasto Kristianto, yang menjadi jantung manajemen organisasi partai PDI-P. Publik seakan dibuat menderita lupa sejarah, bahwa KPK justru berdiri pada era Megawati Soekarnoputri saat menjadi Presiden RI,” jelasnya.

Sebagai Calon Walikota Bandar Lampung yang diusung PDI Perjuangan, Maruly merasa dirugikan dengan penyadapan di luar kewenangan oleh oknum penyidik KPK.

“Apalagi hasil penyadapan itu kemudian diumbar di media sosial. Karena dari Lampung, daerah pemilihan saya, rakyat sudah resah karena berita itu. Mereka bertanya –seraya setengah menggugat– apakah benar PDI Perjuangan anti pemberantasan korupsi? ” Jelasnya. (Web Warouw)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru