Screen time (waktu layar) adalah total waktu yang dihabiskan seseorang saat menatap layar perangkat elektronik seperti ponsel, tablet, komputer, dan televisi. Istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada penggunaan untuk hiburan, tetapi juga bisa mencakup waktu layar untuk belajar atau bekerja, meskipun beberapa sumber membedakan antara keduanya. Penggunaan layar yang berlebihan, terutama untuk hiburan, dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental, seperti mata lelah, risiko obesitas, gangguan tidur, dan masalah perhatian.
Oleh: Arsh Sarao *
KARENA terlalu asyik dengan ponsel pintar, kita lupa waktu saat ibu jari kita menggulir konten yang mudah, tak berujung, dan menghibur. Sementara itu, layar beberapa inci itu diam-diam memancarkan cahaya biru dan gelombang medan elektromagnetik,–electromagnetic fields (EMF). Kita mungkin tidak menyadari pengaruh konstan ini, tetapi pikiran dan tubuh kita menyadarinya.
Rata-rata orang Amerika meraih ponsel mereka 144 kali sehari. Bukti ilmiah yang semakin banyak menunjukkan bahwa waktu layar yang berlebihan memengaruhi hampir setiap bagian tubuh—mulai dari mata, jantung, tulang belakang, dan seterusnya.

Layar Cerah, Mata Kabur
Layar pintar memancarkan kombinasi cahaya merah, hijau, dan biru. Dalam spektrum ini, layar pintar memancarkan “lonjakan cahaya biru” yang signifikan pada rentang 400 hingga 490 nanometer, yang juga dikenal sebagai cahaya tampak berenergi tinggi,–high–energy visible (HEV).
Mata kita tidak dapat sepenuhnya menyaring cahaya HEV, sehingga cahaya melewati mata dan menembus retina—lapisan peka cahaya di bagian belakang mata.
Studi laboratorium menunjukkan bahwa paparan cahaya biru yang intens atau berkepanjangan menyebabkan kerusakan sementara atau permanen pada kornea, lensa, dan retina mata. Kerusakan mata akibat cahaya biru juga dapat menyebabkan lensa menjadi buram dan kerusakan pada kornea, yang menyebabkan berbagai gangguan mata.
Dr. Savleen Kaur, seorang dokter spesialis mata anak yang telah mempelajari pengaruh waktu menonton layar terhadap gangguan mata, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa cahaya biru dari telepon pintar dikaitkan dengan perkembangan ketegangan mata digital, dan anak-anak yang terpaku pada perangkat digital memiliki risiko lebih besar terkena miopia.
Tinjauan sistematis yang melibatkan lebih dari 335.000 peserta menemukan bahwa peningkatan satu jam waktu menonton layar setiap hari dikaitkan dengan kemungkinan 21 persen lebih tinggi terkena miopia.

Bukan hanya miopia. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Ophthalmic Epidemiology menemukan bahwa penggunaan ponsel pintar setiap hari selama lebih dari dua jam dikaitkan dengan kemungkinan lebih tinggi mengalami berbagai gejala secara bersamaan, termasuk penglihatan kabur, kemerahan, gangguan penglihatan, peradangan, dan kekeringan.
Namun, mata Anda hanyalah korban pertama dari paparan perangkat digital.
Kelebihan EMF, Telinga Lelah
Orang yang sering menggunakan telepon seluler sejak usia muda dapat mengalami gangguan pendengaran yang sebanding dengan yang biasanya terlihat pada orang berusia tujuh puluhan, kata Dr. Naresh Kumar Panda, spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan yang telah mempelajari efek penggunaan telepon seluler pada pendengaran, kepada The Epoch Times.
Berbagai penelitian telah mengevaluasi dampak radiasi elektromagnetik,–electromagnetic radiation (EMR) frekuensi radio ponsel terhadap telinga. Saat berbicara melalui ponsel, telinga, saraf pendengaran, dan sebagian lobus temporal menyerap EMR frekuensi radio.
EMR frekuensi radio adalah gelombang radio yang menghubungkan ponsel Anda ke menara seluler. Gelombang ini dapat menembus jaringan tubuh, menghasilkan efek panas, dan menstimulasi sistem pendengaran—bahkan tanpa suara.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang terlalu sering menggunakan ponsel pintar cenderung melaporkan kemampuan pendengaran yang lebih buruk dan ambang pendengaran yang lebih tinggi, yang berarti mereka membutuhkan suara yang lebih keras untuk mendengar apa yang sebelumnya terdengar normal. Paparan EMR frekuensi radio dari penggunaan ponsel yang berkepanjangan, bersama dengan headphone atau earbud Bluetooth, juga dapat merusak sel-sel rambut telinga bagian dalam —reseptor sensorik yang mengubah suara menjadi sinyal saraf sehingga otak dapat menafsirkannya— yang menyebabkan gangguan pendengaran ringan hingga sedang.
Penggunaan ponsel dalam jangka panjang—meskipun hanya satu jam panggilan telepon per hari—dapat merusak pendengaran dan membuat telinga tidak peka terhadap suara, kata Panda. Perangkat Bluetooth juga “sama-sama merusaknya.”
Pergeseran ambang pendengaran mungkin bersifat sementara jika paparannya tidak terlalu parah, tetapi kerusakan pada sistem pendengaran bisa permanen jika terpapar dalam jangka panjang, tambahnya. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami hal ini secara mendalam, ujarnya.
Sebuah studi di Brasil menemukan bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara EMR frekuensi radio dan tinitus, terutama pada orang yang lebih sensitif terhadap medan elektromagnetik. Panda, yang tidak terlibat dalam studi ini, mengatakan bahwa tinitus merupakan salah satu tanda peringatan pertama gangguan pendengaran, dan orang yang menggunakan ponsel dalam waktu lama harus menganggapnya sebagai tanda bahaya.
Metabolit Berbeda, Jantung Tegang
Perangkat genggam kita membahayakan lebih dari sekadar apa yang berada di atas bahu—dampaknya merambat hingga ke sistem organ lainnya.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Jurnal Asosiasi Jantung Amerika menemukan bahwa peningkatan waktu menonton layar dikaitkan dengan perubahan metabolit darah abnormal, yang terkait dengan tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan resistensi insulin.
Dr. David Horner, penulis utama studi ini, menyebut pola metabolit darah yang unik ini sebagai “sidik jari biologis” dari waktu menonton layar. Ia mengatakan kepada The Epoch Times bahwa banyak metabolit yang sama telah diidentifikasi dalam studi sebelumnya untuk obesitas dan penyakit kardiometabolik, yang menunjukkan bahwa “sidik jari” waktu menonton layar mungkin merupakan tahap awal dari jalur risiko serupa.
Analisis tersebut menemukan bahwa setiap jam tambahan penggunaan layar untuk rekreasi per hari dikaitkan dengan peningkatan skor risiko kardiovaskular yang terukur. Meskipun angkanya mungkin tampak kecil untuk satu jam saja, efeknya terakumulasi: Seorang anak dengan tiga jam tambahan penggunaan layar setiap hari akan memiliki skor risiko sekitar seperempat hingga setengah lebih tinggi daripada teman sebayanya dengan waktu layar yang lebih sedikit, ujarnya.
Jika dikalikan dengan seluruh populasi, kita akan melihat “pergeseran signifikan dalam risiko kardiometabolik dini yang dapat berlanjut hingga dewasa.”
Lebih lanjut, penelitian telah menunjukkan bahwa EMF dari ponsel dapat memengaruhi variabilitas detak jantung—variasi interval waktu antara detak jantung yang berurutan. Variabilitas ini mencerminkan seberapa efektif sistem saraf otonom—baik cabang fight-or-flight maupun rest-or-digest—mengendalikan jantung. Variabilitas detak jantung yang rendah mengindikasikan stres jantung dan merupakan prediktor masalah kardiovaskular yang diketahui.
Penggunaan telepon seluler dalam jangka waktu lama dikaitkan dengan variabilitas detak jantung yang rendah pada orang dewasa yang sehat.
Menempelkan ponsel di dekat dada juga dapat mengubah hasil EKG, dan paparan yang terlalu lama dapat menyebabkan palpitasi dan nyeri dada. Berbagai penelitian juga menemukan bahwa ponsel pintar dan aksesorinya, seperti headphone nirkabel dan jam tangan pintar, dapat mengganggu perangkat jantung implan, termasuk alat pacu jantung dan defibrilator.
Selain efek fisik langsung pada jantung, layar juga meningkatkan risiko kardiovaskular secara tidak langsung—dengan mengganggu tidur. Horner mengamati hubungan tersebut dalam studinya: durasi tidur menyumbang sekitar 12 persen dari keseluruhan hubungan antara waktu layar dan risiko kardiometabolik, yang menunjukkan bahwa sebagian risiko tersebut berasal dari waktu layar yang mencuri jam tidur restoratif.
