KUCHING – SARAWAK- Secara mengejutkan situasi politik di Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia yang berhadapan langsung dengan Provinsi Kalimantan Barat, mulai mengalami pergolakan. Ketua Menteri Sarawak, Tan Sri Adenan Satem, usai peresmian Persidangan Perwakilan Tiga Tahun Sekali (TDC) Parti Rakyat Sarawak (PRS) kali ke-4, di Bintulu, Negara Bagian Sarawak, Minggu, 23 Oktober 2016, sebagaimana dilaporkan Kantor Berita Bernama, –tanpa ujung pangkal menggugat perjanjian pembentukan Federasi Malaysia tahun 1963.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, gugatan dengan melakukan penelitian menyangkut materi Perjanjian Malaysia 1963 (MA63), Laporan Jawatankuasa Antara Kerajaan (IGC) 1963 dan Laporan Suruhanjaya Cobbold 1962.
“Timbalan Ketua Menteri Sarawak merangkap Menteri Pembangunan dan Pengangkutan Tan Sri Dr James Jemut Masing dan Menteri Kewangan Kedua Negeri, Datuk Seri Wong Soon Koh diberi tanggungjawab untuk mengkaji perkara itu,” kata Adenan Satem.
Menurut Adenan Satem, tuntutan terhadap relevansi perjanjian tahun 1963, akan dirumuskan di dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau di Malaysia dikenal Dewan Undangan Negeri (DUN) yang akan bersidang periode 21 – 30 Nopember 2016 mendatang.
Perjanjian pembentukan Federasi Malaysia, mencakup 20 perkara di Sabah dan 18 perkara di Sarawak, merupakan syarat- syarat yang ditandatangani pada 1963 semasa pembentukan Malaysia daripada Tanah Melayu, Sabah dan Sarawak.
Dalam perjalanan waktu, baik Sarawak maupun Sabah, merasakan perjanjian tahun 1963, hanya mengukuhkan hegemoni kawasan semenanjung dalam percaturan politik, budaya dan ekonomi nasional Malaysia.
Kendati hak-hak khusus Sabah dan Sarawak tetap dijaga, di antaranya warga Malaysia di semanjung yang datang ke Sarawak, harus menggunakan paspor, tapi warga Sarawak bebas berpergian ke seluruh wilayah Malaysia, namun ketidakadilan politik, ekonomi dan budaya masih diklaim sebagai batu sandungan.
Dengan dalih membendung pengaruh komunis di Asia Tenggara, atas usaha Inggris, maka Sabah, Sarawak, Singapura dan Tanah Melayu membentuk Persekutuan Malaysia yang lebih dikenal Federasi Malaysia pada 1963. Singapura keluar daripada persekutuan pada 1965.
Pembentukan Federasi Malaysia, dimana Sabah dan Sarawak ada di dalamnya, pernah membuat gusar Presiden Republik Indonesia, Soekarno. Bentuk kegusaran Presiden Soekarno, dengan memutuskan berperang melawan kepentingan Inggris di Sabah dan Sarawak tahun 1964.
Perang dengan kepentingan Inggris di Malaysia, terhenti di tengah jalan setelah meletus Gerakan 30 September (G30S) 1965, sehingga Presiden Soekarno dipecat di forum sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), 22 Juni 1966 dan kepemimpinan nasional di bawah kendali Presiden Soeharto terhitung 1 Juli 1966 higga 21 Mei 1998.
Banyak kalangan menuding, keputusan Presiden Soekarno menggempur kepentingan Inggris di Malaysia tahun 1964 – 1965, sebagai bentuk invasi militer. Tapi permasalahan sebenarnya tidaklah sederhana yang dibayangkan banyak orang.
Persahabatan Soekarno
Rakyat Indonesia seperti yang diucapkan berkali-kali oleh Presiden Soekarno, sedikitpun tidak bermaksud, baik dalam pikiran maupun tindakan untuk bermusuhan dengan rakyat Malaya, Singapura dan Kalimantan Utara.
Karena sebagian besar dari mereka adalah bangsa sedarah sedaging dengan rakyat Indonesia sendiri. Indonesia tidak bermaksud menghancurkan atau sekedar mengklaim negeri-negeri itu bagian dari Indonesia.
Justru rakyat Indonesia melalui Pemerintahannya berusaha memupuk persahabatan dan solidaritas di antara rakyat rumpun Melayu, agar mencapai masyarakat adil dan makmur secara bersama-sama.
Rakyat Malaya dan Indonesia bukanlah sekedar bangsa serumpun, tetapi juga seperjuangan. Pada awal tahun 1945, para tokoh nasioanalis Malaya, Encik Ibrahim Yaakob dan kawan-kawannya menganggap sudah tiba saatnya bagi Jepang untuk memerdekakan Malaya bersama-sama Indonesia, kemudian masuk ke dalam Indonesia Raya.
Untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, mereka menjumpai Jenderal Terauchi (Panglima Tertinggi tentara Jepang) di Gunseikan Taiping, Perak.
Tuntutan tersebut diterima oleh Sekutu. Sehingga pada Juli 1945 rakyat Melayu sempat menjadi Bangsa Indonesia Raya. Pada 8 Agustus 1945, berkibarlah Sang Merah Putih di Singapura, sampai saat Inggris mendarat di sana.
Akhirnya, Sang Merah Putih dengan 12 bintang kuning dijadikan bendera perjuangan gerilya Bangsa Melayu dan Malaya.
Tak lama kemudian Soekarno dan Mohammad Hatta bertolak ke Indocina (Vietnam) untuk menerima pernyataan Jenderal Terauchi yang intinya memberikan keleluasaan bagi Bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya. Kemudian, 13 Agustus 1945, para pemimpin nasionalis Malaya bertemu dengan Soekarno dan Mohammad Hatta di Gunseikanbu, Taiping, Perak.
Ketika itu, Encik Ibrahim Yaakob, Burhanuddin, dan pemuka rakyat Malaya ingin menggabungkan Malaya dengan Indonesia Raya. Namun Dwitunggal Indonesia (Soekarno – Hatta) tidak dapat membuat keputusan begitu saja.
Karena merupakan sesuatu yang belum pernah dibicarakan sebelumnya. Rakyat Malaya kemudian mengambil keputusan sendiri. Tiga hari berturut-turut (15, 16 dan 17 Agustus 1945) mereka menyelenggarakan Kongres Rakyat Malaya di Kuala Lumpur.
Hasilnya, keputusan berjuang demi kemerdekaan dan bersatu dengan Indonesia. Keputusan dipelopori Burhanuddin, kemudian didukung Onn bin Jafar.
Kemudian, Encik Ibrahim Yaakob berangkat ke Singapura untuk menarik Giyungun menjadi tentara kebangsaan. Juga akan dikirim utusan ke Jawa untuk mengatur penggabungan Semenanjung Malaya dengan Republik Indonesia.
Namun rakyat Malaya yang penuh harap itu akhirnya masygul dan terharu berhadapan dengan kenyataan bahwa Republik Indonesia yang terdiri dari Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, ternyata hanya meliputi wilayah Hindia Timur Belanda saja.
Negara Berdaulat
Khusus di wilayah Sarawak, Sabah dan Brunei, Soekarno – Hatta, menginginkan, menjadi negara berdaulat sendiri, terpisah dengan wilayah Malaya di semenanjung.
Pada dasarnya, gugatan Ketua Menteri Sarawak, Tan Sri Adenan Satem terhadap perjanjian pembentukan Federasi Malaysia tahun 1963, mengulangi kembali pemikiran Presiden Republik Indonesia, Soekarno. Pergolakan politik di Sarawak sekarang memang di tengah bayang-bayang pemikiran Presiden Soekarno.
Gugatan Ketua Mentri Sarawak, Tan Sri Adenan Satem, memang tidak secara spesifik keluar dari Malaysia. Tapi Adenan secara implisit mengungkap berbagai bentuk diskriminasi semenjanjung.
Adenan mengumumkan kerajaan negeri sedang mengkaji untuk membina proyek pembangunan kawasan pesisir pantai untuk memacu pertumbuhan di kawasan-kawasan pesisir pantai di negeri ini.
Mengenai permintaan supaya menambah jumlah masyarakat Dayak diambil bekerja dalam perkhidmatan awam negeri, menurut Adenan, Setiausaha Kerajaan Negeri, Tan Sri Mohammad Morshidi Abdul Ghani telah diarah meneliti perkara itu.
Berhubung permintaan supaya lebih banyak kontraktor Dayak dilibatkan dalam projek infrastruktur Pan Borneo, Adenan mendukung perkara itu dan berjanji akan membantu mereka.
“Tapi saya nak ingatkan kamu (kontraktor Dayak) jangan jadi “Ali Baba” (beri kepada pihak lain) selepas dapat projek,” kata Adenan Satem. (Aju)