JAKARTA – Kondisi global masih sangat menantang. Kini, muncul persoalan baru yang dihadapi berbagai negara termasuk Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut persoalan tersebut adalah persaingan tarif pajak yang tidak sehat.
“Salah satu permasalahan yang sedang dihadapi dunia saat ini adalah kompetisi tarif pajak yang tidak sehat,” tulisnya di Instagram @smindrawati, Jumat (20/9/2024).
Sebagai salah satu organisasi internasional yang bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan perekonomian dan sosial di seluruh dunia, terang Sri Mulyani, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) bekerjasama dengan Kementerian Keuangan dari berbagai negara di seluruh dunia untuk menjawab persoalan itu.
“Salah satunya adalah melalui Multilateral Instrument Subject to Tax Rule (MLI STTR) yang semalam saya tandatangani bersama-sama dengan 42 negara dan yurisdiksi lainnya. MLI STTR ini merupakan salah satu instrumen dalam Pillar Two yang merupakan bagian kesepakatan global untuk meminimalisir kompetisi tarif pajak yang tidak sehat,” paparnya.
Sri Mulyani menuturkan, dengan menandatangani MLI STTR, Indonesia menjadi lebih awal mengadopsi instrumen penting ini. Menurutnya, perjanjian penting ini merefleksikan fakta MLI STTR menjadi prioritas penting bagi banyak negara berkembang yang menjadi anggota Inclusive Framework of Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), memulihkan hak-hak pemajakan atas beberapa tipe transaksi lintas batas intra termasuk bunga, royalti, dan pembayaran atas jasa lainnya.
“Bagi negara berkembang, mobilisasi sumber daya menjadi sangat penting, dan MLI STTR ini menjadi salah satu solusi tambahan bagi negara berkembang untuk melindungi basis pajak korporat mereka. Saat ini, sudah lebih dari 1.000 perjanjian perpajakan – kurang lebih 1/4 dari perjanjian perpajakan di seluruh dunia- tercover oleh komitmen ini,” paparnya.
Jadi Anggota OECD
Sebelumnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Indonesia kini masuk ke dalam daftar negara aksesi anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD. Sebagai negara aksesi, Indonesia sedang berproses untuk bisa masuk menjadi anggota penuh organisasi yang diisi oleh negara-negara maju ini.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menargetkan Indonesia bisa menjadi anggota penuh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) dalam kurun tiga tahun.
Ia menjelaskan, memang tidak mudah untuk masuk ke dalam suatu grup yang berisikan negara-negara maju. Ia mencontohkan, Kosta Rika membutuhkan waktu enam tahun dan Kolombia tujuh tahun untuk menjadi anggota tetap organisasi tersebut.
“Makan waktu 3-4 tahun. Tidak ada satu negara pun yang satu tahun langsung diterima. Kita targetnya tiga tahun, sama seperti Chile,” ungkap Airlangga yang ditemui usai Rapat Internal dengan Presiden Joko Widodo, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (16/5).
Sebelumnya, Indonesia telah mendapatkan persetujuan dari 38 negara anggota OECD dan sedang berproses menjadi negara aksesi. Setelah proses aksesi tersebut, jelasnya, Indonesia diberi waktu kurang lebih 280 hari untuk menyusun “initial memorandum” yang merupakan dokumen yang disampaikan oleh negara kandidat untuk mengukur tingkat keselarasan regulasi, kebijakan, dan praktik negara kandidat dengan OECD.
“Memorandum itu akan terdiri dari dokumen yang mencakup seluruh steering committee yang ada di OECD. Itu ada 26 mulai dari keuangan, ekonomi, antikorupsi, persaingan sehat, sampai dengan yang detail consumer policy, digital economy, technology policy, steel committee termasuk shipbuilding,” jelasnya.
Untuk menyusun dokumen tersebut, Presiden Jokowi, kata Airlangga, akan membentuk Project Management Office (PMO) di bawah Kemenko Perekonomian, yang bertujuan untuk mengawal proses aksesi hingga menjadi anggota penuh OECD nantinya.
Dalam kesempatan ini, Airlangga membeberkan dampak ekonomi yang kelak bisa dinikmati Indonesia apabila masuk ke dalam grup negara-negara maju ini, salah satunya adalah bisa menikmati investasi yang lebih menyeluruh.
