Minggu, 19 Oktober 2025

Obituari Mus Danang “Plenthonk” Danar Dono, Perintis Catatan Sejarah Gerakan Mahasiswa 90-an

Oleh: Amrozi Yull *

Si Jenaka yang Menutupi Keningratannya Dengan Ketulusan

“Thong …. Plenthooong!?!” Itulah panggilan akrab Mus Danang Danardono, di Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada (UGM) di periode 90-an.

Kawan-kawan di Sastra, sekarang dikenal
sebagai Fakultas Ilmu Budaya UGM, selalu memanggil dengan nama kesayangannya
“plenthong”. Belakangan, begitu tinggal di Depok, Jawa Barat, karena membangun rumah
tangga bersama istrinya, Nurul, kawan-kawan menyebutnya “Bill Plenthonk”.

Antropologi Budaya, adalah pilihan yang dimasuki Plenthonk pada tahun 1988. Dari data digital
yang berserak, Plenthonk termasuk alumni Namche 88, alias SMA Negeri 6 Yogyakarta. SMA
yang ada di Terban dekat terminal angkot (sekarang sudah jadi SPBU). Sementara jejak SMP
dan SD-nya hingga tulisan ini dibuat belum ketemu.

Berdasarkan penuturan kerabat Plenthonk, masa kecilnya dijalani di sekitar Rumah Keluarga
Besar Buminatan di kelurahan Baciro kecamatan Gondokusuman yang letaknya berada di
antara Stasiun Lempuyangan di sebelah Utara-Barat, IAIN dan Mako Brimob di Utara-Timur,
SMA-Stella Duce 2 di Selatan-Barat dan Stadion Mandala Krida di Selatan Timur.

Pendek kata
dilihat dari peta digital yang dengan mudah bisa diakses di zaman ini, Kelurahan baciro tepat
berada di jantung kota Yogyakarta.

Akhir 80-an dan paruh awal 90-an geliat kampus UGM adalah diskusi-diskusi, pentas musik
semi akustik, demonstrasi-demonstrasi di Gelanggang dan Bunderan, unit-unit kegiatan
mahasiswa, numpang ruang dan tidur di Gedung Pusat, serta warung-warung angkringan yang
bukanya malam.

Plenthonk mungkin mengalami saat kelompok ngamen gitaran yang kemudian hari bernama
SastroMoeni masih dalam rintisan. Nama itu masih belum muncul. Anang Batas, pendiri
Sastromoeni, kakak angkatan Plenthonk yang satu tahun lebih dulu aktif di Kemant (Keluarga
Mahasiswa Antropologi) belum banyak dikenal orang.

Plenthong adalah mahasiswa yang
hampir selalu kelihatan pada acara-acara pentas musik, teater, dan berbagai acara
kemahasiswaan lainnya. Kalau bukan sebagai panitia Plenthonk juga aktif memainkan gitar
dengan lagu-lagu CCR, Beatles, Deep Purple, sampai Bob Marley.

Dosen-dosen seperti Laksono, Irwan Abdullah, dan Sjafrie Sairin mungkin hadir wajib di mata
kuliah Plenthonk. Tetapi di UGM, mahasiswa FIB mendapat kesempatan mendapat disiplin ilmu
lain seperti sejarah dari Kuntowijoyo dan Sartono Kartodirdjo, kemudian kuliah umum sastra dari Umar Khayam, hingga sosiologi dari Lukman Soetrisno yang mungkin sempat dia ikuti.

Pendek kata Fakultas Sastra UGM pada masa itu, adalah jaminan mutu ketajaman diskursus
sosial dan budaya dengan nama-nama intelektual yang sebagian sudah menjadi legenda.

Langsung atau tidak langsung sebagai mahasiswa yang belajar perkembangan masyarakat,
Plenthonk tentu membaca berita-berita aksi mahasiswa yang mulai ramai di penghujung 80-an
Yogyakarta. Beberapa yang terkenal seperti aksi solidaritas korban pembangunan waduk
Kedung Ombo, kemudian penggusuran cagar budaya Senisono, hingga aksi anti
Undang-undang Lalu Lintas di awal 90-an sudah merebak menunjukkan “bergeraknya”
pergerakan mahasiswa dari berbagai kota.

Salah satu yang paling berkesan dari aksi-aksi mahasiswa 90-an adalah beredarnya
selebaran-selebaran. Plenthonk melihat selebaran-selebaran yang digandakan dengan mesin
fotokopi Xerox KW (tentu bukan Xerox karena harus cari yang lebih murah) selalu beredar dari
tangan-tangan yang harus cepat berkelit menghindari intaian polisi atau intel-intel pemerintahan
Soeharto yang terkenal gelap dan berada di mana-mana.

Berita mencekam penahanan aktivis
dan mahasiswa gara-gara membaca novel sejarah karya Pram tentu sudah menjadi pengetahuan umum mahasiswa.

