Selasa, 2 Desember 2025

TAPI NILAINYA LEBIH BESAR DI PUSAT KAAN..? KPK: 51 Persen Kasus Korupsi Berasal dari Daerah

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa praktik suap di lingkungan pemerintah daerah masih mendominasi kasus korupsi di Indonesia.

Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengatakan, data KPK menunjukkan bahwa 51 persen kasus korupsi yang ditangani terkait pejabat daerah, baik eksekutif maupun legislatif.

Karenanya, KPK mendorong pimpinan daerah untuk memperkuat integritas dan tata kelola pemerintahan yang bersih.

“51 persen perkara korupsi yang ditangani berasal dari lingkungan pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif,” kata Fitroh di hadapan 25 walikota/bupati peserta kursus Pemantapan Pimpinan Daerah (KPPD) Gelombang II Tahun 2025 di Gedung Trigatra, Lemhannas, Jakarta, melalui keterangan tertulis, dikutip dikutip Bergelora.com di Jakarta, Jumat (7/11/2025).

Fitroh memaparkan, dari 1.666 perkara yang telah ditangani KPK, sebanyak 854 melibatkan pejabat daerah. Menurut dia, fenomena ini berkaitan dengan tingginya biaya politik dalam pemilihan kepala daerah, yang kemudian mendorong praktik transaksional.

“Para kandidat sering terjebak dalam lingkaran pemodal, yang kemudian menuntut imbal balik berupa proyek. Inilah akar dari banyak kasus korupsi di daerah,” ujarnya.

Fitroh menegaskan bahwa korupsi selalu berawal dari niat jahat, meskipun sering dibungkus dalih kebutuhan politik atau budaya permisif.

Menurutnya, pencegahan korupsi harus dimulai dari kesadaran diri dan komitmen moral untuk membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan berintegritas. Dia menekankan pentingnya pengawasan internal, transparansi anggaran, serta pemanfaatan teknologi digital seperti e-procurement, e-planning, dan e-audit.

Selain integritas, Fitroh menilai pemimpin harus memiliki kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.

“Puncak kualitas seorang pemimpin adalah kebijaksanaan,” ucap dia.

Trend Korupsi 2024

Sebelumnya, dalam Laporan Hasil Pemantauan Tren Korupsi Tahun 2024 yang  diterbitkan Indonesia Corruption Watch (ICW) disebutkan bahwa sepanjang tahun 2024, ICW menemukan 364 perkara tindak pidana korupsi dengan jumlah tersangka mencapai 888 orang. Estimasi kerugian keuangan negara mencapai Rp279,9 triliun,
angka yang secara signifikan dipengaruhi oleh perkara korupsi Tata Niaga Komoditas Timah
di lingkungan PT Timah Tbk, dengan kontribusi 96,8 persen dari total kerugian tersebut.

Ironisnya, di tengah eskalasi nilai kerugian negara yang demikian fantastis, penerapan pasal
Pencucian Uang dan Pasal 18 UU Tipikor tidak dijadikan instrumen utama dalam memulihkan aset hasil tindak pidana korupsi.

Selain itu, jumlah perkara dan tersangka yang ditindak aparat penegak hukum justru menurun
dan tercatat sebagai yang terendah dalam kurun lima tahun terakhir. Penurun kinerja Aparat Penegak Hukum (APH) salah satunya disebabkan oleh banyaknya satuan kerja Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Cabang Kejaksaan Negeri, Kepolisian Daerah, dan Kepolisian
Resor yang sama sekali tidak menangani perkara korupsi.

Kondisi ini diperburuk oleh
minimnya transparansi APH dalam membuka data penanganan perkara kepada publik.

Ketiadaan akses informasi yang memadai menyebabkan masyarakat tidak memiliki basis yang cukup untuk mengevaluasi kinerja penindakan, sehingga akuntabilitas kelembagaan semakin lemah.

Apabila ditinjau lebih jauh, distribusi perkara korupsi pada tahun 2024 memperlihatkan kerentanan yang tinggi pada sektor yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar
masyarakat.

Kasus di sektor desa menempati urutan tertinggi dengan 77 kasus dan 108 tersangka, diikuti sektor utilitas 57 kasus 198 tersangka, kesehatan 39 kasus 104 tersangka,
pendidikan 25 kasus 64 tersangka.

Dari sisi aktor, pelaku dominan berasal dari pegawai pemerintah daerah sejumlah 261 tersangka, pihak swasta 256 tersangka, serta kepala desa 73 tersangka, dengan catatan bahwa keterlibatan swasta menyumbang kerugian negara paling besar. Fakta ini menyingkap rapuhnya desain pencegahan korupsi dan mekanisme
pengawasan di sektor privat.

Korupsi di Pemerintah Pusat

Sementara itu, nilai kerugian korupsi di kementerian sulit ditentukan secara pasti karena bervariasi setiap tahunnya dan melibatkan berbagai kasus, seperti penyalahgunaan anggaran dan proyek fiktif.

Meskipun demikian, data dari berbagai lembaga menunjukkan kerugian negara di pusat saja sudah mencapai triliunan rupiah, seperti kasus korupsi di PT Pertamina yang diperkirakan mencapai Rp 968,5 triliun dan kasus korupsi PT Timah yang merugikan negara sekitar Rp 300 triliun.

Memang Terjadi perlombaan korupsi di semua. Sektor dari tingkat pusat sampai daerah. (Web Warouw)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru