PALEMBANG- Memperingati hari Perempuan sedunia, 8 Maret 2015 Organisasi Api Kartini menyerukan kepada kaum perempuan Indonesia untuk bersatu bersama kekuatan rakyat lainnya dalam membangun persatuan nasional anti neoliberalisme seluas-luasnya dalam kerangka pembebasan nasional. Api Kartini menuntut agar Presiden Joko Widodo konsisten menjalankan Tri Sakti dan Nawa Cita.
“Selamat Hari Perempuan Se-dunia. Jayalah kaum Perempuan. Hidup Perempuan! Tak Ada Pembebasan Nasional Tanpa Pembebasan Perempuan! Tak Ada Pembebasan Perempuan Tanpa Pembebasan Nasional!” demikian Ketua Api Kartini cabang Palembang, Inda Mayang Sari kepada Bergelora.com di Palembang, Minggu (8/3).
Ia menjelaskan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 telah memberi kesempatan yang setara bagi kaum perempuan sebagai warga negara, tapi pada prakteknya kaum perempuan Indonesia masih mengalami diskriminasi dan dimiskinkan. Dalam budaya masyarakat (patriarki) yang kerap dilegitimasi negara, kaum perempuan masih dianggap warga negara kelas dua.
Menengok sejarahnya, tidak dapat dipungkiri bahwa kaum perempuan mempunyai peranan penting dalam perjuangan pembebasan nasional. Kaum perempuan bergabung bersama seluruh gerakan rakyat Indonesia melawan kolonialisme dalam berbagai bentuk dan di berbagai bidang.
“Sekarang, kaum perempuan kembali terjajah oleh bentuk baru dari kolonialisme, yaitu neoliberalisme. Dalam cengkraman neoliberalisme ini persoalan perempuan semakin luas dan kompleks,” ujarnya.
Kekerasan Seksual
Mengutip data Komnas Perempuan (1998-2011), ia menjelaskan bahwa terjadi 93.960 kasus kekerasan seksual perempuan di Indonesia. Sebanyak 4.845 kasus pemerkosaan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual 1.359 kasus, pelecehan seksual 1.049 kasus, penyiksaan seksusal 672 kasus. Sedangkan jumlah buruh perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual di Jakarta sebanyak 75%.
“Selain akibat budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia, persoalan ini ada karena kapitalisme memposisikan tubuh perempuan hanya sebagai komoditi, atau juga hanya sebagai obyek bagi penggunaan komoditi yang dipasarkannya,” ujarnya.
Neoliberalisme juga menambah tenaga kerja tidak dibayar. Mereka umumnya adalah perempuan yang terpaksa mengambil pekerjaan-pekerjaan domestik di rumah tangga orang lain karena status menumpang atau karena masih dalam ikatan keluarga. Di daerah pedesaan, data BPS menyebutkan bahwa 50 persen perempuan di pedesaan bekerja sebagai pekerja keluarga yang tak dibayar. Belum lagi dalam kasus perburuhan, buruh-buruh Indonesia rentan pada praktek upah rendah.
Sementara itu Sekretaris Api Kartini Cabang Palembang, Marisa Utari menjelaskan bahwa akibat kehancuran sektor pertanian di desa-desa dan minimnya perkerjaan di kota, banyak perempuan yang mengambil-alih peran sebagai kepala rumah tangga. Bahkan kaum perempuan harus terlibat dalam pekerjaan buruh migran dan rentan prostitusi.
Neoliberalisme juga melemparkan sejumlah tugas yang mestinya urusan negara menjadi beban kaum perempuan. Privatisasi misalnya, tidak sekedar bermakna swastanisasi. Privatisasi pada hakekatnya, bagi kaum perempuan adalah pemindahan tugas-tugas negara (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain) menjadi tugas-tugas ibu rumah tangga.
Demokrasi liberal juga membuat politik menjadi sesuatu yang sangat mahal. Hal ini memupuskan harapan kaum perempuan, khususnya dari kalangan menengah ke bawah, untuk turut bertarung dalam arena-arena politik yang lebih tinggi, terlebih dengan penyediaan kouta yang hanya 30% bagi kaum perempuan. Kebanyakan perempuan yang bisa terlibat di arena semacam itu adalah perempuan dari kalangan mapan secara ekonmi, yang dalam banyak kasus, relatif tidak terlalu peka terhadap isu-isu perempuan.
“Dengan masalah perempuan yang sangat kompleks tersebut, API Kartini mendesak pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk membuktikan komitmennya terhadap perbaikan kehidupan perempuan Indonesia dengan cara konsisten menjalankan Trisakti dan Nawacita, demi Indonesia yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian lepas dari cengkraman imperialisme,” ujarnya. (Calvin G. Eben-Haezer)