Postur Tubuh yang Salah, Tulang Belakang Tertekan
Bersantai di sofa sambil terpaku pada layar ponsel dapat membuat Anda semakin terluka—bahkan hingga ke tulang-tulang Anda.
Meningkatnya perilaku sedentary umumnya berkaitan dengan penggunaan layar yang bermasalah dan berkontribusi terhadap postur tubuh yang buruk serta ketegangan postural, yang menyebabkan nyeri leher, bahu, dan punggung. Duduk terlalu lama dan waktu yang dihabiskan di depan layar berhubungan negatif dengan kepadatan mineral tulang secara keseluruhan .
Ada berbagai macam penyakit “teks”.
Saat berkonsentrasi pada layar kecil, orang cenderung lebih menekuk leher, yang dapat menyebabkan postur kepala menjorok ke depan, yang juga dikenal sebagai “text neck”. Ini adalah salah satu kelainan serviks paling umum yang membuat orang rentan terhadap berbagai kondisi, seperti sakit kepala, perubahan posisi tulang belikat, dan gangguan temporomandibular —seperangkat lebih dari 30 gangguan pada sendi rahang dan otot rahang.
Sebuah laporan kasus yang diterbitkan dalam Radiology Case Reports merinci riwayat seorang “YouTuber” berusia 24 tahun yang menggunakan ponsel pintarnya setidaknya 16 jam sehari, memeriksanya setiap 10 menit. Ia melaporkan mengalami nyeri kepala, leher, dan punggung atas yang terus-menerus serta mati rasa di lengan kanannya selama hampir setahun—gejala klasik “sindrom leher teks”.
Kondisinya memburuk hingga ia hampir tidak bisa mengangkat kepalanya selama semenit. Pemeriksaan rontgen menunjukkan lengkung leher ke depan yang abnormal (garis kuning), vertebra yang tidak sejajar (panah merah), dan degenerasi artritis pada sendi leher (panah putih). Setelah lebih dari tiga bulan mengurangi waktu menonton layar dan melakukan latihan koreksi postur, gejalanya membaik secara substansial.

Menggeser ponsel secara terus-menerus juga dapat menyebabkan nyeri pada pergelangan tangan dan ibu jari akibat tekanan berulang, yang menyebabkan kondisi seperti “ibu jari yang suka mengirim pesan teks”.
Gelombang Digital, Kesuburan Terganggu
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa paparan radiasi dari perangkat digital, termasuk ponsel dan laptop, dikaitkan dengan berkurangnya motilitas, viabilitas, dan konsentrasi sperma—prediktor utama kesuburan pria.
Sebuah studi menguji efek EMF terhadap motilitas sperma di laboratorium. Sampel sperma pria sehat berusia 20 hingga 35 tahun dipaparkan ke berbagai sumber EMF selama satu jam, dan motilitas sperma dinilai segera setelahnya.
Hasilnya menunjukkan bahwa motilitas sperma progresif—sperma yang bergerak maju dalam garis yang relatif lurus—berkurang hingga 19,5 poin persentase setelah terpapar perangkat seperti ponsel pintar dan jaringan Wi-Fi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sperma imotil mereka meningkat sebesar 10 poin persentase.

Bukan hanya radiasi EMF yang dipancarkan secara elektronik, tetapi juga radiasi termal. Menyimpan perangkat digital di dekat selangkangan, seperti di saku celana, dapat meningkatkan suhu skrotum di atas tingkat normal fisiologis. Pemanasan area skrotum dapat berdampak negatif pada pembentukan dan fungsi sperma, yang berpotensi menyebabkan penurunan kesuburan pada pria. Semakin lama dan dekat paparannya, semakin besar efek sampingnya.
Efeknya juga terlihat pada wanita. Sebuah studi di California yang melibatkan lebih dari 900 wanita hamil menemukan bahwa mereka yang terpapar radiasi tingkat tinggi memiliki risiko keguguran hampir tiga kali lipat dibandingkan mereka yang terpapar radiasi rendah. Studi ini menggunakan perangkat pemantau yang dapat dikenakan untuk mengukur paparan partisipan terhadap medan magnet dari berbagai perangkat, termasuk ponsel, selama 24 jam. Sebuah meta-analisis juga menemukan hal serupa.
