JAKARTA – Perdebatan pola pengelolaan Blok Masela (di darat atau di laut) sudah kontraproduktif dan buang-buang waktu. Padahal kalau Presiden Joko Widodo berpedoman kepada sumpahnya (memegang teguh konstitusi UUD 1945), tidak perlu melakukan pemborosan dengan membayar mahal konsultan (asing) “independen” serta Faisal Basri dan kawan-kawan sebagai partner lokalnya.
Hal ini disampaikan anggota senior Indonesian Resources Studies (Iress) Adhie M Massardi kepada Bergelora.com di Jakarta (25/1) menanggapi desakan Faisal Basri dan kawan-kawan agar dalam hal Blok Masela Jokowi mengikuti kemauan investor asing yang menghendaki pola FLNG (di laut).
“Mungkin sulit ya memahami Ekonomi Konstitusi, terutama dalam perspektif pengelolaan ESDM kita. Jangankan Jokowi, intelektual/akademisi kita saja banyak yang tidak paham. Mengingat mazab fundamentalisme pasar yang dikembangkan Widjojo Nitisastro Cs sudah berjalan puluhan tahun. Dan kini diteruskan oleh generasi ketiga Faisal Basri dan kawan kawan,” tutur Adhie,
Makanya, untuk memudahkan pemahamannya, kordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB.) ini menganalogikan fundamentalisme pasar (neolib) dengan praktek prostitusi yang lebih banyak dipahami orang.
“Kalau seseorang mengeluarkan uangnya untuk membiayai gadis (kembang) desa ke salon, membelikan busana trendi dan bahkan operasi plastik, lalu membekalinya gadget dengan teknologi terbaru, tapi kemudian gadis itu dijual di bursa seks, maka modal yang dikeluarkan orang itu tidak layak disebut investasi,” ujarnya
“Begitulah ‘ekonomi prostitusi’. Selain melanggar undang-undang, prostitusi hanya menguntungkan muncikari (pemilik modal) dan para penjaga keamanannya (pejabat negara) belaka. Sedangkan yang bersangkutan (gadis desa) hanya dieksploitasi, dan menimbulkan kerusakan (moral) lingkungan,” tegasnya lagi
“Dalam perspestif ESDM, gadis desa itu adalah tambang emas Grasberg di Papua yang diekspoitasi Freeport-McMoRan Copper & Gold sejak 1967, dan hampir seluruh sumber daya alam kita yang konsesinya dikuasakan kepada pihak asing. Memang hanya menguntungkan para muncikari dan jaringannya saja. Sedangkan rakyat hanya memperoleh bencananya.”
Makanya, Sekjen MKRI (Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia) ini mendorong agar pemerintah agar ke depan, pola pengelolaan ESDM menggunakan mekanisme Ekonomi Kontitusi.
“Ekonomi Konstitusi itu ibarat gadis (kembang) desa yang oleh seseorang dibiayai untuk meperoleh pendidikan kebidanan (kesehatan, dll), kemudian dibuatkan rumah sederhana di desanya untuk dijadikan tempat praktek (klinik) bersama teman-temannya. Tentu dibelikan juga peralatan medis secukupnya. Ini baru layak disebut investasi. Bermanfaat, membawa keberkahan pada banyak orang dan lingkungannya,” katanya.
Masyarakat menurutnya bukan saja ikhlas bila si pemilik modal kemudian mendapat beberapa persen keuntungan klinik, tapi Tuhan niscaya juga memberikan pahala kepadanya. Begitulah praktek Ekonomi Konstitusi, yang harus dipakai dalam menjalankan pengelolaan kekayaan alam Indonesia.
“Kalau dengan analogi prostitusi seperti ini pemerintahan Jokowi masih tidak paham juga, jangan-jangan memang harus dengan cara revolusi (mental),” pungkas Adhie Massardi. (Web Warouw)