KUPANG- Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dinilai tidak serius bahkan apatis dalam menyelesaikan masalah tumpahan minyak di Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 21 Agustus 2009. Ha ini ditegaskan oleh Tim Advokasi Skandal Laut Timor (Taslamor) kepada Bergelora.com di Kupang, Sabtu (9/1)
“Saat menyampaikan keterangan pers awal tahun di Kementerian Luar Negeri, Kamis (7/1), Menlu Retno sama sekali tidak menyinggung soal upaya penyelesaian kasus pencemaran tersebut sebagai bagian dari salah satu bentuk diplomasi politik Indonesia kepada dunia internasional. Ini yang kami sesalkan,” kata Ketua Tim Advokasi Skandal Laut Timor Frans Dj.
Pencemaran Laut Timor ini terjadi akibat meledaknya anjungan minyak Montara milik anak perusahaan asal Thailand PTTEP Australasia di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009 itu, hampir 90 persen mencemari perairan Indonesia di Laut Timor sampai ke kawasan pesisir pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur.
Hal ini terlihat dari menurunnya hasil tangkapan para nelayan pasca meledaknya kilang minyak tersebut, serta hancurnya usaha budidaya rumput laut oleh para petani NTT di wilayah pesisir akibat wilayah perairan budidaya telah terkontaminasi dengan minyak mentah (crude oil) yang dimuntahkan dari kilang Montara.
“Kami sayangkan sikap Menlu Retno yang tidak menyinggung sedikit pun upaya penyelesaian kasus tersebut, padahal berdasarkan Peraturan Presiden No.109 tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut. Menteri Luar Negeri merupakan salah satu anggotanya,” kata Tulung.
Frans Tulung yang juga salah seorang pengacara senior di NTT ini menambahkan Kementerian Luar Negeri seharusnya menjadi ujung tombak diplomasi dalam upaya penyelesaian tragedi pencemaran Laut Timor yang prosesnya begitu banyak mengalami kendala dan terus berlarut sampai saat ini.
“Menlu seharusnya berani melakukan diplomasi total terhadap masalah ini, sehingga masyarakat pesisir Nusa Tenggara Timur yang menjadi korban dari tragedi kemanusiaan tersebut, memiliki sebuah optimisme akan solusi jangka panjang,” ujarnya.
Namun, ironisnya, kata dia, harapan tersebut belum diimplementasikan sedikitpun oleh Menteri Retno dalam kapasitasnya sebagai anggota Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, maupun dalam kedudukannya sebagai Menteri Luar Negeri.
“Saat memberikan Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri 2016 di Jakarta, Kamis (7/1), Menteri Retno malah tidak membuka ruang tanya jawab dengan wartawan, padahal kami sangat mengharapkan Menlu meminta pertanggung jawaban Pemerintah Australia dan Pemerintah Thailand untuk membuka kasus yang ditutup-tutupi selama ini,” katanya menegaskan.
Menurut Frans Tulung, banyak wartawan yang kecewa pada saat jumpa pers tersebut, karena Menlu tidak membuka ruang tanya jawab, padahal sejumlah wartawan asing, khususnya dari Australia hendak meminta tanggapan Menlu Retno atas desakan masyarakat NTT soal upaya penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor.
Sebelumnya, Taslamor dalam surat terbukanya mendorong Kementerian Luar Negeri mendesak Pemerintah Australia untuk menghormati permintaan Pemerintah RI dan Rakyat Timor Barat-NTT yang telah disampaikan melalui Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop agar segera membuka kembali kasus tersebut yang ditutup-tutupi selama ini.
Taslamor juga mendesak Pemerintah Thailand agar tidak berlaku sebagai pengecut guna bertanggung jawab terhadap berbagai kerugian yang diderita oleh rakyat dan daerah Timor Barat serta NTT pada umumnya, akibat tumpahan minyak dari anjungan Montara pada Agustus 2009.
Secara terpisah, Kordinator Ocean Watch Indonesia (OWI) Herman Jaya meminta agar Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi terhadap kapabilitas dan kredibilitas Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri.
Menurut dia, dalam memasuki abad 21, kedaulatan suatu bangsa dan negara ditentukan oleh kemampuan dan kekuatan dalam berdiplomasi, karena kekuatan berdiplomasi merupakan hal utama dalam percaturan internasional guna memperkokoh jati diri bangsa.
“Di negeri kita ini, cukup banyak diplomat karier yang sangat kredibel dan kapabel serta memiliki kemampuan luar biasa untuk menduduki jabatan sebagai Menteri Luar Negeri. Kita berharap, Presiden Jokowi dapat melihat masalah ini dengan cermat untuk membangun citra positif Indonesia di mata dunia internasional,” demikian Herman Jaya. (Rudy)
Â