Sabtu, 1 November 2025

GASPOL MEN..! Wamenkomdigi Akui Indonesia Tertinggal Soal 5G, Malaysia Sudah 80 Persen

JAKARTA- Pemerintah menargetkan jangkauan koneksi 5G di Indonesia mencapai 32 persen pada tahun 2030. Target ini dicanangkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) sebagai bagian dari percepatan transformasi digital nasional.

“Pemerintah mencanangkan 32 persen setidaknya jaringan 5G bisa tersambung hingga tahun 2030,” kata Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria dalam acara Empowering Indonesia Report 2025  dikutip Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (1/11).

Menurut Nezar, saat ini ketersediaan koneksi 5G di Indonesia masih di bawah 10 persen, jauh tertinggal dibanding negara tetangga seperti Malaysia yang telah menjangkau sekitar 80 persen wilayah.

Ia menilai perlu adanya kolaborasi lintas pemangku kepentingan di industri telekomunikasi untuk memperluas cakupan layanan 5G. “Kolaborasi antara pemerintah, operator, dan pelaku industri menjadi kunci agar adopsi 5G bisa dipercepat,” ujarnya.

Sementara itu, konektivitas jaringan 4G telah menunjukkan kemajuan signifikan dengan cakupan mencapai 97 persen wilayah permukiman di Indonesia. Namun, tantangan berikutnya adalah peningkatan kecepatan internet nasional, yang saat ini masih rata-rata di kisaran 36,7 Mbps, jauh di bawah standar 100 Mbps yang dicapai negara-negara ASEAN lainnya.

“Kecepatan internet masih harus ditingkatkan. Tapi saya kira dalam lima tahun ke depan, kita akan bisa bersanding dengan negara-negara tetangga yang sudah mencapai 100 Mbps,” kata Nezar optimistis.

Fokus pada Tiga Aspek Strategis

Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Kemkomdigi Wayan Toni Supriyanto menjelaskan, pemerintah fokus pada tiga aspek utama untuk memperluas cakupan konektivitas 5G di tanah air, yaitu spektrum frekuensi radio, infrastruktur, dan regulasi.

“Dari aspek spektrum frekuensi, akan dilelang empat pita frekuensi—satu pita untuk fixed broadband berbasis 5G, dan tiga pita lainnya untuk mobile broadband berbasis 5G,” kata Wayan.

Menurutnya, langkah tersebut diharapkan mendorong investasi industri telekomunikasi serta mempercepat pemerataan akses digital di seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Dengan strategi tersebut, pemerintah optimistis konektivitas 5G dapat menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi digital yang lebih kuat dan merata.

Biang Kerok 5G Indonesia Tertinggal

Laporan terbaru OpenSignal menyoroti masih minimnya pemanfaatan spektrum 5G di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Melalui laporan bertajuk “Building ASEAN Digital Infrastructure: The Role of Spectrum”, lembaga analisis jaringan global itu menyebut pemanfaatan pita frekuensi untuk 5G di wilayah ini masih jauh dari optimal.

OpenSignal mencatat, pita upper mid-band (sekitar 3,5 GHz) menjadi tulang punggung utama konektivitas di Asia Tenggara, dengan menyumbang sekitar 66% dari total pengukuran spektrum aktif. Namun, sebagian besar negara, termasuk Indonesia, belum sepenuhnya mengalokasikan atau memanfaatkan pita tersebut untuk jaringan seluler generasi kelima (5G).

“Spektrum mid-band, seperti 3,5 GHz, sangat krusial untuk kecepatan tinggi dan kapasitas jaringan. Namun, penggunaannya di ASEAN masih tidak merata,” tulis OpenSignal dalam laporannya yang dirilis belum lama ini.

Dalam konteks Indonesia, OpenSignal menilai alokasi spektrum 5G belum optimal. Pita 3,5 GHz yang menjadi “sweet spot” untuk 5G secara global masih terbatas penggunaannya. Akibatnya, sebagian besar jaringan di Indonesia masih bergantung pada 4G.

OpenSignal memuji operator seluler telah memberikan kemajuan dengan mematikan jaringan seluler lama. Akan tetapi, regulator yakni Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), belum melelang pita 700 MHz dan 2,6 GHz, yang masih kosong dan akan menyediakan cakupan serta spektrum kapasitas yang dibutuhkan industri.

“Yang lebih menantang lagi adalah pita 3,5 GHz, yang secara global diakui sebagai “titik optimal” untuk 5G, masih terikat dengan layanan satelit,” tulisnya.

Kondisi ini membuat kualitas dan konsistensi jaringan broadband nasional belum optimal, terutama di luar wilayah perkotaan. OpenSignal juga menilai ketimpangan adopsi spektrum di antara negara ASEAN menyebabkan kesenjangan kualitas layanan digital di kawasan.

Spektrum, Kunci Inklusi Digital

Menurut OpenSignal, penyediaan spektrum yang memadai akan menentukan seberapa cepat negara-negara ASEAN bisa memperluas cakupan dan meningkatkan kualitas layanan broadband.

Pita frekuensi rendah cocok untuk memperluas jangkauan ke wilayah pedesaan, sementara pita tinggi seperti 26 GHz (mmWave) mendukung kapasitas dan kecepatan ultra-cepat.

“Tanpa ketersediaan spektrum yang cukup dan efisien, pembangunan infrastruktur digital akan terhambat,” tulis laporan tersebut.

Laporan itu menegaskan pentingnya langkah proaktif dari pemerintah dan regulator di kawasan untuk mempercepat pelepasan spektrum baru, mengharmonisasi pita frekuensi, serta menciptakan kebijakan yang mendukung investasi infrastruktur digital.

Bagi Indonesia, hal ini mengindikasikan dengan mempercepat lelang 700 MHz, 2,6 GHz, dan 3,5 GHz agar jaringan 5G dapat berkembang lebih luas dan merata. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru