JAKARTA- Sebenarnya dokumen Tim Pencarian Fakta (TPF) Pembunuhan aktifis Munir bisa didapatkan dengan mudah oleh Sekretariat Negara atau Kepresidenan. Karena dokumen itu ada dimiliki oleh banyak pegiat Hak Azasi Manusia (HAM) di ibukota. Kalau Presiden Joko Widodo serius akan menindak lanjuti kasus pembunuhan Munir, maka dokumen Munir itu mudah didapat. Demikian mantan anggota Kontras, Aan Rusdianto kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (18/10).
“Gak usah ribut. Masalahnya apakah pemerintah punya niat untuk menindak lanjuti atau tidak. Itu yang paling penting. Jangan sampai masalah kecerobohan SBY, menutupi persoalan pokok yaitu tanggung jawab negara,” ujar mantan salah satu pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang pernah diculik Tim Mawar Kopassus pada tahun 1997 itu.
Sebagai pemegang kekuasaan Presiden Joko Widodo menurutnya sangat mudah untuk bisa mendapatkan dokumen tersebut. Aan Rusdianto mengingatkan bahwa beberapa orang dekat Presiden Joko Widodo terlibat dekat dengan perjuangan HAM di Indonesia.
“Menteri Luar Negeri, Retno Lestari Priansari Marsudi sendiri adalah anggota TPF. Kepala Kantor Staff Presiden, Teten Masduki sendiri dekat dengan kawan-kawan LSM. Kalau mereka gak mau kasih Presiden, gua juga punya dokumen itu, kalau presiden butuh, pasti gua kasih. Kan semua ini untuk pemenuhan perintah Nawacita yang salah satunya Jokowi janji penuntasan kasus HAM masa lalu,” ujarnya.
Menurut Aan Rusdianto, wajar Presiden SBY enggan untuk menindak lanjuti rekomendasi TPF Munir dan menyembunyikan dokumen TPF Munir tersebut, karena isinya sangat sensitif dan membongkar keterlibatan negara atas kematian Munir.
“Gak usah dibahas kenapa dia (SBY-red) enggan. Beliaukan gerah juga menghadapi senior-seniornya yang terlibat. Dokumen itu sangat detil dan dalam sampai tingkatan operasi. Kalau sekarang Jokowi kan gak takut!” ujarnya.
Tanggung Jawab SBY
Sebelumnya, Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan bahwa terkait dokumen TPF Munir yang hilang dari arsip Sekretariat Negara, pihak yang paling bertanggung jawab adalah Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Karena TPF dibentuk dan bekerja untuk SBY pada 2005. Hal ini ditegaskan Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (17/10).
“Selama 10 tahun memimpin pula SBY memiliki kewajiban hukum dan moral untuk menindaklanjuti rekomendasi laporan akhir TPF, tetapi tidak melakukan apapun dan bahkan tidak merawat laporan tersebut,” ujarnya.
Menurutnya, SBY tidak bisa diam membisu atas putusan KIP yang memerintahkan Kemensesneg membuka dokumen TPF. Sekalipun perintah KIP itu ditujukan pada Sekretariat Negara sebagai institusi, SBY secara moral tetap memiliki kewajiban untuk menjelaskan keberadan dokumen itu kepada publik.
“Setidaknya, karena selama 10 tahun SBY telah gagal menuntaskan kasus yang disebutnya sendiri sebagai the test of our history,” katanya.
SBY menurut Bonar Tigor, harus memastikan rezim baru di bawah kepemimpinan Jokowi memiliki akses atas laporan kerja TPF sehingga Jokowi bisa menuntaskannya.
“Sebagaimana mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra sampaikan, bahwa SBY sama sekali tidak memberikan mandat apapun kepada Yusril atas laporan akhir TPF, dengan demikian, hanya pada SBY kita bisa memperoleh penjelasan dimana dokumen tersebut berada,” ujarnya. (Web Warouw)