JAKARTA- Harga Crude Palm Oil (CPO) Indonesia di pasar internasional bergerak stabil meskipun adanya ketegangan ekonomi global dan dinamika dalam kebijakan pemerintah.
Per tanggal 27 Januari 2025, harga CPO tercatat stabil di level 4.215 Myr/Ton, sedikit naik dibandingkan dengan akhir pekan lalu yang berada di angka 4.216 Myr/Ton . Namun, dengan adanya sentimen-sentimen tertentu, prospek harga CPO dalam jangka pendek sangat bergantung pada kebijakan domestik dan hubungan internasional.
Faktor-faktor eksternal tetap memberikan tekanan, terutama perubahan kebijakan dari negara-negara pengimpor utama. China, meski menjadi pasar terbesar untuk CPO Indonesia, mencatatkan kenaikan permintaan 19,76% pada tahun 2024.
Namun, kondisi ini berlawanan dengan pasar tradisional lainnya seperti Pakistan, Amerika Serikat, dan India yang mengalami penurunan permintaan yang cukup signifikan.
Ini menyisakan pertanyaan, apakah Indonesia akan terus bergantung pada China untuk menyerap surplus CPO? Perubahan pola konsumsi dan kebijakan pengimpor lainnya akan menjadi tantangan besar bagi pengusaha sawit.
Di sisi domestik, kebijakan pemerintah Indonesia terkait kewajiban menempatkan 100% Devisa Hasil Ekspor (DHE) di bank domestik mulai Maret 2025, menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, turut memberikan dampak.
Keputusan ini mengharuskan eksportir untuk menahan devisa dalam negeri selama setahun penuh, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi aliran modal dan likuiditas pasar sawit.
Kebijakan tersebut juga bisa menjadi kunci stabilitas ekonomi Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian global, namun tantangan tetap ada dalam implementasinya, terutama dengan adanya biaya tambahan yang harus ditanggung eksportir.
Sementara itu, prospek CPO Indonesia tetap dipengaruhi oleh harga minyak nabati global. Minyak sawit menghadapi persaingan ketat dengan minyak bunga matahari dan kedelai, yang kini dipilih banyak negara pengimpor sebagai alternatif.
Menghadapi sentimen negatif ini, Indonesia harus menemukan cara untuk mempertahankan daya saingnya, apakah melalui peningkatan efisiensi atau penyempurnaan teknologi dalam produksi CPO.
Kondisi politik internasional, termasuk kemungkinan kembalinya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat, juga akan memberi dampak signifikan. Kebijakan perdagangan yang lebih proteksionis bisa menambah tantangan bagi pasar ekspor Indonesia.
Meskipun demikian, potensi CPO tetap terlihat cerah dengan pergeseran pasar yang lebih luas, di mana Asia dan negara berkembang lainnya semakin penting bagi perekonomian sawit Indonesia.
Dalam menghadapi 2025, para pelaku industri CPO Indonesia harus lebih agile, merespons setiap perubahan kebijakan domestik dan eksternal. Pencapaian yang terjaga di awal tahun ini memberi sinyal bahwa meski banyak tantangan, pasar CPO Indonesia masih punya tempat untuk tumbuh, asalkan mampu beradaptasi dengan cepat. Sebuah perjalanan yang penuh dinamika, namun menjanjikan jika bisa dikelola dengan baik.

RI Cuan Rp 325 T dari CPO, Devisanya Menguap Entah ke Mana
China masih menjadi pasar terbesar bagi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia. China bahkan menyerap 22% dari total ekspor CPO Indonesia pada tahun lalu.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan volume ekspor CPO Indonesia pada 2024 menyentuh 21,6 juta ton. Volume ekspor tersebut turun 17,33% dibandingkan pada 2023.
Begitu pula secara nilai, ekspor CPO anjlok 11,78% menjadi US$20,01 miliar atau setara dengan Rp325,8 triliun pada 2024 (kurs Rp16.280/US$).
Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan ekspor CPO Indonesia di 2024, di antaranya: Permintaan CPO untuk biodiesel meningkat, Permintaan CPO untuk konsumsi meningkat, Produksi dalam negeri cenderung stagnan, Kondisi ekonomi negara-negara importir CPO.
China menempati urutan pertama sebagai negara penerima hasil ekspor CPO Indonesia di 2024 sebesar 2,99 juta ton atau naik 19,76% dibandingkan periode 2023 yang sebesar 2,5 juta ton.
Hal ini cukup menarik di tengah penurunan jumlah ekspor Indonesia ke negara-negara lainnya, sebut saja seperti Pakistan, Amerika Serikat (AS), Bangladesh, India, dan Malaysia yang masing-masing secara kumulatif (2024 vs 2023) mengalami penurunan sebesar 44,51%, 20,74%, 25,35%, 21,05%, dan 52,16%.
Alhasil secara nilainya pun, jumlah ekspor Indonesia ke China mengalami lonjakan sebesar 27,5% dari US$2,17 miliar menjadi US$2,77 miliar pada 2024.
Sementara Pakistan, Amerika Serikat (AS), Bangladesh, India, dan Malaysia secara kompak menurun masing-masing sebesar 40,9%, 14,4%, 18,3%, 13,7%, dan 45,1%.
Ekspor CPO dan DHE
Pemerintahan Prabowo Subianto resmi mengubah Peraturan Pemerintah (PP) No.36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE). Eksportir diwajibkan untuk menempatkan DHE sebesar 100% di dalam negeri dalam kurun waktu 1 tahun mulai 1 Maret 2025.
“Pemerintah akan segera merevisi PP no. 36 dan akan diperlakukan per 1 Maret tahun ini,” ungkap Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (21/1/2025)
Keputusan ini juga telah disetujui oleh Presiden Prabowo Subianto dan kini tengah dipersiapkan Peraturan Pemerintah dan koordinasi bersama regulator terkait seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Airlangga memastikan tidak akan ada penolakan akan kebijakan tersebut. Selain kewajiban, pemerintah juga akan memberikan insentif kepada pelaku usaha.
DHE yang terbaru akan dilaksanakan pada 1 Maret 2025 sebesar 100% untuk periode 1 tahun dan untuk itu pemerintah dan BI mempersiapkan fasilitas yang berupa tarif PPH 0% atas pendapatan bunga pada instrumen penempatan devisa hasil ekspor. Kalau reguler biasanya kena pajak 20% tapi untuk DHE 0%.

“Pemerintah akan segera merevisi PP no. 36 dan akan diperlakukan per 1 Maret tahun ini,” ungkap Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (21/1/2025)
Dia menambahkan kebijakan ini akan berlaku untuk sektor mineral dan batu bara, perikanan serta perkebunan seperti kelapa sawit. Data historis Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor CPO dan turunannya berkontribusi sekitar 11% ke total penerimaan ekspor.
Dengan melihat pendapatan ekspor CPO yang mencapai US$ S$20,01 miliar atau setara dengan Rp325,8 triliun pada 2024 harusnya devisa Indonesia bertambah drastis. Namun, nyatanya cadangan devisa Indonesia per akhir Desember 2024 ada di posisi US$ 155,7 miliar atau naik US$9,3 miliar. (Web Warouw)