Menggunakan telepon seluler untuk panggilan telepon selama lebih dari 30 menit sehari selama kehamilan juga dapat menghambat perkembangan janin normal, yang menyebabkan bayi lahir lebih kecil dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang lebih jarang menggunakan telepon seluler.
Risiko Kanker
Kemungkinan berkembangnya kanker akibat paparan radiasi ponsel masih kontroversial, dengan penelitian yang memberikan hasil beragam dan belum ada konsensus yang jelas hingga saat ini. Pada tahun 2011, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan medan elektromagnetik frekuensi radio sebagai “kemungkinan karsinogenik bagi manusia”, dengan catatan bukti yang terbatas.
Namun, tinjauan sistematis terbaru , yang sebagian didanai oleh WHO, menemukan bukti kepastian tinggi dari penelitian hewan jangka panjang bahwa paparan EMF frekuensi radio ponsel meningkatkan risiko dua jenis tumor ganas pada tikus.
Komisi Internasional tentang Dampak Biologis Medan Elektromagnetik (ICBE-EMF) menyatakan dalam siaran pers bahwa “jenis tumor yang sama juga telah diamati dalam studi manusia” terhadap pengguna ponsel, sehingga “menambah keyakinan signifikan bahwa hubungan yang diamati dalam studi ini nyata.”
“Studi pada hewan sangat penting untuk memprediksi risiko kanker pada manusia,” ujar Ron Melnick, ketua ICBE-EMF, dalam siaran pers tersebut.
Dampak Mental
Waktu layar yang berlebihan juga dapat memengaruhi fungsi otak dan mengurangi volume materi abu-abu, terutama di area yang bertanggung jawab untuk pengendalian penghambatan, pengambilan keputusan, dan pengaturan emosi.
Gadi Lissak, seorang psikolog klinis dan perilaku, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa perubahan struktural tersebut, yang ditemukan dalam berbagai studi pencitraan otak, menyerupai perilaku adiktif yang terlihat pada penyalahgunaan zat. Perubahan saraf tersebut dapat mempersulit seseorang untuk menyaring gangguan dan berfokus pada tujuan mereka, yang selanjutnya memengaruhi pemrosesan emosional mereka dan berkontribusi pada peningkatan neurotisisme dan impulsivitas.
Penggunaan layar dikaitkan dengan meningkatnya risiko gangguan mental seperti depresi, kecemasan, gangguan kurang perhatian/hiperaktivitas (ADHD), dan bahkan kecenderungan bunuh diri.
Bunuh diri adalah gangguan mental yang paling berbahaya, tetapi tentu saja bukan satu-satunya. Sebuah studi tahun 2024 , yang melibatkan 982 remaja, menemukan bahwa waktu menonton layar selama empat hingga enam jam per hari menyebabkan peningkatan stres sebesar 25 persen, peningkatan depresi sebesar 35 persen, dan peningkatan kecemasan sebesar 23 persen dibandingkan dengan mereka yang menghabiskan waktu menonton layar kurang dari dua jam per hari.

“Dalam studi-studi terbesar, remaja yang aktif menggunakan media sosial hampir dua kali lebih mungkin mengalami depresi dibandingkan mereka yang tidak,” ujar Jean M. Twenge, profesor psikologi di San Diego State University dan penulis buku “10 Rules for Raising Kids in a High-Tech World”, kepada The Epoch Times. Risiko seperti itu bukanlah angka yang kecil bagi para orang tua, ujarnya.
Pada anak usia prasekolah dan sekolah, paparan layar yang tinggi dikaitkan dengan kesulitan perhatian.
Misalnya, Mark yang berusia sembilan tahun menerima diagnosis ADHD karena ia menunjukkan gejala impulsivitas, kurangnya perhatian, agresi, dan perubahan suasana hati yang memburuk seiring bertambahnya waktu di depan layar, menurut studi kasusnya yang diterbitkan dalam Environmental Research.
Ia menghabiskan sebagian besar waktunya bermain gim video di PlayStation, komputer, atau ponsel pintarnya, rata-rata lebih dari tujuh jam di hari kerja dan bahkan lebih di akhir pekan. Ia diberi metilfenidat, tetapi obat tersebut tampaknya membuatnya kekurangan berat badan.
Mencari alternatif, orang tua Mark mendaftarkannya dalam program perilaku di mana ia dimasukkan ke dalam program pengurangan waktu menonton layar. Mark mulai menunjukkan perbaikan dalam dua minggu. Pada minggu ke-11, kondisinya membaik secara signifikan, dan ia tidak lagi memenuhi diagnosis ADHD.
Lissak, penulis ulasan tersebut, mendampingi Mark setelah intervensi. Ia mengatakan kepada The Epoch Times bahwa Mark tidak lagi didiagnosis dengan gejala seperti ADHD.
Penggunaan layar yang bermasalah juga ditemukan mengakibatkan perilaku bunuh diri. Sebuah studi tahun 2023 yang melibatkan lebih dari 11.000 anak di AS, berusia 9 hingga 11 tahun, menemukan bahwa setiap jam tambahan waktu layar per hari dikaitkan dengan risiko ide dan upaya bunuh diri sebesar 9 persen lebih tinggi.
Peluang timbulnya pikiran dan perilaku bunuh diri adalah 36 persen lebih tinggi untuk berkirim pesan teks, 30 persen untuk obrolan video, 21 persen untuk menonton video, dan 18 persen lebih tinggi untuk bermain gim video.

Penyembuhan
Meskipun ada banyak bukti ilmiah yang mengaitkan waktu layar dengan risiko kesehatan, teknologi digital telah merambah setiap sudut masyarakat.
“Karena semua orang menggunakannya, semua orang terpengaruh olehnya,” ujar Kishore PV Reddy, seorang insinyur pembelajaran mesin senior yang pekerjaannya berfokus pada pelatihan model AI, kepada The Epoch Times.
Meskipun perangkat modern dilengkapi filter cahaya biru bawaan, penelitian menunjukkan filter tersebut mungkin kurang efektif. Kaur justru menyarankan kebiasaan seat, seperti sering berkedip, meminimalkan silau, istirahat sejenak dari penggunaan layar, dan mengikuti aturan 20-20-20, yaitu melihat benda sejauh 6 meter selama 20 detik setiap 20 menit, untuk mengurangi ketegangan mata.
Panda menyarankan untuk memegang ponsel pada jarak sejauh lengan saat membaca atau menonton video, atau menggunakan mode speaker selama panggilan lama untuk mengurangi dampak radiasi, dan tidak menyimpannya di dekat bantal atau tempat tidur saat tidur.
Yang paling penting, pada dasarnya, adalah memangkas sumbernya—mengurangi waktu yang dihabiskan di depan layar.
“Kita tidak bisa meminta orang untuk berhenti menggunakan ponsel, tetapi untuk menggunakannya dengan bijaksana—menggunakannya hanya ketika benar-benar diperlukan,” kata Panda.
Untuk anak-anak, Twenge menyarankan untuk menunda pemberian perangkat pribadi selama mungkin. “Tidak ada orang tua, pendidik, atau pakar perkembangan yang akan mengatakan bahwa usia 13 tahun, di awal pubertas dan selama sekolah menengah pertama, adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan media sosial,” ujarnya—karena anak-anak dan remaja yang lebih muda lebih rentan. Tiga belas tahun adalah usia minimum bagi anak-anak untuk menggunakan sebagian besar platform media sosial di Amerika Serikat.
Alternatifnya, gunakan ponsel biasa alih-alih ponsel pintar. Cara ini juga berlaku untuk orang dewasa, tetapi mereka bisa mendapatkan dua ponsel—satu untuk kantor, satu untuk rumah—yang terakhir hanya bisa digunakan untuk mengirim pesan teks dan menelepon.
Para ahli menyarankan untuk mengganti waktu menonton layar dengan alternatif yang menarik.
Bagi Reddy, yang bekerja berjam-jam di depan layar sepanjang minggu, mencapai keseimbangan antara aktivitas di layar dan di luar layar merupakan langkah awal yang penting menuju hidup yang lebih sehat di era digital.
“Berlatih meditasi, membaca buku fisik, memainkan alat musik, mengerjakan tugas yang menantang, atau sekadar berjalan-jalan, semuanya dapat membantu Anda,” ujarnya.
——————-
*Penulis Arsh Sarao adalah reporter kesehatan untuk The Epoch Times. Ia meraih gelar Magister Bioteknologi dan gelar Sarjana Biologi dan Kimia. Ia mengajar ilmu hayati selama 11 tahun sebelum bekerja sebagai editor untuk Epoch Inspired selama 7 tahun. Ia berfokus pada topik kesehatan, kebugaran, dan nilai-nilai tradisional.
Artikel ini diterjemahkan Bergelora.com dari artikel berjudul “How Screen Time Affects Different Organs” yang dimuat dalam The Epoch Times

                                    