JAKARTA- Sejak masa awal pemerintahannya berjalan, Jokowi-JK memiliki satu agenda prioritas yang harus segera dibenahi, yakni perbaikan mendasar atas krisis agraria nasional yang semakin memburuk. Namun implementasi Peraturan Bersama Empat Menteri Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan adalah contoh peraturan yang seharusnya menjadi jalan keluar bagi masalah agraria di kawasan hutan namun diboikot oleh birokrasi dan tidak dijalankan. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Iwan Nurdin kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (7/1).
Ia menjelaskan bahwa Peraturan Bersama (Perber) antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang ditandatangani tanggal 17 Oktober 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasan Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan.
“Perber itu memberi mandat pada tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T), untuk melakukan seluruh langkah dan upaya untuk menyelesaikan persoalan sengketa penguasaan dan batas wilayah hutan,” jelasnya.
Menurutnyam mulai dari pemerintah Provinsi hingga Kabupaten/Kota didorong membentuk tim IP4T yang bersifat adhoc dan diisi oleh unsur dari Pemerintah Daerah, ATR/ BPN tingkat daerah, KLHK dan Dinas Kehutanan atau SKPD terkait kehutanan untuk melakukan pendaftaran, pendataan, verifikasi hingga pemberian rekomendasi terhadap tanah-tanah klaim dari masyarakat.
“Disahkannya Perber tersebut menjadi peluang bagi masyarakat untuk menyelesaikan konflik agraria, terutama dalam wilayah kehutanan. Namun implementasinya mandeg. Hingga saat ini, belum sejengkalpun tanah telah dikembalikan kepada rakyat melalui peraturan ini,” ujarnya.
Beberapa hal yang menjadi kendala menurut Catatan Akhir Tahun 2015 KPA adalah Jajaran Pemerintah Daerah, ATR/BPN, KLHK enggan untuk membentuk dan menjalankan tugas sebagai Tim IP4T yang bergerak untuk mengurai persoalan konflik-konflik agraria yang ada. Hingga kini, sebagian besar daerah cenderung enggan untuk membentuk Tim IP4T.
“Selain itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak bersedia mengikuti proses di Tim IP4T,” ujarnya.
KPA juga melaporkan bahwa Kementerian ATR/BPN dan Kemendagri juga tidak memprioritaskan areal yang sebelumnya telah menjadi desa definitif, kawasan pemukiman dan fasilitas umum masyarakat. Sehingga minimnya kesiapan dari masyarakat dan birokrasi dalam implementasi sehingga menumbuhkan free riders yang mendompleng implementasi.
“Alih-alih berkoordninasi untuk menyelesaikan problem teknis tersebut, kabarnya jalan keluar yang hendak ditempuh oleh para pihak adalah tidak menjalankan Perber dan mendorong agar Perber menjadi Perpres. Sebuah jalan keluar yang sungguh menyedihkan. Sebab menaikkan perber menjadi perpres sebagai sebuah langkah dijadikan alasan untuk menghentikan implementasi Perber,” jelasnya. (Web Warouw)