JAKARTA- Sebanyak 360 organisasi dan koalisi masyarakat sipil se Indonesia memberikan mandat kepada Tim 9 (Sembilan) untuk hentikan penghancuran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mandat diberikan kepada Tim 9 yang terdiri dari Prof. Dr. Syafii Maarif (Ketua), Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Wakil Ketua), Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, S.H. (Sekretaris), dan Erry Riyana Hardjapamekas, S.E., Tumpak Hatorangan Panggabean, S.H., Komjen. Pol (Purn). Oegroseno, S.H., Jenderal Pol (Purn). Drs. Sutanto, Kombes. Pol (Purn). Prof. Dr. Bambang Widodo Umar, serta Dr. Imam Budidarmawan Prasodjo sebagai anggota.
“Tim yang sama ketika diminta Presiden Jokowi sebagai tim konsultatif kisruh penghancuran KPK tetapi mendapatkan legitimasi yang jelas dan dituangkan di Surat Keputusan Rakyat Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pembentukan Tim Independen Penghentian Kriminalisasi dan Penghancuran Komisi Pemberantasan Korupsi,” demikian Agus Sarwono dari Transparency International Indonesia (TII) kepada Bergelora.com di Jakarta Senin (9/3).
Adapun Surat Keputusan yang diserahkan oleh perwakilan tokoh masyarakat, tokoh lintas agama, dan buruh perempuan tersebut menugaskan Tim 9 untuk menghentikan upaya-upaya penghancuran KPK oleh para koruptor dan oligarki politik di Indonesia.
“Mendorong dihentikannya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, penyidik dan staf KPK, media, aktivis anti korupsi, serta masyarakat yang mendukung pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Mandat itu juga meminta Tim 9 agar mendorong agenda pemberantasan korupsi tetap berlanjut. Dimulai dengan membatalkan pelimpahan kasus Komjen Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung dan mendesak KPK melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan praperadilan yang diajukan tersangka korupsi Komjen Budi Gunawan.
Sebelumnya organisasi masyarakat sipil tersebut telah menyerukan “Indonesia Darurat Korupsi”, situasi dimana KPK berusaha dihancurkan dengan adanya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, staf dan penyidik KPK.
“Pimpinan sementara KPK justru lebih pro kepada pihak-pihak yang anti terhadap KPK. Kriminalisasi bahkan tidak hanya dialami oleh pimpinan KPK, tetapi juga oleh akademisi, aktivis anti korupsi, media, dan Komnasham,” jelasnya.
Indikasi penghancuran KPK ini menurutnya bahkan semakin kuat dimana KPK, yang dipimpin oleh pimpinan sementara, melimpahkan kasus Komjen Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung dan mengabaikan upaya peninjauan kembali untuk mengkoreksi putusan praperadilan yang merusak tatanan hukum dan merusak agenda pemberantasan korupsi.
“Dalam melaksanakan tugasnya, Tim 9 diberi mandat selama satu bulan untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu untuk memperoleh hasil verifikasi yang akuntabel, berdasarkan fakta-fakta yang relevan,” tegasnya.
Tim 9 juga menurutnya berwenang memanggil pihak terkait, baik itu Mabes Polri, KPK, Ombudsman RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, korban kriminalisasi, saksi-saksi, pengacara, dan pihak lain yang terkait. Hasil temuan Tim 9 harus dipertanggungjawabkan kepada publik.
Ia menjelaskan, meskipun dianggap tidak memiliki dasar hukum yang jelas, mandat kepada Tim 9 ini dianggap perlu, bukan hanya karena situasi darurat korupsi, tujuan kemerdekaan Indonesia harus diselamatkan.
“Karenanya organisasi-organisasi masyarakat sipil menjadikan alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI 1945 sebagai dasar pemberian mandat,” ujarnya.
350 Organisasi pemberi mandat kepada Tim 9 antara lain adalah Partnership (Kemitraan), Transparansi Internasional Indonesia, YAPPIKA, YLBHI, ICW, PSHK, Gusdurian, INFID, LMND, PMKRI, DEMOS, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Forum Advokat Pengawal Konstitusi (Faksi), Change.org, Dompet Dhuafa, JATAM, Walhi, Elsam, KontraS, STF Driyakara, PUKAT-UGM, JATAM, KAPAL Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Migrant CARE, PEKKA, PP Aisyiyah AMAN Indonesia (Tiara Hidup)