Selasa, 2 Desember 2025

GIMANA NIH PLN..? Sido Muncul Kritik Aturan Baru ESDM, PLTS Atap Tak Lagi Kurangi Tagihan Listrik Industri

SEMARANG – PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul mengkritisi sejumlah ketentuan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap on-grid yang dinilai belum sepenuhnya berpihak kepada pelaku industri.

Manager Energi dan Produksi PT Sido Muncul, Iwan Setyo, mengapresiasi penghapusan pembatasan persentase pemanfaatan PLTS atap yang sebelumnya dibatasi maksimal 15 persen pemanfaatan listrik energi baru terbarukan (EBT).

“Sejak tahun kemarin PLTS atap itu sistem pemanfaatannya setiap tahun diatur kuotanya di setiap daerah. Dan kuotanya itu dari PLN. Jadi tetap saja yang menentukan PLN. Kesempatan itu kami gunakan untuk menambah pemanfaatan PLTS atap di fase 2,” ujar Iwan usai dialog mengenai perkembangan EBT Jateng di Somerset, Kota Semarang, Rabu (26/11/2025).

Ekspor Listrik Dihapus, Insentif Industri Berkurang

Namun di sisi lain, Iwan menilai kebijakan baru justru berpotensi mengurangi insentif industri untuk berinvestasi pada energi terbarukan.

Salah satu ketentuan yang disorot adalah penghapusan mekanisme ekspor–impor listrik antara PLTS atap dan jaringan PT PLN (Persero). Dengan penghapusan tersebut, kelebihan listrik yang dihasilkan PLTS atap di pabrik Sido Muncul tidak lagi dapat diekspor untuk mengurangi tagihan listrik perusahaan.

“Permen itu sebenarnya juga merugikan untuk industri. PLTS kami beroperasi tujuh hari dalam seminggu, sementara kegiatan industri libur di akhir pekan. Sebelumnya, kelebihan listrik itu bisa diekspor ke PLN dan mengurangi tagihan. Sekarang tidak bisa lagi,” beber Iwan.

Menurutnya, hal ini membuat pemanfaatan PLTS atap menjadi kurang optimal, terutama bagi industri dengan pola operasional tertentu.

NEK Jadi Milik Pemerintah, Insentif Tambahan Hilang Iwan juga menyoroti ketentuan bahwa Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dari PLTS atap kini menjadi milik pemerintah. Padahal sebelumnya, NEK menjadi insentif tambahan bagi industri yang berinvestasi pada energi bersih.

“NEK itu nilainya menarik untuk jadi insentif. Per ton CO2 sekitar Rp 50 ribu. Dari PLTS atap bisa mencapai sekitar 1.000 ton CO2 ekuivalen per tahun. Kalau ini bisa diklaim industri, tentu akan menjadi benefit bagi kami,” ungkapnya.

Ia menduga ketentuan tersebut merupakan kompromi antara pemerintah dan PLN, di mana pembatasan persentase kapasitas PLTS atap dilepas, namun PLN tidak lagi diwajibkan membayar kelebihan listrik pelanggan industri.

Tetap Tambah Kapasitas, Menunggu Persetujuan PLN

Meski mengkritisi sejumlah poin dalam regulasi, Sido Muncul tetap berencana menambah kapasitas PLTS atap di fasilitas produksinya sekitar 1 megawatt (MW), menyesuaikan kebutuhan listrik perusahaan.

Pengajuan penambahan kapasitas tersebut saat ini masih menunggu persetujuan PLN mengikuti skema kuota wilayah.

Sebagai salah satu pelaku industri yang konsisten dalam transisi energi bersih dan kerap meraih penghargaan, Iwan berharap regulasi pengembangan PLTS atap ke depan dapat lebih berpihak pada industri.

“Harapan kami, regulasi ini bisa membuat industri makin semangat mengembangkan energi bersih, bukan sebaliknya,” ujarnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru