JAKARTA- Lagi, seorang dokter internship meninggal dunia Sabtu, 12 Desember 2015 saat menjalankan tugas di daerah terpencil di Dobo, Kepulauan Aru, Maluku. Dokter afrianda Naufan (dr. Nanda).
“Telah gugur kembali seorang Putera Bangsa. Keluarga Besar Dokter Indonesia Bersatu ( DIB ) mengucapkan duka cita yang mendalam atas berpulangnya Teman Sejawat kami dr. afrianda Naufan ( Nanda ) karena sakit saat menjalankan tugas berbakti bagi negara. Selamat Jalan dr. Nanda, insya Allah pengabdianmu bagi negeri ini tidak akan sia-sia,” demikian Presidium Dokter Indonesia Bersatu (DIB) Dr. Eva Sridiana, Sp.(P) dalam akun facebook nya, Rabu (16/12)
Dokter Nanda bertugas sebagai dokter internship di Dobo, Kepulauan Aru, Maluku, wilayah yang sama dengan wilayah kerja almarhum dr Andra yang belum lama ini meninggal saat tugas internship.
“Dr. Nanda mengalami demam, dehidrasi hingga akhirnya di evakuasi ke RSUD di Ambon dalam keadaan koma. Hal yang diduga memperburuk sakitnya beliau adalah kemungkinan adanya diabetes, infeksi yang terjadi memicu keadaan gawat darurat yang dikenal dengan diabetik ketoacidosis, sebuah keadaan gawat darurat yang harus ditangani segera karena dapat mengakibatkan shock dan kegagalan organ tubuh.
Dokter ahli jantung Erta Priadi Wirawijaya di akun facebook nya menjelaskan Di Ambon keadaan dokter Nanda terus memburuk hingga akhirnya tidak tertolong. Dr. Nanda adalah putra dr. Hj Cut Diah Adivar MM, Direktur RS PTP Langsa Aceh yang datang dari Aceh ke daerah perifer Maluku untuk menuntaskan kewajiban internshipnya.
“Kasus ini memiliki kemiripan dengan kejadian yang menimpa dr. Andra yang meninggal akibat penanganan tak optimal di wilayah ini. Semoga pemerintah dapat melakukan introspeksi dan memperbaiki fasilitas pelayanan kesehatan didaerah tersebut sehingga kasusnya tidak terus terulang kembali,” demikian dr Erta.
Ia menjelaskan bahwa dokter internship adalah dokter yang telah diangkat sumpah sehingga mereka bukan lagi mahasiswa kedokteran seperti apa yang diutarakan Menteri Kesehatan. Mereka ditugaskan di daerah terpencil dengan pesangon (bantuan hidup dasar) sebesar Rp. 2,5 juta rupiah / bulan sebelum dipotong pajak. Diluar itu mereka harus membayar sendiri sejumlah uang untuk turut serta dalam BPJS kesehatan.
Dokter Erta mengutip penjelasan dari Kepala Opini Publik Kementrian Kesehatan Anjari Umarjianto terkait kompensasi untuk tenaga kesehatan jika hal yang terburuk terjadi, maka sudah diatur dalam Permenkes No 7/2013 yang mengatur hak-hak tenaga kesehatan Indonesia, termasuk dokter PTT.
“Bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya meninggal dalam tugas, akan mendapat 12x gaji sesuai keterpencilan tempat tugas dan juga piagam penghargaan dari Menkes. Bila wafat, dapat 6x gaji dan piagam penghargaan,” kutipnya.
Buruh Kemenkes
Dr Erta menyatakan kebingungnan dengan pernyataan pejabat Kementeri Kesehatan tersebut yang membedakan antara ‘wafat’ dan ‘meninggal’ ditempat tugas.
“Saya sebenarnya masih bingung bedanya wafat dan meninggal di tempat tugas, tapi anggaplah besaran kompensasinya antara 6-12 kali gaji beserta piagam penghargaan. Namun harus dicatat dokter internship seperti dr. Nanda atau dr. Andra yang meninggal ditempat tugasnya bukanlah pegawai kementrian kesehatan ataupun dokter PTT,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa Prof. Darto Suharso bahkan pernah menyebutkan “Dokter internship hanya buruh Kementerian Kesehatan yang dioutsourcing selama setahun.” Karenanya pihak Kemenkes sama sekali tidak berkewajiban memberikan santunan apapun untuk dokter internship jika seandainya hal yang terburuk terjadi. (Web Warouw)