Plenthonk mungkin tidak terlalu kenal nama-nama seperti Bonar Tigor Naipospos, Bambang
Subono, atau Bambang Isti Nugroho. Dia juga sepertinya belum kenal aktivis-aktivis Yogyakarta
seperti Saiful, Yamin, atau Hendra dari Serikat Mahasiswa UII, Ngarto, Satya, John Tobing atau Weby dari Komite Pembelaan Mahasiswa UGM, Brotoseno, Sastro, atau Heru Telo dari Forum
Komunikasi Mahasiswa Yogya, atau Thoriq, Afnan, dan Rahzen dari Gelanggang. Walau begitu
sepertinya Plenthonk juga sedikit paham, ada perdebatan sengit dalam perbincangan tentang
Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi. (koreksi penulis …. Plenthonk ternyata sudah kenal Thoriq
sejak lama)

Beberapa pimpinan senat mahasiswa berdebat tentang ancaman kembalinya gaya Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK/BKK) zaman baheula ala Daoed Yoesoef yang ingin disisipkan lewat
SMPT. Sepertinya Plenthonk sudah agak kenal dengan Ketua Senat Filsafat, Ketua Senat
Fakultas Ekonomi, Ketua Senat MIPA, dan Ketua Senat Fisipol yang sering berdebat keras
tetapi masih disayang rektor. Mendiang Koesnadi Hardjasoemantri pada periode itu dikenal
cukup maju dalam merawat mahasiswa-mahasiswa kritis. Bahkan, dia juga sangat dikenal
anak-anak mahasiswa gitaran yang nantinya akan bernama SastroMoeni itu. Mereka sering
menghadap ke pak Koes untuk perbaikan gizi dan minta “sangu”.

Mungkin yang Plenthonk belum tahu saat itu adalah aksi mogok makan Ngarto dan Satya di
Gedung Pusat di bawah bendera KPM pada tahun 90. Keberanian untuk tidak makan beberapa
hari tentu harus dicatat sebagai aksi yang luar biasa, mengingat kondisi mencekam dan
represif masih sangat lumrah pada waktu itu.

Sebagai anak-anak mahasiswa gitaran tentu
Plenthonk juga tahu bahwa tahun 1989 sudah mulai diadakan Tour kelompok SWAMI di berbagai kota yang selalu terdengar dengan kabar pengawasan dan pencekalan. Pada saat itu lah mulai mewabah virus pesan-pesan kritik terhadap pemerintahan pak Harto yang perlu untuk
segera daripada dibongkar.

Tetapi di Fakultas Sastra pada awal 90-an tidak selalu ide-ide progresif bisa mendapat tempat
dalam unit kegiatan mahasiswa. Walaupun materi-materi progresif sudah diajarkan dalam mata kuliah pengantar sastra dan kebudayaan, historiografi Indonesia, kapita selekta sejarah
Indonesia, pengantar teori evolusi, hingga mazhab-mazhab pemikiran antropologi tetapi
pengontrol kegiatan mahasiswa tetapi para birokrat yang sudah terlalu biasa bersikap dan
berlaku menyenangkan penguasa. Hal itu lah yang membuat pemikiran kritis dan maju
walaupun diajarkan di perkuliahan tidak selalu bisa menjadi diskursus yang meluas.

Persoalan-persoalan sektarian, penerapan ajaran kitab suci agama yang beku, sampai dengan
rumor trauma politik di masa 30 tahun sebelumnya masih begitu kuat menancap dalam
keseharian mahasiswa.

Pada saat itu lah pasang dan surut pergerakan mahasiswa 90-an memasuki masa-masa
stagnasi. Maju tidak mundur tidak. Perpecahan di tubuh organisasi pergerakan mahasiswa
tingkat lokal, sulitnya membangun konsolidasi nasional, kuatnya opini-opini yang menutup
kesadaran mahasiswa berpolitik, sampai dengan wajib penataran Pancasila dan Kewiraan,
adalah halangan-halangan kultural yang menempel di punggung kampus Orde Baru.

Apakah Plenthonk tahu hal itu? Pada awal 90-an mungkin belum. Tetapi setelah memilih tema
dengan judul “Demonstrasi di Kalangan Mahasiswa” pada tahun 1994 ternyata Plenthonk bukan
lah seperti umumnya mahasiswa gitaran yang tidak peduli pada pentingnya pergerakan.

Salah satu yang membimbing Plenthonk, yakni Aris Arif Mundayat adalah dosen sekaligus intelektual aktif yang turut berpartisipasi dalam pembentukan Persatuan Rakyat Demokratik di tahun 1994.

Tidak hanya soal demonstrasi mahasiswa di Yogyakarta dan sekitarnya, pada tahun 1995
ternyata Plenthonk aktif mencari data di lapangan soal rencana pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir di Jawa Tengah.

Dalam kerja-kerja di lapangan tentu Plenthonk bukanlah orang yang tidak kenal dengan salah satu aktivis SMID di Antropologi UGM yang bernama
Yoniko Warouw.

Plenthonk a.k.a. Mus Danang Danardono dalam berbagai catatan kaki yang masih terekam di mesin pencari internet ternyata bukan hanya simpatisan pergerakan. Apa yang dia lakukan adalah kerja aktif mencari data dan berkolaborasi menulis mengabadikan bagian dari
pergerakan mahasiswa dan rakyat sebelum titik kulminasi di 1998.

Kota-kota di Jawa seperti
Solo, Salatiga, Semarang, Jepara, Madiun, Surabaya, Malang, Bandung, dan tentu saja Jakarta aktif dia singgahi sebagai peneliti sosial dengan disiplin antropologi perkotaan dan
alumni Kagama.

Nama-nama lokus klasik seperti PIJAR di Jakarta, Yayasan Geni di Semarang,
IMS Solo, berbagai LBH di pulau Jawa bukan tempat yang asing bagi Plenthong.

Tetapi, Plenthonk adalah “plenthong” yang berarti lampu dalam bahasa Jawa. Tidak berpretensi
tetapi menerangi. Seperti salah seorang kawannya angkatan 92 bernama Margono bilang,
seniorku ini walau pertama bertemu kami berselisih karena persoalan “adat” inisiasi jurusan,
tetapi ternyata setelah waktu berjalan dia orang yang sangat tulus membantu penelitian atau apapun. Tulus tanpa pretensi. Kawan lainnya juga antropologi 92, Cuk Riomandha mengenang
Plenthonk sebagai kakak yang jenaka lengkap dengan foto priyayi jawa mengenakan blangkon
tetapi dengan kacamata bergagang merah muda dengan kerangka hijau muda. Lucu, nggak
“matching” blas kayak pelem podhang.

Tetapi yang paling sedih mungkin Gati Andoko,
walaupun lebih senior tetapi mereka adalah teman berkolaborasi kesenian.

Wayang Antro,
Ketoprak Lesung, dan tentu saja SastroMoeni di awal-awal adalah bentuk-bentuk yang sudah
menjadi ikon Sastra UGM. Tidak seperti Plenthonk yang senyap, Gati Andoko, kakak dari Gita
Yudianingsih mahasiswa MIPA yang aktif di Partai Rakyat Demokratik, pada periode 1997-1998
sangat aktif di aksi-aksi mahasiswa KPRP dan berbagai komite lainnya.

Satu butir peluru juga
bersarang di tubuh Gati saat dia membakar patung kertas bertuliskan Suharto di Gedung Pusat.

Ucok Rahung, Haris Moti, Putut EA, Fendry Ponomban, Akuat Supriyanto, Irma, Imah, Bayu, Jemek, Yerry, Gun, dan Kiswondo adalah beberapa yang menjadi saksi orang baik seperti
Plenthonk teman mas Gati yang jenaka, ceria, dan tulus.

Raden Mas Mus Danang Danardono, anak Raden Mas Moestiko Djati, keluarga Buminatan
Baciro saat di hadapan teman-temannya sama sekali tidak pernah menunjukkan kalau dia
masih kerabat dekat Kesultanan Ngayogyakarta. Tidak hanya dekat. Berdasarkan penuturan
keluarga Mas Mus Danang Danardono ini cicit atau canggah dari Hamengkubuwono V. (Koreksi
kalau saya salah) Tentu saja dari “garwo ampil” atau selir yang jumlahnya memang banyak dari
raja-raja Mataram Islam.

Tetapi tidak ada yang menyangka sampai Plenthong meninggalkan
kawan-kawannya karena metastase kanker paru-paru ternyata telah merontokkan tulang-tulang
punggungnya, Plenthong sebenarnya adalah bagian dari Para Yayi atau adik-adik penguasa
Jawa yang tentu memiliki banyak keistimewaan (privilege). Plenthong tidak pernah menggunakan “keistimewaan” itu. Hidupnya tetap “sak madya”, mungkin dia terinspirasi spirit
Mbah Suryo Mentaram yang juga bertalian dekat dengan Buminatan.

Bersama tujuh anak, tiga dari Plenthong dan Nurul, dan empat titipan kerabat, Plenthong meninggalkan satu rumah sederhana yang begitu bersahaja di Depok Indah 2.

Rumah model perumnas, terlihat apa adanya berantakan dengan beberapa sepeda listrik, sepatu sandal di serambi penuh di rak plastik yang tidak mencukupi, mebel kayu sengon dengan jok imitasi yang penuh bekas cakar kucing, adalah tampilan Plenthong apa adanya, sederhana tulus, penuh kasih.

Pernah dalam satu acara Plenthong selaku kerabat dekat Ngarso Dalem mempunyai kelebihan hasil donasi dari berbagai kerabat dalam penyelenggaraan acara trah. Tetapi Plenthonk tidak mau
mengambil yang bukan dari keringatnya sendiri.

Plenthonk bilang ,”Ora usah, kekke wae
kanggo sing perlu,” (tidak usah, berikan saja bagi yang memerlukan).

*Penulis Amrozi Yull, Alumni Sastra UGM, kader PRD

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru