JAKARTA – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan dasar tanpa pungutan biaya merupakan amanat konstitusional yang tidak boleh dipandang sebagai beban atau sesuatu yang rumit. Hal ini disampaikan Arief dalam Seminar Nasional bertajuk “Mewujudkan Amanat Konstitusi, Pendidikan Dasar Gratis untuk Meningkatkan SDM Unggul Berdaya Saing” yang diselenggarakan DPP PDI-P di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Senin (30/6/2025).
“Penyelenggaraan pendidikan dasar, tanpa pungutan, jangan dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan, sesuatu yang membebani negara, sesuatu yang jelimet, melainkan sebagai amanat konstitusional yang harus dipegang teguh,” kata Arief, Senin.
Arief menyebutkan, tanggung jawab negara dalam menjamin pendidikan dasar gratis bukan sekadar soal teknis anggaran, tetapi mencerminkan komitmen terhadap prinsip negara hukum, demokrasi, kesetaraan, dan keadilan sosial.
“Ini bukan semata-mata soal otak-atik anggaran, tetapi soal komitmen terhadap bangsa ini, terhadap konstitusi, terhadap prinsip kesetaraan,” ujar dia.
Arief menjelaskan, MK memahami bahwa pelaksanaan pendidikan dasar gratis bagi seluruh peserta didik, termasuk yang bersekolah di madrasah atau sekolah swasta, harus dilakukan secara bertahap dan selektif, dengan tetap memperhatikan kemampuan fiskal negara.
Namun, ia menegaskan, pendekatan bertahap ini tidak boleh menciptakan perlakuan yang diskriminatif.
“Pemenuhan hak atas pendidikan dasar dapat dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan negara. Tapi harus dilakukan secara selektif dan afirmatif, tanpa memunculkan diskriminasi,” kata Arief.
Lebih lanjut, Arief menyebutkan bahwa konsekuensi hukum dari pendidikan dasar tanpa biaya adalah perlunya perubahan paradigma dalam pengelolaan anggaran pendidikan. Ia mendorong pemerintah dan DPR agar memprioritaskan anggaran pendidikan dasar dalam APBN dan APBD.
“Fokus anggaran untuk pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta. Oleh karena itu, dalam penggunaan anggaran, baik APBN dan APBD, untuk alokasi pendidikan, harusnya memprioritaskan anggaran pendidikan dasar,” ungkap Arief.
Eks ketua MK ini juga menyoroti pemaknaan frasa “dibiayai oleh negara” dalam UUD 1945. Menurut Arief, frasa itu semestinya berujung pada penyelenggaraan pendidikan dasar yang tidak memungut biaya, agar semua anak dapat mengakses hak pendidikannya secara adil.
“Mahkamah Konstitusi sangat memahami bahwa prinsip pendidikan dasar tanpa memungut biaya di sekolah negeri bertujuan untuk mengutamakan pengelolaan pendidikan negara, dan tidak berarti bahwa seluruh pendidikan dasar harus sepenuhnya gratis di semua sekolah. Dalam hal ini, sekolah atau madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat atau oleh swasta,” kata dia.
Kepasa Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, adapun MK telah memerintahkan negara untuk menanggung biaya pendidikan dasar untuk semua anak Indonesia.
Dalam putusannya, MK tidak hanya meminta negara untuk membiayai pendidikan dasar di sekolah negeri, tetapi juga sekolah swasta.
Merespons putusan MK, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Atip Latipulhayat menegaskan, sekolah swasta tetap bisa menarik dana pendidikan dari orangtua siswa.
Sebab, menurut Atip, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah norma frasa Pasal 34 Ayat 2 tidak serta-merta membatalkan Pasal 55 Ayat 3 pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tersebut. “Kami memahami bahwa frasa tanpa memungut biaya tersebut tidak dapat dimaknai sebagai tanpa pungutan sama sekali,” kata Atip dikutip dari Antara, Kamis (26/6/2025).
“Putusan Mahkamah Konstitusi tidak lantas membatalkan Pasal 55 ayat 3 Undang-Undang Sisdiknas yang menyatakan dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat,” lanjut dia. (Enrico N. Abdielli)