“Tentu dampak ekonomi dari investasi, based on practice secara global, kemudian dipercaya Indonesia masuk dalam ekosistem semikonduktor. Itu yang kita lihat prospek ke depan,” jelasnya.
Ia juga meyakini bahwa Indonesia nantinya akan bisa mereformasi pedoman praktik berinvestasi di dalam negeri. Dengan begitu, akan banyak kebijakan di Tanah Air yang sama dengan negara-negara lain. Hal itulah yang kelak bisa menarik lebih banyak investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
“Kalau negara punya kesamaan kebijakan maka yang akan masuk adalah sovereign wealth fund (SWF). Kalau ini kita bisa dapat, saya optimis posisi Indonesia dan SWF di Singapura akan bersaing. Karena sekarang hampir semua investasi Amerika 80 persen masuk ke Singapura, dan dari Singapura baru pecah ke berbagai negara. Ini antara lain hal-hal yang kita ingin ambil,” jelasnya.
Untung Rugi Masuk OECD
Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal memperkirakan butuh waktu lebih dari tiga tahun untuk Indonesia akhirnya bisa masuk menjadi anggota OECD. Hal ini salah satunya dikarenakan oleh adanya perbedaan yang cukup tinggi antara negara maju dan negara berkembang.
“Akan lebih sulit, karena ada standar-standar yang banyak ditetapkan atau di-drive oleh standar negara maju. Kita tahu bahwa banyak standar negara maju ini yang tidak mudah diikuti oleh negara-negara berkembang. Tapi saya belum tahu syarat-syaratnya apa yang ditetapkan oleh OECD,” ungkap Faisal.
Lebih jauh, Faisal menyarankan kepada pemerintah untuk menimbang dengan seksama terkait potensi risiko dan manfaat yang akan didapatkan apabila memang Indonesia akhirnya bisa masuk menjadi anggota OECD.
Saat ini, katanya, pemerintah belum secara gamblang memaparkan berbagai manfaat yang bisa didapatkan apabila nantinya masuk menjadi anggota OECD. Namun, ia memperkirakan ada beberapa potensi risiko yang akan dihadapi oleh Indonesia apabila bergabung dengan organisasi ini, salah satunya kehilangan berbagai dispensasi atau kemudahan yang diterima oleh negara berkembang yang kerap diberikan oleh negara maju.
Faisal memperkirakan, Indonesia bisa saja kehilangan fasilitas yang diberikan oleh Amerika Serikat, yakni Generalized System of Preferences (GSP) yang merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh Pemerintah Amerika Serikat kepada negara-negara berkembang di dunia, termasuk Indonesia.
“Kalau masuk ke anggota negara-negara maju berarti gak layak lagi, dan fasilitas GSP itu terus menerus dievaluasi dari waktu ke waktu, mana negara yang sudah eligible, atau mana negara yang masih harus dibantu. Jadi kalau dilihat dari ongkosnya atau risikonya sudah jelas ada. Sedangkan dari sisi manfaat belum jelas kalau buat saya,” jelasnya.
“Misalkan sidang-sidang di WTO sering deadlock karena ada perbenturan kepentingan yang kencang antara negara maju dan negara berkembang. Kita bisa bayangkan kalau begitu, jika Indonesia masuk ke dalam geng negara maju bagaimana jika arah kebijakan daripada OECD yang heavy di-drive oleh negara maju yang bertentangan dengan national interest Indonesia yang lebih banyak merepresentasikan sebetulnya kepentingan negara berkembang,” jelasnya.
Selain itu, ungkapnya, ketika masuk ke sebuah organisasi yang mayoritas berisikan negara-negara maju, otomatis harus ada persamaan kepentingan antara negara maju dengan negara berkembang ini. Menurutnya, hal ini menjadi sebuah tantangan yang cukup sulit karena seringkali kepentingannya berbenturan satu sama lain.
“Itu yang saya khawatirkan. Pertanyaannya, apakah betul kita mesti masuk OECD? Sudah kah dikalkulasi untung ruginya?,” pungkasnya. (Enrico N. Abdielli)