JAKARTA – Gelombang dedolarisasi sedang melanda dunia. Lebih dari 70 negara kini secara aktif mengurangi penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) dalam perdagangan internasional. Fenomena tersebut menandai perubahan besar dalam lanskap keuangan global, sekaligus menjadi tantangan serius terhadap dominasi moneter AS sejak Perang Dunia II. Tren ini terlihat jelas di kawasan ASEAN, di mana sejumlah negara mulai menerapkan penyelesaian transaksi dengan mata uang lokal.
Selain itu, mereka juga mengembangkan sistem pembayaran alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Di Eropa, sentimen serupa muncul ketika para pejabat bank sentral mempertanyakan ketergantungan mereka pada Federal Reserve (The Fed).
Sementara itu, blok BRICS semakin agresif mendorong penggunaan mata uang non-AS dalam perdagangan bilateral.
Negara-negara ekonomi terbesar Asia termasuk Indonesia sepakat mengadopsi mekanisme pembiayaan cepat berbasis mata uang regional, terutama yuan China, menggantikan dolar AS. Keputusan ini diambil dalam pertemuan menteri keuangan ASEAN+3 di Milan, Italia.
“Ini langkah besar dalam mengurangi ketergantungan pada dolar,” ujar Kepala Ekonom Greater China di Standard Chartered Bank, Ding Shuang, dilansir dari Watcher Guru, Senin (26/5).
Kelompok Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) termasuk Rusia dan Kazakhstan, mencatatkan 85% transaksi lintas batas menggunakan mata uang lokal. Pencapaian ini menunjukkan keberhasilan koordinasi kebijakan moneter regional.
Iran dan Rusia juga resmi menghapus dolar dalam perdagangan bilateral, beralih ke rubel dan rial.
“Kami tidak lagi menggunakan dolar. Semua transaksi pakai mata uang kami,” tegas Mohammad Reza Farzin, Gubernur Bank Sentral Iran.
China juga semakin masif mempromosikan yuan, yang kini mendominasi 47% transaksi perdagangan global. Brasil bahkan telah membuka bank kliring yuan untuk memfasilitasi perdagangan dengan China.
Dampak pada Pasar Keuangan Global Analis memperingatkan, gelombang dedolarisasi berpotensi melemahkan perekonomian AS.
“Ada risiko pergeseran besar aliran modal global,” tulis laporan Deutsche Bank. Penurunan peringkat utang AS oleh Moody’s turut memperburuk sentimen pasar.
“Dolar masih akan melemah lebih jauh,” prediksi Jan Hatzius, Ekonom Goldman Sachs.
Jika tren ini terus berlanjut, dominasi dolar AS sebagai mata uang global mungkin akan menghadapi tantangan terberat sejak Perang Dunia II.
Negara-negara kini semakin berani mencari alternatif, menandai babak baru dalam sistem keuangan dunia. (Web Warouw)