Jumat, 4 Juli 2025

BLEJETI SEMUA YANG TERLIBAT..! Sidang Perdana Tom Lembong: Jaksa Persoalkan Penunjukan Koperasi TNI-Polri

JAKARTA – Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, akhirnya menjalani peradilan setelah merasa ditahan terlalu lama di tahap penyidikan. Tom didakwa melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian negara dan memperkaya orang lain atau suatu korporasi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).

Sidang perdana perkara Tom dihadiri banyak orang, termasuk istrinya Fransisca Wihardja dan eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Ditemui awak media, Ciska, panggilan akrab istri Tom, yakin tudingan jaksa tidak benar.

“So far yang kita lihat kan ya apa yang dituduhkan, itu kan tidak benar. Jadi kita dengar aja nanti bagaimana kelanjutannya, nanti kita support,” kata Ciska di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.


Baik Ciska, Anies, maupun kolega Tom kemudian menunggu mantan menteri itu di ruang sidang. Tom pun masuk dengan pengawalan ketat petugas. Ia kemudian menghampiri dan menjabat erat tangan Anies. Setelah itu, ia memeluk istrinya. Suasana haru menyeruak di bangku sidang.

𝗗𝗶𝗱𝗮𝗸𝘄𝗮 𝗥𝘂𝗴𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗡𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 𝗥𝗽 𝟱𝟳𝟴 𝗠

Sidang kemudian dibuka dan Tom didakwa melakukan perbuatan melawan hukum dalam kebijakannya menerbitkan persetujuan impor (PI) untuk sejumlah importir gula.

Impor saat itu dilakukan untuk mengendalikan harga gula kristal putih (gula pasir) yang dikonsumsi masyarakat melalui operasi pasar.

Namun, dalam melakukan ini, Tom dinilai melakukan beberapa pelanggaran. Menurut jaksa, Tom memberikan PI kepada 10 pengusaha swasta, yakni Tony Wijaya NG melalui PT Angels Products, Then Surianto Eka Prasetyo melalui PT Makassar Tene, dan Hansen Setiawan melalui PT Sentra Usahatama Jaya.

Kemudian, Indra Suryaningrat melalui PT Medan Sugar Industry, Hendrogiarto A Tiwow melalui PT Duta Sugar International, Hans Falita Hutama melalui PT Berkah Manis Makmur, Ali Sandjaja Boedidarmo melalui PT Kebun Tebu Mas, dan Ramakrishna Prasad Venkatesha Murthy melalui PT Dharmapala Usaha Sukses.

“Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tanpa didasarkan Rapat Koordinasi antarkementerian menerbitkan surat pengakuan impor/persetujuan impor,” tutur jaksa.

Selain itu, PI juga diberikan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

Sebanyak tujuh dari 10 perusahaan swasta itu juga bukan importir yang berhak mengolah gula kristal mentah (GKM) menjadi gula kristal putih (GKP). Mereka merupakan perusahaan importir gula rafinasi, bahan yang digunakan untuk keperluan industri makanan dan minuman, seperti sirup, minuman botol, dan lainnya.

“Padahal (Tom) mengetahui perusahaan tersebut tidak berhak mengolah Gula Kristal Mentah (GKM) menjadi Gula Kristal Putih (GKP) karena perusahaan tersebut merupakan perusahaan gula rafinasi,” ujar jaksa.

Dalam uraiannya, jaksa juga mempersoalkan tindakan Tom  Lembong menunjuk koperasi Polri dan TNI untuk mengendalikan harga gula di pasar lokal. Koperasi itu adalah Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Inkoppol), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (Puskopol), dan Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI-Polri.

Kemudian, Induk Koperasi Kartika (Inkopkar) juga ditunjuk untuk menstabilkan harga gula.

“Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tidak menunjuk Perusahaan BUMN untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan Inkopkar, Inkoppol, Puskopol, SKKP TNI-Polri,” kata jaksa.

Jaksa menyebutkan, masing-masing koperasi mengajukan izin impor gula kepada Tom Lembong dengan jumlah yang berbeda. Padahal, pada 28 Desember 2015, Rapat Bidang Perekonomian membahas suplai pangan yakni, beras, kedelai, gula, jagung, dan sapi.

Rapat menyepakati Perum Bulog berkoordinasi dengan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) selaku perusahaan distributor sembari menunggu penyelesaian Peraturan Pemerintah tentang Perum Bulog.

Pada 22 April 2016, Ketua Pengurus Inkoppol, Yudi Sushariyanto mengajukan surat Permohonan Distribusi Gula berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi produksi gula konsumsi dalam negeri yang hanya 2,25 juta ton.

Sementara, kebutuhan gula pasir dalam negeri dihitung mencapai 2,75 juta ton atau kurang 500.000 ton.

Pada 3 Meri 2016, Tom menyetujui permohonan Yadi untuk melakukan operasi pasar gula dan pengadaan 20.000 ton GKM sampai 31 Desember 2016.

Secara terpisah, Inkoppol juga menggelar rapat dengan perusahaan produsen gula rafinasi yang dihadiri Then Surianto Eka Prasetyo yang mewakili PT Makassar Tene dan PT Permata Dunia Sukses Utama dan lainnya.

“Membahas penugasan distribusi gula oleh Inkoppol,” kata jaksa.

Inkoppol kemudian menjalin kerja sama dengan 8 perusahaan gula rafinasi pada 11 Mei 2016 untuk membeli (impor) 200.000 ton GKM. Delapan perusahaan itu adalah PT Makassar Tene 12.000 ton, PT Sentra Usahatama Jaya 25.000 ton, PT Medan Sugar Industry 50.000 ton, PT Permata Dunia Sukses Utama 25.000 ton, PT Andalan Furnindo 30.000 ton, PT Dharmapala Usaha Sukses 17.500 ton, PT Berkah Manis Makmur 20.000 ton, dan PT Angels Products 20.000 ton.

Dari kegiatan impor ini, mereka membayar Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) sebesar Rp 193.003.248.712 kepada negara. Padahal, jika mereka mengimpor GKP sesuai ketentuan, negara seharusnya menerima PDRI 290.047.228.073,16.

“Mengakibatkan kekurangan atas pembayaran bea masuk dan PDRI, yaitu selisih bea masuk dan PDRI Gula Kristal Putih (GKP) dengan Gula Kristal Mentah (GKM) sebesar Rp 97.043.970.361,16,” ujar jaksa.

Dalam uraiannya, jaksa menyebut perhitungan kerugian negara Rp 578 miliar mengacu pada hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor PE.03/R/S51/D5/01/2025 tanggal 20 Januari 2025.

Jaksa menyebutkan, kerugian timbul akibat kebijakan Tom memberikan PI ke sejumlah perusahaan swasta.

“Mengakibatkan merugikan Keuangan Negara sebesar Rp 515.408.740.970,36 yang merupakan bagian dari kerugian keuangan negara sebesar Rp 578.105.411.622,47,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).

Rincian kerugian itu yakni selisih pembelian GKP oleh PT PPI dari para importir pabrik gula Rp 1.832.049.545.455,55 dikurangi jumlah pembelian seharusnya yang dibayar PT PPI jika membeli GKP berdasarkan harga patokan petani (HPP) Rp 1.637.331.363.636,36.

“Kerugian Keuangan Negara atas Kemahalan harga yang dibayarkan PT PPI dalam pengadaan GKP untuk penugasan sebesar Rp 194.718.181.818,19,” tutur jaksa.

Kerugian berikutnya timbul akibat selisih pembayaran bea masuk dan PDRI yang seharusnya dibayar importir jika mereka mengimpor GKP Rp 1.443.009.171.790,46. Namun, karena mengimpor GKM, bea dan PDRI yang disetor hanya Rp 1.059.621.941.986,18.

“Kerugian keuangan negara atas Kekurangan Pembayaran Bea Masuk dan PDRI sebesar Rp 383.387.229.804,28,” ujar jaksa.

𝗧𝗼𝗺 𝗟𝗲𝗺𝗯𝗼𝗻𝗴 𝗞𝗲𝗰𝗲𝘄𝗮


Ditemui usai persidangan, Tom Lembong mengaku kecewa atas dakwaan jaksa. Ia menilai materi terkait kerugian negara dalam kasusnya semakin kabur.

“Ya saya kecewa atas dakwaan yang disampaikan,” ujar Tom.

“Tidak ada lampiran audit BPKP yang menguraikan dasar perhitungan kerugian negara tersebut,” tambahnya.

Sementara itu, kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, dalam eksepsinya menyebutkan, BPKP tidak berwenang melakukan audit importasi gula 2015-2016. Sebab, materi itu telah menjadi obyek audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan kurun 2015-2017.

Dalam audit itu, BPK menyatakan negara tidak mengalami kerugian keuangan akibat importasi gula. Ari juga mempersoalkan dasar perhitungan harga oleh jaksa yang merujuk pada HPP dan menyebut PT PPI membeli GKP dari importir lebih mahal.

Padahal, dalam dakwaan secara jelas jaksa menyebut pembelian dilakukan dengan importir sekaligus produsen, bukan petani.

“Sehingga tidak tepat apabila perhitungan jaksa penuntut umum didasarkan pada Harga Patokan Petani,” ujar Ari.

Kepada Beegelora.com di Jakarta dilaporkan, dalam perkara ini, Tom didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru