JAKARTA- Belakangan ini terdengar isu yang cukup kuat yang dihembuskan sejumlah pihak termasuk Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi menyangkut keberadaan Kantor Staf Presiden (KSP).
KSP dianggap tidak diperlukan dan harus dibubarkan. Padahal KSP penting untuk memperkuat lembaga Kepresidenan. Demikian Sekretaris Jenderal, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat), Hendrik Dikson Sirait kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (30/8).
“Saat ini dibutuhkan lembaga kepresidenan yang kuat dan efektif. Dalam sistem ini, presiden memerlukan sarana/instrumen tertentu untuk memastikan jalannya pemerintahan,” ujarnya.
Menurutnya, pandangan yang menyatakan bahwa KSP tidak diperlukan tentu saja kurang tepat. Pandangan semacam ini berimplikasi pada pelemahan lembaga kepresidenan. Di samping parlemen yang kuat, sistem presidensial juga membutuhkan lembaga kepresidenan yang kuat dan efektif.
“KSP memang tidak tertulis dalam konstitusi. Namun, konstitusi kita dengan jelas menganut sistem pemerintahan presidensial. Di sisi lain, sistem presidensial yang kita anut sudah dengan sendirinya harus membayangkan bahwa lembaga kepresidenan memerlukan instrumen tertentu yang mampu menunjang efektifas kerja presiden,” ujarnya.
Menurutnya, sulit rasanya membayangkan presiden bekerja tanpa disertai instrumen kelembagaan. Sebagai kepala eksekutif yang memegang tanggungjawab tertinggi dalam kebijakan pemerintahan secara umum, presiden memerlukan instrumen yang berfungsi sebagai ‘mata’ dan ‘telinga’ yang setiap saat dapat memberikan informasi yang diperlukan.
“Oleh karenanya, instrumen semacam ini akan sangat membantu presiden untuk bertindak, merespon dan memutuskan dengan cepat atas berbagai hal yang dianggap penting dan strategis,” ujarnya.
Apalagi menurutnya jika mengingat paska reformasi salah satu kekuatan politik warisan orde baru yg masih ‘gagal’ ditundukkan adalah ‘birokrasi’. Sementara selama ini lembaga atau insrtrumen politik terdekat yang berada di lingkungan Presiden adalah kantor Sekertaris Kabinet (Seskab) dan Sekertariat Negara (Sekneg).
Selain menteri dan sejumlah staf khusus yang terbatas, kedua kementerian tersebut menurutnya masih ditempati oleh PNS atau birokrasi dengan kultur warisan orde baru.
“Sehingga tidak heran acap terjadi ‘sabotase’ birokrasi di lingkungan istana Presiden. Heboh sempat di keluarkannya Kepres tentang mobil pejabat dan ‘salah ketik’ dalam undangan Kepala BIN terpilih yang terjadi beberapa waktu lalu adalah contoh ancaman sabotase dalam lingkungan Presiden,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa lemahnya posisi kelembagaan presiden jelas akan berimplikasi pada kurang efektifnya kebijakan dan manajemen pemerintahan secara umum. Perlunya presiden memiliki instrumen yang efektif untuk mendukung tugas-tugasnya merupakan konsekuensi yang sangat logis dan wajar dalam sistem presidensial.
“Dengan kata lain KSP adalah lembaga yang diisi oleh orang-orang yang dibawa sekaligus kepercayaan Presiden terpilih. Oleh karena itu, sudah saatnya kita meletakkan sebuah landasan kertatanegaraan yang dapat menjamin efektifitas kerja lembaga kepresidenan, siapapun yang menjadi presiden,” ujarnya. (Calvin G. Eben-Haezer)